Habaib dan Ulama Tegal
Habaib dan Ulama Tegal
Al Imam Al Qutub As Sayyid Al Habib
Muhammad bin Thohir Al - Haddad
( Tegal )
Habib Muhammad bin Thohir Al Haddad (1838-1885)
dikenal sebagai ulama yang dermawan. Habib yang makamnya di Makam Al Haddad,
Kauman, Tegal, ini bila berkunjung ke sebuah kota, bukan beliau yang menjadi
tamu mereka, tetapi justru orang kota yang menjadi tamunya, dan beliau menjamu
mereka.
Habib Muhammad adalah cucu Habib Abdullah bin Alwi Al
Haddad, Shohib Ratib; lahir di Gaidun, Hadramaut, Yaman pada tahun 1838 M.
Beliau belajar agama pada kakeknya dan ulama Hadramaut, hingga di kenal sebagai
ulama besar.
Nasab
beliau:
Al Habib
Muhammad bin Thohir bin Umar bin Abubakar bin Ali bin Alwi bin Abdullah
(shahiburratib) Al-Haddad bin Alwi bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin
Muhammad bin Alwi bin Ahmad bin Abubakar bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah
bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad
bin Alwi bin Abdullah bin Ahmad AlMuhajir bin Isa bin Muhammad anNaqib bin Ali
alUraidhi bin Ja’far asShadiq bin Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin bin
Husein bin Ali bin Abi Thalib kw. suami dari Fatimah az-Zahra putri Rasulullah
SAW.
Sanad keturunan beliau termasuk suatu silsilah
dzahabiyyah, sambung-menyambung dari ayah yang wali ke kakek wali, demikian
seterusnya sampai bertemu dengan Rasulullah SAW. Ayah beliau Al-Habib Thohir
bin Umar Al Haddad adalah seorang ulama besar di kota Geidun, Hadramaut.
Al-Habib Thohir banyak membaca buku di bawah pengawasan dan bimbingan ayah dan
kakek beliau, sehingga diberi ijazah oleh ayah dan kakeknya sebagai ahli hadist
dan ahli tafsir.
Dalam perjalanan hidupnya, Habib Muhammad juga sukses
sebagai saudagar. Bila berkinjung ke suatu tempat, beliau membawa 40
pembantunya untuk memikul berbagai keperluan untuk menjamu penduduk kota,
“Bukan Habib Muhammad yang menjadi tamu, justru orang kota yang menjadi
tamunya.” Ujar Habib Abdullah bin Hasan bin Husein Al Haddad, cicit beliau.
Ketika berumur 47 tahun, beliau bersama dua anaknya
berkunjung ke Indonesia. Selama 45 hari, beliau berdakwah dan berdagang di
berbagai kota; namun kemudian jatuh sakit dan meninggal di kota Tegal pada 18
Rajab tahun 1885 M. beliau dimakamkan di pemakaman Kauman, yang kelak disebut
Makam Al Haddad.
Dua putra beliau, Habib Husein dan Habib Alwi,
masing-masing meninggal di Jombang dan di Bogor
- Habib Alwi
Al Haddad di makamkan di Kramat Empang Bogor.
– Habib
Husin Al haddad di makamkan di Tegal.
Haul Al Qutub Al Habib Muhammad bin Thohir Al Haddad
pertama kali diselenggarakan oleh Al Habib Muhammad bin Idrus Al Habsyi (1265
H-1337 H), Surabaya, Guru yang banyak membentuk karakter kedua putra Al Habib
Muhammad bin Thohir Al Haddad. Semoga berkah ilmu dan teladan beliau senantiasa
menyelimuti masyarakat Tegal khususnya dan Muslimin pada umumnya dan akan
dikenang selalu dengan senantiasa mempelajari sejarah beliau dan mengamalkan
ajaran dan akhlaq beliau.
Putra beliau Al Qutub Muhammad bin
Thohir al-Haddad
1. Al-Habib
Alwi
Al-Habib Alwi bin Muhammad Al Haddad dilahirkan di
kota Qeidun, Hadramaut, pada tahun 1299 H. Sanad keturunan beliau termasuk
suatu silsilah dzahabiyyah, sambung-menyambung dari ayah yang wali ke kakek
wali, demikian seterusnya sampai bertemu dengan Rasulullah SAW. Sebagaimana
kebanyakan para Saadah Bani Alawi, beliau dibesarkan dan dididik oleh ayahnya
sendiri Al-Habib Muhammad bin Thohir bin Umar Alhaddad.
Kakek beliau Al-Habib Thohir bin Umar Alhaddad adalah
seorang ulama besar di kota Geidun, Hadramaut. Sedangkan ayah beliau adalah
seorang Wali min Auliyaillah dan ulama besar yang hijrah dari kota Geidun,
Hadramaut ke Indonesia dan menetap di kota Tegal. Beliau Al-Habib Thohir banyak
membaca buku dibawah pengawasan dan bimbingan ayah dan kakek beliau, sehingga
diberi ijazah oleh ayah dan kakeknya sebagai ahli hadist dan ahli tafsir.
Setelah digembleng oleh ayahnya, beliau lalu berguru kepada :
Setelah digembleng oleh ayahnya, beliau lalu berguru kepada :
- As-Syaikh
Abdullah bin Abubakar Al-Murahim Al-Khotib (di kota Tarim)
- As-Syaikh
Abud Al-Amudi (di kota Geidun)
Setelah itu beliau memulai pengembaraannya di sekitar
kota-kota di Hadramaut untuk menuntut ilmu dan menghiasi kemuliaan nasabnya
dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Beliau keliling dari satu kota ke kota yang
lain untuk mengambil ilmu dari ulama-ulama besar yang beliau jumpai. Diantara
para guru yang beliau berguru kepada mereka adalah :
- Al-Habib
Husain bin Muhammad Albar (di Gerain)
- Al-Habib Umar
bin Hadun Al-Atthas (di Masyhad)
- Al-Habib
Ahmad bin Hasan Al-Atthas (di Huraidhah)
- Al-Habib
Muhammad bin Abdullah Al-Atthas (di Maula Amed)
- Al-Habib
Umar Maula Amed (di Maula Amed)
- Al-Habib
Abdillah bin Umar bin Sumaith (di Syibam)
- Al-Habib Abdullah
bin Hasan bin Shaleh Al-Bahar (di Thi Usbuh)
- Al-Habib
Abdullah bin Muhammad Al-Habsyi (di Hauthoh Ahmad bin Zein)
- Al-Habib
Idrus bin Umar Al-Habsyi (di Ghurfah)
- Al-Habib
Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur (Mufti Hadramaut)
- Al-Habib
Idrus bin Alwi Alaydrus
- Al-Habib
Abdulqodir bin Ahmad Alhaddad (di Tarim)
Itulah guru-guru beliau yang ada di Hadramaut, dimana
mereka semua kebanyakan adalah ulama-ulama besar dan tidak jarang pula yang
termasuk Wali min Auliyaillah.
Pada suatu saat, beliau ingin sekali menunaikan ibadah
Haji dan lalu berziarah ke datuk beliau termulia Rasulullah SAW. Setelah
mendapat ijin dari kakek beliau Al-Habib Thohir bin Umar Alhaddad, berangkatlah
beliau menuju ke kota Makkah dan Madinah. Setelah beliau menunaikan keinginannya,
timbullah niat beliau untuk belajar dari para ulama besar yang ada di dua kota
suci tersebut. Lalu beliau menuntut ilmu disana dengan berguru kepada :
-
As-Syaikh Said Babshai
-
As-Syaikh Umar bin Abubakar Junaid
-
Al-Habib Husin bin Muhammad Al-Habsyi (Mufti
Syafi’iyah pada masa itu)
Setelah dirasa cukup menuntut ilmu disana, timbullah
keinginan beliau untuk berhijrah ke Indonesia, sebagaimana yang dilakukan
sebelumnya oleh ayah beliau Al-Habib Muhammad. Sesampailah beliau di Indonesia,
beliau lalu berziarah ke makam ayah beliau Al-Habib Muhammad bin Thohir
Alhaddad yang wafat di kota Tegal, Jawa Tengah, pada tahun 1316 H.
Keinginan beliau untuk selalu menuntut ilmu seakan tak
pernah luntur dan pupus terbawa jaman. Inilah salah satu kebiasaan beliau untuk
selalu mencari dan mencari ilmu dimanapun beliau berada. Tidaklah yang demikian
itu, kecuali beliau mencontoh para Datuk beliau yang gemar menuntut ilmu,
sehingga mereka bisa menjadi ulama-ulama besar. Diantara para guru beliau yang
ada di Indonesia adalah :
-
Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (di Surabaya)
-
Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhor (di Surabaya,
yang kemudian beliau dikawinkan dengan anaknya)
-
Al-Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas (di Bogor)
-
Al-Habib Salim bin Alwi Al-Jufri (menetap di Menado)
-
Al-Habib Idrus bin Husin bin Ahmad Alaydrus (wafat di
India dalam dakwahnya)
Di Indonesia, beliau memilih untuk menetap di kota
Bogor. Disana beliau berdakwah dan menyebarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat.
Beliau dikenal sebagai seorang ulama besar dan ahli hadits. Di kota Bogor
beliau banyak mengadakan majlis-majlis taklim dan mengajarkan tentang Al-Islam.
Sampai akhirnya beliau dipanggil oleh Allah menuju ke haribaan-Nya. Beliau
wafat di kota Bogor tahun 1373 H dan dimakamkan di Empang, Bogor.
Seorang ulama besar telah berpulang, namun jejak-jejak
langkah beliau masih terkenang. Nama baik beliau selalu tersimpan dalam hati
para pecintanya…dalam hati yang paling dalam, menyinari kehidupan suram nan
kelam…
Radhiyallahu
anhu wa ardhah…
2. Al Habib
Husein
Al Habib Husen bin Muhammad Al Haddad. Ia dikenal
sebagai orang yang memperhatikan kepentingan kaum muslimin.
Jombang dikenal sebagai tempat belajar santri-santri
dari berbagai pelosok Indonesia. Di kabupaten ini paling tidak ada dua pondok
pesantren yang dijadikan rujukan oleh pesantren-pesantren salaf di Indonesia,
yakni Pondok Pesantren Darul Ulum (didirikan oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah)
dan Pesantren Tebuireng (didirikan oleh KH.Hasjim Asy’ari.). Tak heran jika
kota Jombang, menjadi rujukan kunjungan tamu-tamu baik ulama’ maupun auliya’
dari berbagai belahan dunia. Mereka berkunjung untuk bertukar ilmu dan sambil
menyebarkan dakwah.
Salah satunya adalah Habib Husain bin Muhammad Al-Haddad. Ia dilahirkan di kota Geydoon, Hadramaut, Yaman Selatan pada 1302 H. Sedari kecil ia telah dididik oleh aayah dan kakeknya, dalam lingkungan yang sarat religius, penuh ketakwaan dan kebajikan.
Kegemarannya menuntut ilmu berlanjut hingga usia remaja, di mana ia selalu menghadiri majelis-majelis ta’lim ulama-ulama. Tentu saja ulama-ulama yang ia datangi untuk menimba ilmu, terutama dari ulama-ulama yang suka beramal dan para wali yang saleh. Termasuk saat menunaikan haji dan berziarah ke makam datuknya, Nabi Muhammad SAW di Madinah, ia memanfaatkan kesempatan itu untuk bertemu muka dengan ulama-ulama terkenal dan ia banyak mengambil manfaat dan keutamaan dari mereka.
Salah satunya adalah Habib Husain bin Muhammad Al-Haddad. Ia dilahirkan di kota Geydoon, Hadramaut, Yaman Selatan pada 1302 H. Sedari kecil ia telah dididik oleh aayah dan kakeknya, dalam lingkungan yang sarat religius, penuh ketakwaan dan kebajikan.
Kegemarannya menuntut ilmu berlanjut hingga usia remaja, di mana ia selalu menghadiri majelis-majelis ta’lim ulama-ulama. Tentu saja ulama-ulama yang ia datangi untuk menimba ilmu, terutama dari ulama-ulama yang suka beramal dan para wali yang saleh. Termasuk saat menunaikan haji dan berziarah ke makam datuknya, Nabi Muhammad SAW di Madinah, ia memanfaatkan kesempatan itu untuk bertemu muka dengan ulama-ulama terkenal dan ia banyak mengambil manfaat dan keutamaan dari mereka.
Pada tahun 1329 H, ia pergi ke Indonesia untuk bertemu
dengan sang ayahanda tercinta yakni Habib Muhammad bin Thohir Al-Haddad
(Tegal). Selain itu, ia juga berguru dengan banyak ulama yang ada di tanah Jawa
ini, diantaranya Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad (kakak kandungnya), Habib
Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin Alattas
(Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muchdor (Bondowoso), Habib Abu Bakar bin
Umar bin Yahya, Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad (Bangil), Habib Abu Bakar bin
Muhammad Assegaf (Gresik) dan Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alattas
(Pekalongan).
Ia selalu mengikuti majelis taklim dan mendengarkan fatwa-fatwa mereka, sehingga mereka pun sangat senang melihat, memperhatikan bahkan mencintainya.Guru yang banyak berperan membentuk karakter dan kepribadian Habib Husain adalah Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi dan Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad. Hubungan diantara Husain dan kakaknya memang tergolong sangat istemewa. Mereka berdua dikenal memiliki hubungan yang sangat erat, masing-masing dari mereka menampakan sifat tawadhu’ dan saling menghormati. Puncak dari ahlak dari Habib Husain adalah apabila pulang dari majelis taklim yang diasuh oleh kakaknya, ia berjalan mundur tidak membelakangi punggungnya.
Ia selalu mengikuti majelis taklim dan mendengarkan fatwa-fatwa mereka, sehingga mereka pun sangat senang melihat, memperhatikan bahkan mencintainya.Guru yang banyak berperan membentuk karakter dan kepribadian Habib Husain adalah Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi dan Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad. Hubungan diantara Husain dan kakaknya memang tergolong sangat istemewa. Mereka berdua dikenal memiliki hubungan yang sangat erat, masing-masing dari mereka menampakan sifat tawadhu’ dan saling menghormati. Puncak dari ahlak dari Habib Husain adalah apabila pulang dari majelis taklim yang diasuh oleh kakaknya, ia berjalan mundur tidak membelakangi punggungnya.
Al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf (Gresik)
pernah berkata,”Saya belum pernah melihat dua bersaudara seperti Alwi dan
Husain. Sesungguhnya salah satu dari mereka memperhatikan lebih banyak urusan
saudaranya dari pada dirinya sendiri, sehingga bila salah satu dari mereka
meminta doa dari orang lain, maka dimintakan untuk saudaranya dan tidak
menyebut dirinya sendiri.”
Pernah suatu hari Habib Husain berada di kota Bogor
dan bermalam di rumah Kakaknya Al Habib Alwi. Saat akan tidur, ia memilih tidur
di lantai bawah dan menolak tidur di atas, takut kalau-kalau kakaknya bangun
dan menunaikan shalat tahajjud, di mana ia berada di atas sedangkan kakaknya
sedang sujud di lantai bawah. Inilah batasan tertinggi dari adab kesopanan dan
pengormatan Habib Husain terhadap kakaknya.
Habib Husain pertama kali berkunjung ke Indonesia di
kota Tuban. Namun di kota Tuban, tidak lama, ia kemudian pindah lagi dan banyak
menetap di kota Jombang. Kedua kota ini menjadi saksi sebagai tempat tujuan
para tamu dari seluruh pelosok negeri. Ia dikenal ramah dan suka menolong pada
orang lain, terutama kaum fakir miskin. Bahkan tamu yang keluar masuk, siang
dan malam selalu diterima dengan senyuman muka, sambutan penuh cinta dan kasih.
Ia pun selalu memberi nasehat kepada mereka, oleh karenanya para tamu yang
hadir ke rumahnya sangat gembira dengan penghormatan dan nasehat yang
bermanfaat.
Dalam menghadapi tamu, khususnya kaum muda dan remaja,
ia selalu menasehatkan agar selalu berbakti pada kedua orang tua (birul
walidaian). Ia selalu menceritakan akan kedudukan dan kebesaran yang tinggi di
mata Allah SWT. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,”Ridha Allah itu tergantung dari
ridha orang tua dan murka Allah juga tergantung keduanya.”
Habib Husain menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW juga
memberikan ancaman kepada anak-anak yang durhaka kepada kedua orangtuanya,
seperti hadits.”Tiga macam dosa yang surga diharamkan oleh Allah SWT untuk
dimasukinya yaitu orang yang selalu minumm khamer, orang yang durhaka kepada
kedua orang tua, dan dayyuth (orang yang sengaja memelihara pelacur atau orang
yang membiarkan isterinya melacur).
Daya pikir nya sangat luas. Ini terpancar dari
kata-kata yang senantiasa terpancar penuh hikmah dan ilmu.
Habib Husain sangat menghormati tamu-tamunya. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya saat melayani dan menghormati tamu, menimba air untuk mengisi kamar mandi di tengah malam sebelum shalat malam, semuanya ia lakukan sendiri bahkan melarang orang lain untuk melakukan hal itu.
Habib Husain sangat menghormati tamu-tamunya. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya saat melayani dan menghormati tamu, menimba air untuk mengisi kamar mandi di tengah malam sebelum shalat malam, semuanya ia lakukan sendiri bahkan melarang orang lain untuk melakukan hal itu.
Ia juga sangat memperhatikan keadaan kaum muslimin
dengan sungguh-sungguh. Apabila ia mendengar kabar yang menyenangkan dari
mereka, ia sangat gembira. Tetapi sebaliknya, jika mendengar berita yang tidak
baik dan menyusahkan, ia sangat sedih namun ia langsung mendoakanya semoga kaum
muslimin dijauhkan dari bala dan bencana.
Selain itu, ia dikenal sangat memperhatikan terhadap
kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini dibuktikan dengan kemauannya untuk membantu
sekolah-sekolah Islam….Perasaan gembira dan senang akan timbul bila mendengar
berita akan kemajuan pendidikan agama mereka, tetapi ia akan marah dan menyesal
bila mereka tidak mengindahkan dan menomorsatukan pendidikan umum(duniawiyah),
yang mana nantinya mereka akan menangis darah dan menyesal selamanya jika
menyaksikan putra-putri mereka jauh dari agama Islam dan bahasa Arab.
Puncak ketekunan dalam beribadah adalah istiqamah dan ikhlas. Kebiasaan yang tidak pernah ia tinggalkan yaitu bangun tengah malam untuk bertahajud dan munajat kehadhirat Allah SWT.
Puncak ketekunan dalam beribadah adalah istiqamah dan ikhlas. Kebiasaan yang tidak pernah ia tinggalkan yaitu bangun tengah malam untuk bertahajud dan munajat kehadhirat Allah SWT.
Kejadian yang luar biasa pada seorang wali Allah, atau
karamah dan yang menherankan serta mengejutkan ini juga terjadi pada Habib
Husain. Walaupun ia tidak suka mengatakan dan menyebutkannya. Ia memiliki sifat
kasyaf(mejyingkap hati seseorang) atas izin Allah.
Pernah terjadi pada orang yang sangat dekat dengannnya. Ketika itu sahabatnya sedang menunaikan ibadah haji dan saat melaksanakan thawaf ia terjatuh. Saat terjatuh itulah, pertolongan Allah datang, dan ia mendapati dirinya didekat Habib Husain. Setelah sadar, orang tersebut mendapati Habib Husain berada disampignya dan mengatakan bahwa dialah yang telah membantu kecelakaan itu.
Amaliyah ibadahnya, diantaranya bertafakur (merenungkan segala ciptaanAllah dengan memperhatikan segala rahasia dan keajaiban yang terkandung di dalamnya). Berdzikir, dimana lisannya tidak pernah bosan dan kering akan menyebut asma Allah. Setiap detik waktunya, selalu dimanfaatkan untuk mendekatkan diri dengan ketaatan dan ibadah. Praktis, setiap orang yang dating ke Jombang akan mendapatkan banyak faedah dari majelis taklimnya.
Habib Husain sangat disukauii oleh segenap lapisan masyarakat yang umum maupun yang khusus dengan penghormatan yang sempurna. Ia sering menasehati orang-orang kaya agar membantu kaum fakir miskin dan mengingatkan akan ancaman kepada yang bakhil dan kikir. Bagi mereka yang menuruti nasehat nya, maka majulah perdagangannya, tapi sebaliknya, bagi yang bakhil dan kikir, harta benda mereka tertimpa kemusnahan, kehancuran dan kepailitan.
Pernah terjadi pada orang yang sangat dekat dengannnya. Ketika itu sahabatnya sedang menunaikan ibadah haji dan saat melaksanakan thawaf ia terjatuh. Saat terjatuh itulah, pertolongan Allah datang, dan ia mendapati dirinya didekat Habib Husain. Setelah sadar, orang tersebut mendapati Habib Husain berada disampignya dan mengatakan bahwa dialah yang telah membantu kecelakaan itu.
Amaliyah ibadahnya, diantaranya bertafakur (merenungkan segala ciptaanAllah dengan memperhatikan segala rahasia dan keajaiban yang terkandung di dalamnya). Berdzikir, dimana lisannya tidak pernah bosan dan kering akan menyebut asma Allah. Setiap detik waktunya, selalu dimanfaatkan untuk mendekatkan diri dengan ketaatan dan ibadah. Praktis, setiap orang yang dating ke Jombang akan mendapatkan banyak faedah dari majelis taklimnya.
Habib Husain sangat disukauii oleh segenap lapisan masyarakat yang umum maupun yang khusus dengan penghormatan yang sempurna. Ia sering menasehati orang-orang kaya agar membantu kaum fakir miskin dan mengingatkan akan ancaman kepada yang bakhil dan kikir. Bagi mereka yang menuruti nasehat nya, maka majulah perdagangannya, tapi sebaliknya, bagi yang bakhil dan kikir, harta benda mereka tertimpa kemusnahan, kehancuran dan kepailitan.
Habib Husain banyak mempunyai andil dalam pembangunan
masjid-masjid dan madrasah diniyah diantaranya seperti masjid Araudhoh di kota
Jombang dan Madrasah Islamiyah di Gresik.
Sesungguhnya bila diamati, pada hakekatnya Habib
Husain terkenal dengan akhlaq, amal perbuatan serta sifat-sifat baik beliau
mengisi kehidupannya antara ibadah kepada Allah dan memberi faedah kepada
hamba-hamba-Nya. Memanfaatkan waktu dan umurnya serta membelanjakan harta di
jalan Allah sampai akhir hayatnya.
Habib Husain wafat pada malam ahad tanggal 21 Jumadil Tsani 1376 H di kota Jombang. Masyarakayt dari seluruh pelosok dalam dan luar kota berduyun-duyun bertakziyah, mereka dalam keadaan sedih dan kerugian yang amat besar karena harus berpisah dengan seorang wali Allah.
Jenazahnya kemudian dishalatkan dan bertindak sebagai imam adalah Habib Ahmad bin Gholib Al-Hamid dan sesuai wasiatnya, jasadnya kemudian dibawa ke kota Tegal,pada hari kedua untuk dimakamkan di dekat ayahnya. Bertindak sebagai imam shalat jenazah Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi.
Habib Husain wafat pada malam ahad tanggal 21 Jumadil Tsani 1376 H di kota Jombang. Masyarakayt dari seluruh pelosok dalam dan luar kota berduyun-duyun bertakziyah, mereka dalam keadaan sedih dan kerugian yang amat besar karena harus berpisah dengan seorang wali Allah.
Jenazahnya kemudian dishalatkan dan bertindak sebagai imam adalah Habib Ahmad bin Gholib Al-Hamid dan sesuai wasiatnya, jasadnya kemudian dibawa ke kota Tegal,pada hari kedua untuk dimakamkan di dekat ayahnya. Bertindak sebagai imam shalat jenazah Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi.
Habib
Abdullah bin Ahmad Al-Kaff, Tegal,
adalah salah satu ulama dan tokoh besar yang dimiliki Indonesia, khususnya kota
Tegal, Jawa Tengah. Setiap tokoh atau ulama yang berkunjung ke Indonesia
biasanya selalu menyempatkan diri mengunjunginya. Demikian juga Habib Umar bin
Hafidz, pemimpin Daarul Musthafa, Tarim Hadhramaut.
Namun
demikian, beliau ibarat cemaran yang pucuknya tampak dari jauh tapi yang berada
dibawahnya tidak melihatnya, artinya Nama
Habib
Abdullah bin Ahmad Al-Kaff memang dikenal oleh banyak kalangan sampai
mancanegara, tapi orang-orang di daerah sekitarnya sering tidak mengenal
kealiman dan ketokohannya.
Habib
Abdullah Al-kaff memang terkenal karena sikap tawadhu’nya. Ia tidak ingin
menonjol, dan takut menjadi orang terkenal, sehingga dalam bersikap sangatlah
hati-hati, dalam hidupnya hampir tidak punya musuh.
Masa
kecilnya
Habib Abdullah Al-Kaff lahir di Cirebon (Jawa Barat)
pada tanggal 27 Ramadhan 1340 H, bertepatan dengan 17 Mei 1922. Ayah beliau
bernama Ahmad bin Abdullah Al-Kaff dimana ia mempunyai beberapa isteri. Dari
Isteri pertamanya ia mendapatkan seorang anak bernama Abdurrahman. Dari Isteri
kedua, ia mendapatkan tiga anak laki-laki yaitu Husein, Muhammad, dan Abdullah
(Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff, yang jadi pembahasan kali ini). Dari isteri
ketiga, anaknya banyak juga, tapi yang laki-laki hanya satu, yaitu Umar.
Sedangkan dari isteri keempat, ia mempunyai enam anak laki-laki.
Semua saudara Habib Abdullah Al-Kaff disekolahkan di
Arab Saudi dan Yaman. Habib Abdullah Al-Kaff sendiri pada usia 11 dibawa oleh
ayahnya ke Hadhramaut, tepatnya di Tarim. Selama enam tahun ia dititipkan pada
kakeknya di kota Hajrain. Sebuah kota di kaki gunung yang banyak dihuni para
wali mastur.
Pada umur 17 Tahun, beliau belajar di Rubath Tarim
kepada Habib Umar Asy-Syathiri, yang sudah sepuh. Setelah Habib Umar
Asy-Syathiri meninggal, ia melanjutkan belajarnya kepada Habib Abdullah
As-Syathiri , anak Habib Umar Asy-Syathiri. Sepeninggal Habib Abdullah
Asy-Syathiri, Rubath Tarim kini diasuh oleh Habib Salim Asy-Syathiri.
Habib Abdullah Al-Kaff sekelas dengan Habib Muhammad
bin Abdullah Al-Hadar. Gurunya waktu termasuk juga Habib Ali bin Abdullah bin
Syihab.
Beliau mengambil kekhususan pada bidang fiqih. Tapi ia
juga sangat menggandrungi sastra sehingga banyak tulisannya berbentuk syair.
Dewasa di
Tegal
Pada usia 25 Tahun, Habib Abdullah kembali ke kota
TEGAL, JAWA TENGAH. Kemudian ia menikah dan sehari-hari sebagai pedagang sarung
tenun. Selain berdagang, ia juga menyisakan waktunya untuk mendidik
anak-anaknya dan juga mengisi majelis taklim.
Habib Abdullah Al-Kaff bermukim di Kota Tegal. Sering
ketika ada tamu yang berkunjugn ke Tegal, walau tamu itu bukan tamunya namun
Habib Abdullah Al-Kaff merasa berkewajiban untuk menjamunya. Penghormatannya
kepada tamu sungguh luar biasa. Kalau tamu itu tidak sempat dijamu hari itu,
besoknya dipanggil untuk sarapan. Yang lebih mengherankan, kalau ada tamu,
selalu saja ada kambing sebagai masakannya. Beliau pernah bilang, “Setiap
manusia ada rizkinya, dan itu tidak akan pernah tertukar. Tidak mungkin kita
memakan rizki orang karena sudah diatur oleh Allah SWT.”.
Beberapa tahun ia pernah tinggal di Condet, Jakarta.
Karena keulamaannya, Habib Umar bin Hafidz, pengasuh Daarul Musthafa Tarim,
menyempatkan diri untuk mengunjunginya di Condet, Jakarta guna meminta doa
restu darinya.
Mendidik
anak-anak
Habib Abdullah Al-Kaff termasuk tokoh habib yang
sangat sukses dalam mendidik anak-ananya. Hampir semua putranya adalah ulama,
pendidik, pendakwah yang istiqomah. Siapakah yang tidak kenal Habib Thohir
Al-Kaff, Habib Ahmad Al-Kaff (Pengasuh PP Hikmatun Nur Jakarta), Habib Hamid,
Habib Ali, dan Habib Muhammad Al-Kaff??.
Habib Abdullah Al-Kaff berharap semua anaknya bisa
menjadi ulama. Salah seorang anaknya, Habib Muhammad dikirim ke Arab Saudi,
Habib Muthahar dimasukkan di Pesantren Darul Hadits Malang, Habib Murtadha
dikirim ke Arab Saudi, lalu ke Yaman, Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaff dan
Habib Hamid Al-Kaff dikirim ke Makkah untuk berguru kepada Sayyid Muhammad
Al-Maliki dan belajar disana selama tujuh tahun, sedangkan Habib Ahmad Al-Kaff
belajar di Mesir sehingga meraih gelar Doktor disana, demikian juga si bungsu
Habib Ali yang juga dikirim ke Mesir.
Walau demikian Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff tetap
berikhtiar dalam membina anak-anaknya supaya menjadi alim, anak yang berilmu,
dengan harapan kelak akan menjadi ulama. Apa yang dilakukannya adalah
meneladani Rasulullah SAW yaitu mendidik anak-anaknya dengan tarbiyah dan
uswatun hasanah (teladan baik) atas apa yang diajarkannya.
Setiap hari, Beliau mengumandangkan adzan di rumahnya,
Jalan Duku Kota Tegal, Jawa Tengah. Mendengar adzan itu, anak-anaknya ikut
bangun dan langsung mengambil wudhu. Satu keluarga itu kemudian shala Shubuh
berjamaah. Usai shalat berjamaah, ia memberikan nasihat agama kepada anak-anak,
hingga hari mulai terang.
Kebiasaan Habib Abdullah Al-Kaff yang tidak pernah
hilang adalah mencium tangan orang yang bersalaman dengannya, walau itu anak
kecil sekalipun. Nah, orang yang tahu maqam Habib Abdullah jadi saling mencium.
Soal Kesabaran, Beliau sangat luar biasa. Ketika
mendapat ujian sakit yang cukup lama, sembilan tahun, tidak pernah sekalipun ia
mengeluh.
Berpulang ke
Rahmatullah..
Kota Tegal saat itu berkabung kehilangan salah satu
tokoh ulama besar yang dimilikinya. Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff berpulang
ke Rahmatullah pada hari Ahad 7 September 2008 bertepatan pada 7 Ramadhan 1429
H, pukul 04.00 di Condet, Jakarta Timur setelah dirawat dua hari di Rumah Sakit
Haji Pondok Gede Jenazah sang ulama, Al-Maghfurlah Habib Abdullah bin Ahmad
Al-Kaff, dimakamkan di pemakaman Al-Haddad, kota TEGAL, pada sore harinya.
Harapan dan
Cita-Cita
Ada satu harapan Habib Abdullah yaitu mendirikan
sebuah pesantren di Tegal. Ia berharap anak-anaknya dapat mewujudkan cita-cita
itu. Kini rumah di Jalan Duku kota TEGAL yang ditinggalkannya menjadi kantor
dan embrio berdirinya pesantren tersebut. “Insya Allah saya dan saudara-saudara
yang lain akan mewujudkan harapan Abah,” kata Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaff
yang meski bertempat tinggal di Pekalongan, namun lebih banyak berkiprah dakwah
di Kota Tegal.
Semoga allah
swt
menempatkan
almarhum pada tempat yang terbaik. Amiin.
Habib Tholib bin Muhsin Alatas
Habib Tholib bin Muhsin Alatas dikenal sebagai tokoh
dengan keramat yang tersembunyi dan baru diketahui setelah wafatnya. Banyak
cerita karomah tentang dirinya, tetapi anak-anaknya yang kini meneruskan
dakwahnya tidak mau banyak bercerita. “Biar masyarakat saja yang menilai”,
begitulah Habib Ahmad bin Tholib, anak sulung Habib Tholib bertutur.
Menurut Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan,
"Keramat Habib Tholib yang kasat mata adalah yang ada pada acara haulnya.
Mengapa ribuan orang datang kemari untuk mendoakannya?"
Habib Luthfi mengatakan, tidak gampang mengadakan
acara haul yang dihadiri ribuan orang dari berbagai kota di Jawa. Ribuan orang
dari Jawa Barat, khususnya Bandung, serta dari Semarang hingga Brebes, datang
untuk berdoa dalam acara haul. Mereka datang sendiri dengan biaya tidak
sedikit, dan mengalami berbagai rintangan maupun halangan, seperti hawa gunung
yang dingin, serta tanah yang menanjak, sehingga membuat payah badan.
“Dahulu kita mengundang 50 orang untuk tahlilan
(sewaktu beliau wafat), yang datang hanya 40 orang saja. Lalu mengapa orang
yang sudah meninggal ini dapat memanggil ribuan jama'ah ini dari mana-mana,
bahkan menyediakan peluang rizqi bagi para pedagang kecil yang berjualan di
sekitar tempat ini?" kata Habib Luthfi menjelaskan kepada orang-orang
yang tidak percaya kepada keramat Habib Tholib.
Lalu
siapakan Habib Tholib Alatas ini?
Menurut manaqib Habib Tholib Alatas yang disebutkan
oleh anak-anaknya, ia lahir di Tegal pada tahun 1929. Tanggal dan bulannya
tidak terlacak, karena tidak ada catatan yang terang tentang tanggal
kelahirannya. Sejak kecil ia dididik oleh ayahnya, Habib Muhsin Alatas, dalam
bidang keagamaan. Selanjutnya ia belajar agama kepada beberapa kiai, seperti
Kiai Akyas Cirebon dan Kiai Said Giren. Kemudian di rumah ia melanjutkan
belajar kepada ayahnya, khususnya beberapa amalan habaib.
Sejak muda, Habib Tholib suka berdakwah, karena
itulah ia pindah ke desa terpencil untuk berdakwah kepada orang-orang yang
belum mengenal dakwah, secara terus-menerus. Pada tahun 1967, ia pindah ke
Bumijawa, masih di daerah Tegal, tetapi arah selatan, yang terletak di kaki
Gunung Slamet.
Selain berdakwah, ia juga bertani, dan pekerjaan tani
ini semakin ditekuni sejak mendapatkan istri, Hajah Ma'anik, gadis di desa
setempat. Dari istrinya ini, ia mendapatkan anak, yang masih hidup hingga
sekarang ada delapan orang. Mereka adalah Ahmad, Sholeh, Muhammad, Abdul
Qadir, Muhsin, Aqil, Ayu Nurul Izzah, Inten Wardah An-Nafisah.
Habib Tholib dikenal sebagai seorang petani yang
tekun dan rajin, sehingga ia bersama kerabatnya berhasil membuat bukit menjadi
tanah persawahan yang ditumbuhi tanaman padi yang subur. Begitu juga
menyalurkan aliran sungai dari gunung hingga ke rumah-rumah warga, sehingga mereka
tidak lagi repot mencari air bersih di pucuk- pucuk gunung.
Bersama masyarakat sekitar, yang pertama ia dirikan
adalah masjid jami', yang kemudian digunakan untuk shalat Jum'at. Kemudian
membentuk Majelis Akhirat, wadah pengajian untuk warga, yang diselenggarakan
setiap hari Sabtu pagi. Yang ramai adalah pada saat hari Sabtu Kliwon.
Di dalam pengajian itu, Habib Tholib mengajarkan
berbagai ilmu, seperti ilmu fiqih, ilmu tauhid, ilmu Al-Qur'an, ilmu hadits,
dan ilmu lainnya. Sementara anak- anaknya sendiri, yang kebanyakan lelaki, ia
kirimkan ke Pesantren Darun Najah Brebes, pimpinan K.H. Aminuddin Mashudi,
sekarang menjadi rais Syuriah PCNU Brebes.
Habib Tholib meninggal pada 21 September 2001 pada
umur 72 tahun dan dimakamkan di depan rumahnya. Peringatan hari haulnya tidak
dijatuhkan pada saat hari meninggalnya, tetapi dipilih pada 21-22 Rabi'ul
Awwal. Alasan keluarga, karena bertepatan dengan peringatan Maulid, sehingga
sekaligus memperingati haul dan Maulid sekaligus.
Setelah Habib Tholib meninggal, anak-anaknya
yang sudah menginjak dewasa, khususnya si sulung, Habib Ahmad Alatas,
mendirikan Pondok Pesantren Tholibiyah, sebagai kenangan atas dakwah ayah
mereka. Pondok pesantren ini menempati tanah sekitar satu hektare, dan berdiri
bangunan, pondok putra, aula, rumah tamu, rumah pengasuh pondok, kantor, makam,
dan gedung-gedung sekolah.
Sekarang pondok pesantren ini menampung sekitar 400
santri, yang dididik secara campuran, yaitu siang belajar umum di madrasah
maupun tsanawiyah, sedang pada sore dan malam hari belajar seperti santrai
salafi. "Kami berusaha menampung keinginan masyarakat di sini.
Diharapkan, para santri lulus, selain mendapat ilmu agama, juga mendapat
ijazah sekolah umum," ujar Habib Ahmad Alatas.
Urusan kepondokan ditangani oleh Habib Muhammad,
sedang madrasah diurus oleh Habib Sholeh bersama adik- adiknya. Sementara Habib
Ahmad, yang sulung, lebih banyak berdakwah ke luar daerah. Bahkan ia tinggal di
Bandung dan memiliki jama'ah pengajian sendiri.
Pembagian ini sudah tertata dengan baik, sehingga
tidak ada salah urus atau saling tumpang tindih. Khususnya Habib Tholib, ketika
masih hidup sudah menunjuk Habib Muhammad untuk mengurusi pondok pesantren
sehari-hari, maksudnya mengurus santri dari pemondokan hingga keperluan-keperluan
belajar mereka di madrasah maupun di pesantren.
Dialah Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaf, salah satu keluarga
Al-Kaf yang paling keras dalam berdakwah dari tujuh bersaudara anak lelaki
Habib Abdullah Al-Kaf. Sebagai pendakwah, pria kelahiraan Tegal, 15 Agustus
1960, ini dikenal sangat konsisten dalam membentengi umat dari pendangkalan
akidah, terutama oleh berkembangnya aliran sesat.
Ditopang oleh postur tubuhnya yang tinggi tegap saat
di mimbar, dai yang satu ini bak singa podium. Ceramahnya berapi-api, membakar
semangat jama’ah. Terkadang nada suaranya baik air yang mengalir deras, penuh
ketegasan. Gaya berdakwah dai yang satu ini memang sangat khas, suara bariton
yang berat dan dalam. Orasinya terkesan galak, penuh nada kritik namun
bertanggung jawab. Sesekali dalam ceramahnya, ia menyelipkan canda-canda yang
segar. Sehingga, dalam tiap pengajian yang diisi olehnya, ribuan jamaah betah
mendengarkan sampai acara pengajian berakhir.
Mengenakan baju koko putih dan bersarung, demikian
tampilan sederhana habib yang sebagian besar waktunya habis untuk berdakwah
ini. Ditunjang oleh sosoknya yang tinggi besar, kalau sedang berbicara di atas
panggung, nada bariton yang berat dan suara menggelegar, itulah ciri khasnya.
Gaya pidatonya berapi-api penuh semangat, sehingga dai ini terkesan angker.
Namun, di balik kesehariannya, ia adalah seorang yang berhati lembut, bertutur
kata pelan dan bersahaja.
Habib Thohir mendapatkan pendidikan agama dari ayah,
Habib Abdullah Al-Kaf, yang dikenal sebagai ulama senior di Jawa Tengah.
Kemudian SD dan SMP Al-Khairiyah di Tegal. Baru, pada tahun 1980, menjadi
santri Sayid Al-Maliki di Pesantren Al-Haramayn asy-Asyarifain Makkah. Dia
menjadi santri selama enam tahun bersama adiknya, Habib Hamid bin Abdullah
Al-Kaf. Habib Hamid kini dikenal sebagai muballigh dan pemimpin Pondok
Pesantren Al-Haramayn asy-Asyarifain, Jln. Ganceng, Pondok Ranggon, Cilangkap,
Jakarta Timur.
Pulang ke Indonesia tahun 1986, Habib Thohir langsung
terjun ke bidang dakwah, dan pernah juga menjadi ustaz di beberapa pesantren.
Kini, meski berkeluarga di Pekalongan, dia lebih banyak membina umat di Tegal,
khususnya di Masjid Zainal Abidin. Di masjid yang terletak di Jalan Duku Tegal
itulah, dia mengadakan majelis taklim yang diberi nama “Majelis Taklim Zainal
Abidin”.
Dia berharap, pesantren Zainal Abidin, yang sejak lama
digagasnya, akan bisa dibangun di Tegal. Sebab sudah banyak orang tua yang
ingin menitipkan anaknya kepadanya. Namun, cita-citanya itu tampaknya masih
akan lama terwujud, sebab sekarang jadwal berdakwahnya masih padat.
Hampir dalam berbagai dakwah, entah dalam kesempatan
majelis taklim, haul, ataupun seminar, dia selalu memperingatkan beberapa
kesesatan yang dilancarkan kepada kaum muslimin di Indonesia. Sebab Islam di
Indonesia, menurutnya, adalah Islam warisan Walisanga, yaitu Ahlusunnah wal
Jamaah, bukan Syiah maupun Ahmadiyah, misalnya. Nama Habib Thohir lebih banyak
dikenal oleh kaum muslimin yang tinggal di pelosok-pelosok desa. Karena dia
lebih senang berdakwah di daerah-daerah, bahkan masuk di pedesaan.
Habib Thohir juga mengharapkan, para ulama dan
cendekiawan mempunyai sikap dan kepedulian untuk membentengi umat Islam dari
kerusakan akidah. Kepada sesama Ahlussunah wal Jamaah, diharapkan tidak perlu
lagi berdebat soal furu’iyyah (masalah cabang-cabang agama), seperti tahlil,
Maulid, haul, dan lainnya.
“Jangan dianggap bahwa orang-orang yang menjalankan
ritus ini tidak mempunyai argumentasi. Dan sewaktu berdebat dengan orang-orang
semacam ini berarti berhadapan dengan saudara sendiri. Perlu diketahui juga,
mayoritas umat Islam Indonesia adalah paham Ahlussunah wal Jamaah, yang senang
tahlil, Maulid, haul, dan lain-lain. Dakwah semacam ini, dipastikan akan
mendapat tantangan. Contoh di kota Mataram beberapa waktu lalu, sebuah pondok
pesantren dibakar, karena melarang talqin. Ini bisa timbul di tempat lain,”
katanya dengan nada penuh prihatin.
Habib Thohir menambahkan, perdebatan semacam persoalan
furu’iyyah sebaiknya segera diakhiri. Menurutnya perdebatan-perdebatan semacam
itu sangat kontraproduktif bagi umat Islam. “Di saat kita membutuhkan energi,
kekuatan, dan ilmu kita untuk sesuatu yang sangat berbahaya menimpa umat –
terutama aliran sesat – kita kok masih berdebat soal khilafiyah?” kata bapak
dua orang putra ini.
Karena panggilan rasa persatuan itulah, Habib Thohir
senantiasa menggandeng semua pihak untuk bisa duduk bersama dan bahu-membahu membangun
dan berdakwah untuk umat.
“Jadi paham aliran sesat dan paham-paham di luar
Islam, seperti sekularisme, pluralisme, dan liberalisme perlu diluruskan. Ini
dapat merusak akidah umat Islam, karena paham-paham ini mengarah para
pemurtadan. Alasannya sudah cukup kuat, yakni memutuskan akal, merekayasa fiqih
lintas agama karena fiqih Islam dianggap tidak demokratis, dan berupaya
meragukan kaidah keislaman,” kata Habib Thohir lagi.
Tekadnya untuk memerangi aliran sesat semakin mantap
ketika dia menjadi pemrasaran dalam seminar Sekitar Syi’ah di Aula Masjid
Istiqlal pada 1997. Sikapnya terus berlanjut dengan berbagai seminar di dalam
maupun luar negeri.
“Kita diperintahkan oleh Nabi untuk bangkit, tidak
diam. Mana yang bangkit? Siapa yang berjuang dan menantang arus ini
(pendangkalan akidah)?”
Habib Thohir, selain berdakwah dengan pidato-pidatonya
yang kerap menolak aliran sesat, juga telah menuliskan karyanya dengan judul
Mengapa Kita Menolak Syiah?, serta beberapa buku lainnya. Namun, dia merasakan
lebih mantap untuk menjelaskan kepada umat lewat dakwah bil lisan, sebab umat
belum terbiasa untuk membaca buku.
Dia sangat menyesalkan lambannya penanganan yang
dilakukan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga keagamaan. Padahal, menurutnya,
gerakan aliran sesat itu sekarang masih berjalan, walaupun dalam skala yang
kecil dan sembunyi-sembunyi. “Di saat orang lain diam, saya katakan, saya
menyediakan diri untuk menghadapinya sekalipun sendirian!”
Ketika disinggung tentang maraknya kegiatan terorisme
yang banyak menimpa umat Islam, Habib Thohir dengan keras menentangnya. “Islam
tidak mengenal teroris, keberadaan orang-orang yang melaksanakan kegiatan
terorisme sangat merugikan citra Islam. Sehingga dilihat, seakan-akan Islam itu
kejam, keras, tidak kenal kasih sayang.”
Habib Thohir sendiri merasakan betapa masyarakat kita,
dan skala yang lebih luas internasional, begitu ketat dalam menanggapi fenomena
terorisme. Ia mengisahkan pernah “diinterogasi” petugas intelijen dan imigrasi
di perbatasan antara Malaysia dan Singapura.
Kisahnya bermula ketika dia mendapat undangan untuk
mengisi peringatan haul di Masjid Ba’alawi Singapura. “Saya sampai dua jam
diinterogasi, dikira teroris. Ditanya ini-itu, sampai menanyakan istri dan
anak, pendidikan, sekitar dua jam. Sangat melelahkan. Itu salah satu imbas efek
terorisme,” kata Habib Thohir.
Bahkan tidak hanya terjadi ketika di Singapura. Pulang
ke tanah air pun, dia masih merasakan efek terorisme. Ketika masuk bandara,
mall, hotel, ia selalu diperiksa dengan ketat. “Ini semua karena ‘efek samping’
suatu perbuatan saudara kita yang salah sasaran. Dan ini justru menjadi
kesempatan bagi orang-orang di luar Islam untuk menjelek-jelekkan citra Islam,”
komentarnya mengenai terorisme.
Karenanya, untuk menyudahi persoalan terorisme, Habib
Thohir mengimbau umat Islam untuk mendefinisikan kembali makna dan hakikat
jihad. Yakni, jihad tidak dibenarkan menggunakan bom. Menurutnya, teror bom
hanya akan mengganggu kehidupan umat manusia. Jihad merupakan sarana dakwah,
bukan tujuan, sehingga harus dilaksanakan secara baik, bermanfaat luas, dan
jauh dari anarkisme dan kekerasan.
Jihad itu mempunyai aturan main yang sangat luas.
Jadi, berjihadlah seperti yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. “Kapan kita harus
perang, kepada siapa kita berperang, dan siapa saja yang harus kita perangi?
Perempuan, anak-anak, orang yang sedang beribadah sekalipun nonmuslim, tidak
boleh dibunuh. Binatang tidak boleh dibunuh, bahkan pohon dan barang-barang pun
tidak boleh dirusak!”
Habib Mahdi bin Muhammad Al Hiyyed
Majelis Ahbabul Musthofa, sebuah majelis ilmu dan
dzikir yang didirikan di kota Tegal Jawa Tengah oleh seorang ulama besar Al
Habib Mahdi bin Muhammad Al Hiyyed, alumni Darul Musthofa, Tharim, Hadromaut,
Republik Yaman Selatan. Beliau lahir di Kota Tegal pada tanggal 12 Juli 1973.
Beliau menempuh pendidikan disana dari tahun 1994-1998 bersama teman-temannya
seperti Habib Munzir al musawwa, Habib Jindan bin Novel, Habib Quraisy Baharun,
dkk. Sekembalinya di Indonesia tahin 1999 bersama Habib Abdullah Al Haddad mulai
berdakwah di Kota Tegal, Jawa Tengah, sebuah kota kecil yang sangat sarat
dengan para ulama, kyai, dan habaib. Majlis dzikir di adakan setiap senin malam
selasa ba'da isya. Dzikir yang dijalankan bermula dengan Ratib Al Haddad dan
asmaul husna.
Mejelis ini lebih mengutamakan akhlak. untuk pertama
kalinya dan mengajak kaum muda terutama dengan berdzikir dan di lanjutkan
belajar ilmu fiqih.Singkat kata, majelis yang didirikan dengan penuh kesabaran
dan keihklasan ini sekarang sudah bertambah besar dan diantaranya sudah ada
cabang di Brebes dan juga di Kota Jakarta dan Bekasi yang didirikan oleh
salah satu muridnya dari Tegal. Namun kesemuanya itu tidak akan menjadi besar
tanpa kesabaran, keikhlasan, istiqomah dan ilmu diiringi dzikir seperti yang
telah diajarkan oleh Syechuna Al Alamah Al Mukarrom Al Habib Mahdi Bin Muhammad
Al Hiyyed. Jika ingin mendapatkan kata-kata mutiaranya dan ilmunya, silahkan
datang ke kediaman beliau tepatnya di Desa Kaligayam Kecamatan Talang Tegal,
Namanya sudah terkenal bahkan sampai keluar daerah. Insya Allah berkah..aamiin.
Dalam berdakwah, dia menggunakan metode dakwah para
salafush shalih, orang-orang terdahulu, khususnya para Walisanga.
Habib Sholeh Alatas adalah putra pasangan Habib Ali
bin Hasan Alatas dan Syarifah Syifa binti Muhammad bin Syech Abubakar Bin
Salim. Dia terhitung cucu K.H. Said, pendiri Pondok Pesantren Attauhidiyyah
Giren Tegal. Neneknya adalah putri K.H. Said, yang dinikahi Habib Hasan bin Ali
Alatas, yang tidak lain kakeknya dari pihak ayah.
Habib Sholeh lahir di Tegal, 14 Juni 1976. Ia anak
keempat dari delapan bersaudara. Pendidikan pertama Habib Sholeh di SD-SMP di
kota Tegal.
Pada tahun 1991 dia berangkat nyantri di daerah
Pantura, yaitu Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang, yang diasuh oleh
seorang ulama sepuh, K.H. Maemun Zubaer. Kurang lebih hampir sembilan tahun dia
mondok di pesantren, dan dari Sarang-lah dia perdalam ilmu nahwu dan sharaf,
juga fiqih.
Setelah lulus Aliyah di Sarang, Habib Sholeh meneruskan pendidikannya ke Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah kota Malang, tahun 2000 sampai 2002.
Setelah lulus Aliyah di Sarang, Habib Sholeh meneruskan pendidikannya ke Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah kota Malang, tahun 2000 sampai 2002.
Tanggal 11 oktober 2002, Habib Sholeh terbang menuju
tanah kakek moyangnya di Hadhramaut, Yaman, dan belajar kurang lebih empat
tahun di Darul Musthafa.
Luwes dan Luas
Sekembalinya ke Indonesia, Habib Sholeh bin Ali Alatas
langsung terjun ke masyarakat dengan berdakwah.
Dalam berdakwah, dia menggunakan metode dakwah para
salafush shalih, orang-orang terdahulu, khususnya para Walisanga. Yaitu
pendekatan yang luwes dan luas. Luwes dalam arti dakwah yang penuh simpati, dan
luas dengan makna dakwah yang mempertimbangkan berbagai aspek.
Diakuinya, waktu pertama kali berdakwah, dia
menggunakan cara langsung tegas terhadap kemunkaran. Namun setelah dicoba, cara
ini tidak berhasil. Pengasuh PP Ribath Nurul Hidayah Tegal ini lalu menggunakan
metode dakwah yang simpatik, sehingga tertanam di dalam hati masyarakat rasa
cinta dan perlunya kepada ajaran-ajaran Nabi, khususnya wilayah Pantura, yang
banyak sekali tempat-tempat hiburan malam.
Dengan demikian, alhamdulillah, Habib Sholeh Alatas
kini berhasil mendirikan cabang-cabang majelis ta’lim safari dan ta’lim binaan
Ribath Nurul Hidayah di wilayah Pantura dan juga cabang-cabang di wilayah
Kabupaten Tegal dan kota Tegal.
Di samping mengasuh pondok, Habib Sholeh juga aktif
berdakwah ke pelosok-pelosok desa serta keluar kota Tegal, seperti Jawa Barat,
Jawa Timur, juga Kalimantan.
KH. Miftah Talang, Tegal
Beliau dilahirkan di Tegal pada tahun 1920 M dan wafat
di Tegal pada tanggal 3 Jumadil Akhir 1414 H/ 1994 M. Jasad beliau dimakamkan
di desa Kajen, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal.
Pengembaraan menuntul ilmunya dimulai di Pondok milik
kakaknya di Pekalongan pada usia sekitar 8 tahun. Dalam usia tersebut beliau
telah mampu menghafal beberapa kitab matan klasik seperti matan al-Ajrumiyyah,
Nadzam Maqshud dan al-’Imrithiy.
Setelah 2 tahun beliau mondok kepada kakaknya, beliau
meneruskan ke Pondok Pesantren Kempek Cirebon selama 4 tahun. Usai dari Kempek
beliau mulai melanjutkan pengembaraan menuntut ilmunya ke daerah timur.
Beliau sempat mondok di Watucongol walau sebentar saja
hanya sekitar 2 bulan. Kemudian beliau memutuskan untuk mondok di Mbah Manaf Romo
KH. Abdul Karim Pondok Pesantren Lirboyo Kediri selama 25 tahun.
Pengembaraannya yang cukup lama. kurang lebih 31
tahun, membuahkan hasil. Jadilah beliau seorang yang alim dan mengamalkan
ilmunya. Kepulangannya ke kampung halaman disambut dengan suka cita warga
setempat sehingga akhirya beliapun menjadi tokoh panutan warga NU dan khususnya
warga Tegal.
Berdasarkan penuturan dari anak-anak beliau, mengenai
nasab KH. Miftah, tak ada yang mengetahui dengan jelas keturunan siapakah
sebenarnya sang abah. Setelah dicari dari berbagai sumber terpercaya ternyata
KH. Miftah adalah keturunan dari Sunan Amangkurat yang bersambung kepada Raja
Mataram hingga kepada Raja Brawijaya.
Perjuangan beliau tidak diragukan lagi. Seperti halnya
para tokoh-tokoh ulama lainnya dalam memperjuangkan agama islam, beliau tak
setengah-setengah menyerahkan jiwa dan raganya demi tegaknya aqidah Ahlussunnah
wal Jama’ah di bumi Indonesia khususnya di Kota Tegal.
Dalam
struktural NU beliau pernah menjabat sebagai:
1. Rois Syuriyah PC NU Kab. Tegal
2. Syuriyah PWNU Jawa Tengah
3. Tim 9 Lajnah Falakiyah PBNU.
4. Dan termasuk dalam Tim Itsbat Departemen Agama RI.
Diantara wasiat atau pesan-pesan yang diberikan oleh KH. Miftah yaitu:
“Tawadhu’, andap asor, rendah hati, sedikit bicara,
dan menghargai waktu.”
“Hargailah waktu, orang yang tidak bisa dan tidak mau
menghargai waktu, pertanda orang tersebut tidak mengerti harga dan mahalnya
waktu.”
KH. Sa’id bin KH. Armia bin KH. Kurdi
KH. Sa’id bin KH. Armia adalah seorang waliyullah dari
Tegal, Jawa Tengah. Beliau adalah seorang Kyai yang zuhud dan wira’i. Dalam
kehidupan rumah tangganya serba pas-pasan tidak muluk-muluk laiknya para
Pejabat yang serba mewah, padahal beliau sang Kyai adalah Kyai terkenal dan
sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Attauhidiyyah Giren, Talang, Tegal.
Suatu hari istri sang Kyai, saat berada di tempat
cucian baju sambil memegang gayung untuk mengambil air dari dalam kolam,
membatin dalam hatinya: “Ya Allah, aku ingin memiliki emas.”
Seketika itu juga gayung yang ia pegang berubah
menjadi emas. Sang Kyai yang melihat kejadian itu menangis dengan penuh
kesedihan sambil berkata: “Ya Allah ampunilah istri hambaMu ini yang mempunyai
keinginan dunia dalam hatinya.”
Sang istri yang melihat kedatangan suaminya dan
mendengar perkataan sang Kyai menjadi malu dan bertobat kepada Allah Swt.
Al-Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Qadir
Bilfaqih, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hadits al-Faqihiyyah Malang yang
sekaligus murid dari KH. Said bin KH. Armia, pernah menceritakan bahwa sewaktu
beliau belum menjadi murid KH. Said beliau melihat dari mata batin sebuah
cahaya yang memancar ke atas menembus langit dari suatu tempat, karena
penasaran beliau mencari sumber cahaya tersebut hingga sampailah beliau di desa
Cikura, Bojong, Tegal, Jawa Tengah dan ternyata sumber cahaya tersebut berasal
dari Pemakaman Umum di desa tersebut.
Beliaupun bertanya-tanya; “Siapakah yang dimakamkan di
sana? Amalam apa yang menyebabkan makam tersebut mengeluarkan cahaya hingga
menembus langit?”
Dan makam tersebut adalah makam seorang waliyullah
yang agung yaitu Hadhratus Syeikh KH. Armia bin KH. Kurdi, salah seorang ulama
yang selalu mengajarkan kepada masyarakat sekitar tentang Tauhidullah.
Beliaupun tertarik untuk belajar kepada putranya yaitu KH. Said bin KH. Armia.
Sebelumnya Haul KH. Armia belum pernah ada karena KH.
Said pernah diwasiati ayahnya untuk tidak mengadakannya. Namun atas usulan
al-Habib Abdurrahman Bilfaqih yang mengusulkan untuk selalu mengadakan Haul KH.
Armia secara besar-besaran inilah akhirnya sampai sekarang Haul beliau selalu
ramai dikunjungi umat Islam dari dalam dan luar negeri. Beliau al-Habib
Abdurrahman Bilfaqih memberikan alasan karena untuk mengenang perjuangan KH.
Armia dalam mensyiarkan Agama Allah terutama ilmu-ilmu Tauhid.
KH. Hasani bin KH. Said pernah bercerita bahwa
al-‘Allamah Syekh Ali Basalamah Mursyid Thariqat Tijaniyyah dari
Jatibarang, Brebes, Jawa Tengah, mendengar bahwa di Tegal ada seorang Ulama
yang mengajarkan Tauhid Imam as-Sanusi. Beliaupun akhirnya datang ke Tegal untuk
bersilahturrahim. Sesampainya di Tegal beliau melihat KH. Said bin KH.
Armia sedang mengajarkan Kitab Imam as-Sanusi
dan di sebelah kanan KH. Said tampak Sayyidul Wujud Baginda Nabi Agung Muhammad
Saw. dan di sebelah kiri KH. Said tampak al-Imam as-Sanusi Ra. Hal ini
menunujukan bahwa KH. Said memilki derajat kewalian yang tinggi dan ilmu yang
diajarkan adalah ilmu yang haq dan bermanfaat.
Tak terhitung jumlahnya murid-murid KH. Said yang
menjadi ulama besar. Diantaranya adalah al-Habib M. Luthfi bin Ali bin Hasyim
bin Yahya dan al-Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Qadir bin Ahmad
Bilfaqih.
Sekitar tahun 1974, Sahlan salah satu murid KH. Said,
setiap selesai mengaji pada hari Kamis pagi, beliau selalu sowan ke hadapan
al-Marhum KH. Said untuk memijatnya. Saat KH. Said sedang sakit, seminggu
sebelum beliau wafat, beliau meminta Sahlan untuk dimasakkan ikan tenggiri
dengan dimasak secara dipes atau dipanggang dibungkus dengan daun pisang dan
nasinya juga dibungkus dengan daun pisang.
Tapi apalah daya usaha untuk mendapatkan ikan tenggiri
di TPI Suradadi, Tegal saat itu sangat sulit. Setiap kali ada perahu yang baru
mendarat dan dilihat ternyata tidak ada ikan tenggirinya. Karena waktu hampir
jam empat sore akhirnya Sahlan membeli ikan bandeng. Setelah sampai di rumah
ikan bandeng tersebut dimasak sesuai pesanan beliau. Kemudian paginya dibawa ke
hadapan KH. Said dan selanjutnya beliau pun melahapnya.
Setelah selesai makan, beliau KH. Said berkata kepada
Sahlan yang ternyata untuk terakhir kalinya: “Kamu akan punya sumur yang airnya
banyak.”
KH. Said bin KH. Armia adalah seorang ulama dan
waliyullah yang wafat pada tanggal 20 Rajab tahun1395 H atau sekitar tahun 1974
M dan dimakamkan tak jauh dari Pondok Pesantren Attauhidiyyah, Giren, Talang,
Tegal.
Daftar Pustaka
Majalah
Alkisah No.21/Tahun VI/2008 dan No. 10/Tahun VII/2009
Dari Majalah
Alkisah No.05/2013
http://www.majalah-alkisah.com/
Al Kisah No.21 / tahun III / 10-23 oktober
2005&No.23/tahun II/8-21 Nov-2004.
Komentar
Posting Komentar