Wali Songgo dan pendahulunya



WALI- WALI SONGGO

A.    Pengertian Waliyulloh
Dalam Kitab  Jami’u karomatil Auliya’ Juz 1 hal 7   Syech Yusuf  bin sulaiman berpendapat bahwa “wali ialah orang yang sangat dekat kepada Alloh lantaran penuh ketaatannya dan oleh karena itu Alloh memberikan kuasa kepadanya dengan Karomah dan penjagaan”
maksudnya adalah orang yang menjadi dekat keadaan jiwanya kepada Alloh karena ketaatan dia akibatnya Alloh menjadi dekat orang tersebut dan diberikan anugrah oleh Alloh berupa“karomah” dan penjagaan untuk tidak terjerumus berbuat  ma’siat, apabila dia terjerumus berbuat maksiat maka cepat-cepat dia bertaubat.
Kh.Hasyim Asy’ari  dalam kitabnya  Ad Durorul Muntatsiroh  pada halaman 2 beliau mengungkapkan bahwa Wali adalah orang yang terpelihara dari ;
a. Melakukan dosa besar dan kecil
b.Terjerumus oleh hawa nafsunya sekalipun hanya sekejap dan apabila melakukan dosa maka dia cepat-cepat bertaubat kepada Alloh. sebagaimana tersebut didalam al Quran surat Yunus    ayat 62-64)
Hakim At-Tirmidzi mendefinisikan Wali  ALLOH  adalah seorang yang demikian kokoh di dalam peringkat kedekatannya kepada  ALLOH  (fi martabtih), memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu seperti bersikap shidq (jujur dan benar) dalam perilakunya, sabar dalam ketaatan kepada Alloh, menunaikan segala kewajiban, menjaga hukum dan perundang-undangan (al-hudud) Alloh, mempertahankan posisi kedekatannya kepada Alloh. seorang wali mengalami kenaikan peringkat sehingga demikian dekat dengan Alloh, sehingga lupa dari segala sesuatu selain Alloh.
Karena kedekatannya dengan Alloh, seorang wali memperoleh ‘ishmah (pemeliharaan) dan karomah (kemuliaan) dari Alloh. menurutnya, ada tiga jenis ‘ishmah dalam Islam. Pertama, ‘ishmah al-anbiya’ (ishmah para Nabi) merupakan sesuatu yang wajib, baik berdasarkan argumentasi ‘aqliyyah seperti dikemukakan Mu’tazilah maupun berdasarkan argumentasi sam‘iyyah. Kedua, ‘ishmah al-awliya’ (merupakan sesuatu yang mungkin); tidak ada keharusan untuk menetapkan ‘ishmah bagi para wali dan tidak berdosa untuk menafikannya dari diri mereka, tidak juga termasuk ke dalam keyaqinan agama (‘aqa’id al-din); melainkan merupakan karomah dari Alloh kepada mereka. Alloh melimpahkan ‘ishmah ke dalam hati siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara mereka. Ketiga, ‘ishmah al-‘ammah, ‘ishmah secara umum , melalui jalan al-asbab, sebab-sebab tertentu yang menjadikan seseorang terpelihara dari perbuatan maksiat.
‘Ishmah yang dimiliki para wali dan orang-orang beriman, menurut Hakim at-Tirmidzi, bertingkat-tingkat. Bagi umumnya orang-orang yang beriman, ‘ishmah berarti terpelihara dari kekufuran dan dari terus menerus berbuat dosa; sedangkan bagi para wali ‘ishmah berarti terjaga (mahfuzh) dari kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqomat mereka. Masing-masing mereka mendapatkan ‘ishmah sesuai dengan peringkat kewaliannya. Inti pengertian ‘ishmah al-awliya’ terletak pada makna al-hirasah (pengawasan), berupa cahaya ‘ishmah (anwar al-ishmah) yang menyinari relung jiwa (hanaya al-nafs) dan berbagai gejala yang muncul dari kedalaman al-nafs, tempat persembunyian al-nafs (makamin al-nafs), sehingga al-nafs tidak menemukan jalan untuk mengambil bagian dalam aktivitas seorang wali. Ia dalam keadaan suci dan tidak tercemari berbagai kotoran al-nafs ( adnas al-nafs ).
jadi dari berbagai pendapat diatas bahwa Derajat ke” Wali” an pada hakekatnya dapat diperoleh atau dicapai oleh sesorang mukmin yang bertaqwa dengan jalan melaksanakan dan menta’ati segala peraturan dan tuntunan sya’ra yang diwajibkan dan yang disukai Alloh SWT dikerjakan dengan penuh ketekunan. Dan yang Haram atau yang tidak disukai Alloh dijauhkan dan dihindarkan dari dirinya supaya jangan sampai jatuh tergelincir melakukannya. Apabila tergelincir melakukan dosa kecil sekejap saja cepat-cepat diikuti dengan bertaubat yang sebenar-benarnya. dan terus segera kembali kepada yang haq (benar).

Wali-wali Songo
Di Indonesia Walisongo Fakta Dan Dokumen Sejarah Walisongo, Sejarah masuknya Islam di negri ini sungguh penuh dengan carut-marut karena sejak dahulu bangsa Indonesia memang lemah dalam sistim dokumentasi. Akibatnya, sejarah Indonesia sebelum datangnya bangsa Belanda selalu ada beberapa versi karena selalu ada distorsi dari pelaku sejarah maupun dari masyarakat yang meneruskan cerita tersebut kepada generasi berikutnya. Sungguh suatu hal sangat memprihatinkan, bahwa sejarah lahirnya Islam di Jazirah Arabia yang terjadi pada abad ke-7 Masehi lahirnya Nabi agung Muhammad SAW [581 M], wafat [632 M] dan penggantinya Abu Bakar [632-634 M], Umar Bin Khotob [634-644 M], Usman Bin Affan [644-656 M], Ali Bin Abi Thalib [656-661 M] serta perkembangan Islam selanjutnya dapat terdokumentasi secara jelas. Namun sejarah masuknya Islam di Indonesia yang terjadi 7 abad setelahnya, justru tidak terdokumentasi secara pasti. Barangkali karena alasan itulah maka sejarah tentang walisongo juga penuh dengan carut-marut.

Arti Walisongo
Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.
Wali songo atau Wali sanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Penggagas Walisongo adalah Khalifah Muhammad I [Kekhalifahan Turki Utsmani] tahun 1404 M/808 beliau mendapat informasi perkembangan agama Islam dari para pedagang Gujarat bahwa di Pulau Jawa ada dua kerajaan Hindu yaitu Majapahit dan Pajajaran. Di antara rakyatnya ada yang beragama Islam tapi hanya terbatas pada keluarga pedagang Gujarat yang menikah dengan para penduduk pribumi yaitu di kota-kota pelabuhan.
  Sultan Muhammad I menugaskan para Ulama mumpuni yang nasabnya sebagian besar dari asal Hadhramaut Yaman (Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini), namun masing-masing telah berdakwah ke berbagai penjuru dunia sehingga disebut berasal dari beragam daerah di berbagai penjuru kawasan Islam. Beliau lantas menugaskan para Dai' tersebut untuk berdakwah di Asia Tenggara dalam suatu Majelis

Dakwah Walisongo.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Saat itu, majelis dakwah Walisongo beranggotakan Maulana Malik Ibrahim sendiri, Maulana Ishaq (Sunan Wali Lanang), Maulana Ahmad Jumadil Kubro (Sunan Kubrawi); Maulana Muhammad Al-Maghrabi (Sunan Maghribi); Maulana Malik Isra'il, Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana 'Aliyuddin, dan Syekh Subakir.
Wali songgo terbentuk sampai sepuluh periode dan dari sepuluh periode nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu: Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel atau Raden Rahmat, Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim, Sunan Drajat atau Raden Qasim, Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq, Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin, Sunan Kalijaga atau Raden Said, Sunan Muria atau Raden Umar Said, Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam,  perniagaankebudayaankesenian, kemasyarakatan, hingga kepemerintahan.





"PARA PENDAHULU WALI SONGO"

Tapak Jejak Waliyulloh para pendahulu wali songo, Wali Songo, setiap umat Muslim di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, pasti tidak asing dengan kata ini. Kebanyakan diantara kita, mahfum akan keberadaannya yang masyhur dengan 9 wali, yang biasa di sapa dengan kata “Sunan”. Seperti; Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Kudus, Sunan Giri, Sunan Kali Jogo, Sunan Gresik, Sunan Drajat, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati. Tetapi belum banyak yang tahu bahwa sebenarnya Wali Songo adalah sebuah majelis da’wah yang di prakarsai oleh Sunan Gresik (Syekh Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Majelis da’wah ini beranggotakan 9 Mubaligh, yang dalam keberlangsungan organisasinya tetap mempertahankan jumlah anggota yang tetap 9. Seperti yang dikutip dalam buku Khoul Sunan Ampel Ke-555 yang ditulis oleh KH. Ahmad Dahlan; “…majelis da’wah yang secara umum dinamakan Walisongo, sebenarnya terdiri dari beberapa angkatan. Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, baik dalam ikatan darah atau karena pernikahan, maupun dalam hubungan guru-murid. Bila ada seorang anggota majelis yang wafat, maka posisinya digantikan oleh tokoh lainnya” Namun, jauh sebelum Wali Songo berkiprah dengan majelis da’wahnya di Indonesia khususnya pulau Jawa dan sekitarnya, peran para Alawiyyin, telah terlebih dahulu berjasa menyebarkan Islam di bumi pertiwi ini. Sebutan “Alawiyyin” adalah diperuntukkan bagi kaum atau sekelompok orang yang memiliki pertalian darah langsung (Keturunan/Nasab) dengan Nabi Muhammad saw. Kebanyakan dari mereka berasal dari Persia (Iraq) dan Hadramaut, Yaman Selatan Berikut ini adalah 5 tokoh Alawiyyin yang merupakan pendahulu para Wali Songo. Mereka itu adalah:
1. Sayyid Ali Al-Muktabar.
2. Syekh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini.  
3. Syekh Datuk Kahfi.
4. Syekh Quro.
5. Syekh Khaliqul Idrus. (menantu dari Syekh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini)
BIOGRAFI SINGKAT PENDAHULU PARA WALI SONGO

1. Sayyid Ali Al-Muktabar
Sayid Maulana Ali al-Muktabar merupakan pendahulu wali songgo, dengan sebuah kapal di bawah Nakhoda Khalifah. . Kapal itu memuat sekitar 100 pendakwah yang menyamar sebagai pedagang. Rombongan ini terdiri dari orang-orang Quraish, Palestina, Persia dan India. Rombongan pendakwah ini tiba pada tahun 173 H (800 M). Sebelum merapat di Perlak, rombongan ini terlebih dahulu singgah di India.
Nasab Sayyid Maulana Ali Muktabar
Sayid Maulana Ali al-Muktabar, merupakan keturunan dari Sayid Muhammad Diba`i anak Imam Jakfar Asshadiq  anak dari Imam Muhammad Al Baqir putra dari Syaidina Ali Muhammad Zainal Abidin, yakni satu-satunya putra Syaidina Husen, putra Saidina Ali bin Abu Thalib dari perkawinan dengan Siti Fatimah, putri dari Muhammad Rasulullah saw.
Keikutsertaan Sayid Maulana Ali al-Muktabar dalam rombongan pendakwah karena Khalifah Makmun bin Harun Al Rasyid (167-219 H/813-833 M) meminta menyebarkan Islam di Hindi, Asia Tenggara dan kawasan-kawasan lainnya.
Dari hijrah tersebut, berangkatlah satu kapal yang memuat rombongan angkatan dakwah termasuk di dalamnya Sayid Ali Muktabar. Menurut kitab Idharul Haq fi Mamlakat al-Perlak yang ditulis oleh Syekh Ishak Makarani al-Pasi pada tahun 173 H (800 M) Bandar Perlak disinggahi oleh satu kapal yang membawa kurang lebih 100 orang da’i yang terdiri dari orang-orang Arab suku Qurasy, Palestina, Persia dan India dibawah Nakhoda Khalifah dengan menyamar menjadi pedagang.
Rombongan Nakhoda Khalifah ini disambut oleh penduduk dan penguasa negeri Perlak yakni pada masa Meurah Syahir Nuwi. Pada masa itu pula, Meurah Syahir Nuwi menjadi raja pertama yang menganut Islam di Perlak. Sayid Ali Muktabar sendiri kemudian menikah dengan adik Syahir Nuwi yang bernama puteri Tansyir Dewi yang kemudian mereka dianugerahi seorang putra bernama Sayid Maulana Abdul Aziz Syah. Saat Sayid Maulana Abdul Aziz Syah dewasa, akhirnya dinobatkan menjadi Sultan Pertama Kerajaan Islam Perlak bertepatan pada tanggal 1 Muharram 225 H dengan gelarnya Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah.
Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah mengubah nama ibukota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah. Karena wilayahnya yang strategis Kerajaan Islam Perlak akhirnya berkembang menjadi sebuah Kerajaan yang maju, menggantikan peran dari Kerajaan Islam Jeumpa. Setelah berdirinya beberapa Kerajaan Islam baru sebagai pusat Islamisasi Nusantara seperti  Kerajaan Islam Perlak (840-an) dan Kerajaan Islam Pasai (1200-an), Kerajaan Islam Jeumpa yang menjalin kerjasama diplomatik tetap memiliki peran besar dalam Islamisasi Nusantara, khususnya dalam penaklukkan beberapa kerajaan besar Jawa-Hindu seperti Majapahit. Agama yang dianut kerajaan majapahit sangat kuat, sehingga para mubalig berjuang sangat keras dalam dakwah mereka, dari sayyid Ali inilah Islam mulai berkembang di Nusantara terutama melalui generasi beliau Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah.
Dapat dikatakan bahwa Kerajaan Islam Perlak adalah kelanjutan atau pengembangan dari Kerajaan Islam Jeumpa yang sudah mulai menurun peranannya. Namun secara diplomatik kedua Kerajaan ini merupakan sebuah keluarga yang terikat dengan aturan Islam yang mengutamakan persaudaraan. Apalagi para Sultan adalah keturunan dari Nabi Muhammad yang senantiasa mengutamakan kepentingan agama Islam di atas segala kepentingan duniawi dan diri mereka. Bahkan dalam silsilahnya, Sultan Perlak yang ke V berasal dari keturunan Kerajaan Islam Jeumpa
Makam Raja Perlak pertama, Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, di Peureulak,
Aceh Timur

2. Syekh Jumadil Qubro
Sayyid Jumadil Kubro adalah sosok yang menjadi pembuka sejarah anggota Wali Songo karena kebanyakan wali di tanah Jawa merupakan keturunan Sayyid Jumadil Kubro.


Syekh Sayyid Maulana Ahmad Jumadil Qubro  atau Sayyid Jamaluddin Husain / Sunan Kubrawi /Jamaluddin Akbar Al-Khan putra-putra beliau, yaitu 1. Barakat Zainal Alam yang menurunkan  Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) dan 2. Ibrohim Asmoro/Ibrohim Zaenal Akbar yang menurunkan   Maulana Ishaq, dan Syeh Rahmatullah {Sunan Ampel}. dan ke-3. Ali Nurul Alam yang menurunkan Syarif Hidayatullah bin Abdullah bin Ali Nurul Alam.
Berbicara mengenai Syekh Jumadil Kubro (Syech Jumadil Qubro) kita berbicara mengenai penghulu para wali Allah dan penghulu para habaib di Nusantara Indonesia ini. Tokoh penting dalam penyebaran Islam di Indonesia.
Sayyid Jumadil Kubro berkunjung ke Jawa beliau singgah ke Kerajaan Campa pada tahun 1399 Masehi. Kedatangan Sayyid Jumadil Kubro ke Campa bertujuan menemui putra dan cucu beliau, berdagang, sekaligus berdakwah menyiarkan agama Islam. Putra Sayyid Jumadil Kubro yang telah menetap di Campa adalah Maulana Ibrahim. Maulana Ibrahim menikah dengan putri Raja Campa, yaitu Dewi Candrawulan. Pernikahan Maulana Ibrahim dengan Dewi Candrawulan melahirkan dua orang putra, yaitu Sunan Ampel dan Raja Pandito.
Syeikh Jumadil Kubro merupakan tokoh kunci proses Islamisasi tanah Jawa yang hidup sebelum walisongo. Seorang penyebar Islam pertama yang mampu menembus dinding kebesaran Kerajaan Majapahit. Syeikh Jumadil Kubro bernama lengkap Syeikh Jamaluddin al-Husain al-Akbar. Beliau adalah cucu Rasulullah Muhammad SAW dari garis Syyidah Fatimah Az Zahrah al-Battul. Ayahnya bernama Syeikh Jalal yang karena kemuliaan akhlaknya mampu meredam pertikaian Raja Campa dengan rakyatnya. Sehingga, Syeikh Jalal diangkat sebagai raja dan penguasa yang memimpin Negara Campa.Syeikh Jamaluddin tumbuh dan berkembang di bawah asuhan ayahnya sendiri. Setelah dewasa, beliau mengembara ke negeri neneknya di Hadramaut. Di sana beliau belajar dan mendalami beragam ilmu dari beberapa ulama yang terkenal di zamannya. Bahkan keilmuan yang beliau pelajari meliputi Ilmu Syari’ah dan Tasawwuf, di samping ilmu-ilmu yang lain.
Selanjutnya, beliau melanjutkan pengembaraannya dalam rangka mencari ilmu dan terus beribadah ke Mekkah dan Madinah. Tujuannya adalah mendalami beragam keilmuan, terutama ilmu Islam yang sangat variatif. Setelah sekian lama belajar dari berbagai ulama terkemuka, kemudian beliau pergi menuju Gujarat untuk berdakwah dengan jalur perdagangan. Melalui jaringan perdagangan itulah beliau bergumul dengan ulama lainnya yang juga menyebarkan Islam di Jawa.
Kemudian beliau dakwah bersama para ulama’ termasuk para putra-putri dan santrinya menuju tanah Jawa. Mereka menggunakan tiga kendaraan laut, sekaligus terbagi dalam tiga kelompok dakwah. Kelompok pertama dipimpin Syeikh Jumadil Kubro memasuki tanah Jawa melalui Semarang dan singgah beberapa waktu di Demak. Selanjutnya perjalanan menuju Majapahit dan berdiam di sebuah desa kecil bernama Trowulan yang berada di dekat kerajaan Majapahit. Kemudian jamaah tersebut membangun sejumlah padepokan untuk mendidik dan mengajarkan beragam ilmu kepada siapa saja yang  hendak mendalami ilmu keislaman.
Kelompok kedua, terdapat cucunya yang bernama al-Imam Ja’far Ibrahim Ibn Barkat Zainal Abidin dibantu saudaranya yakni Malik Ibrahim menuju kota Gresik. Dan kelompok ketiga adalah jamaah yang dipimpin putranya yakni al-Imam al-Qutb Sayyid Ibrahim Asmoro Qondy menuju Tuban. Namanya masyhur dengan sebutan “Pandhito Ratu” karena beliau memperoleh Ilmu Kasyf (transparansi dan keserba jelasan ilmu/ilmu yang sulit dipahami orang awam, beliau diberi kelebihan memahaminya).
Perjalanan dakwah Syeikh Jumadil Kubro berakhir di Trowulan, Mojokerto. Beliau wafat tahun 1376 M, 15 Muharram 797 H. diperkirakan hidup di antara dua Raja Majapahit (awal Raja Tribhuwana Wijaya Tunggadewi dan pertengahan Prabu Hayam Wuruk). Bermula dari usul yang diajukan Syeikh Jumadil Kubro kepada penguasa Islam di Turki (Sultan Muhammad I) untuk menyebarkan Agama Islam si wilayah Kerajaan Majapahit. Pada saat itu wilayah Majapahit sangat kuat pengaruh Agama Hindu di samping keyakinan masyarakat pada arwah leluhur dan benda-benda suci. Keberadaannya di tanah Majapahit hingga ajal menjelang menunjukkan perjuangan Sayyid Jumadil Kubro untuk menegakkan Agama Islam melawan penguasa Majapahit sangatlah besar.
Karena pengaruh beliau dalam memberikan pencerahan bekehidupan yang berperadaban, Syeikh Jumadil Kubro dikenal dekat dengan pejabat Kerajaan Majapahit. Cara dakwah yang pelan tapi pasti, menjadikan beliau amat disegani. Tak heran, bila pemakaman beliau berada di antara beberapa pejabat kerajaan di antaranya adalah makam Tumenggung Satim Singgo Moyo, Kenconowungu, Anjasmoro, Sunana Ngudung (ayah Sunan Kudus), dan beberapa patih dan senopati yang dimakamkan bersamanya.
Syekh Jumadil Qubro bukan keturunan Jawa, melainkan berasal dari Asia Tengah. lahir diSamarkandUzbekistan. Beliau masih kerabat dekat Laksamana Cheng Ho/Sayyid Muhammad Mahmud/Muhammad Sanbao/Laksamana Elang Perkasa.
Beliau mendirikan padepokan untuk mengajarkan Agama Islam yang terkenal di trowulan atau pusat kota kerajaan Brawijaya pada waktu itu.

Syekh Sayyid Mulana Ahmad Jumadil Qubra atau Jamaluddin Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdullah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin   Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad  Rasulullah saw. 
Makam dan petilasannya terdapat di beberapa tempat yaitu di Trowulan, Semarang, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta, tegal. 

Komplek Pemakaman Trowulan
Trowulan adalah kawasan bekas ibukota Kerajaan Mojopahit terletak di pinggir jalur utama Surabaya-Jawa Tengah lewat selatan, tepatnya terletak di antara Mojokerto-Jombang. Dari Mojokero menuju Trowulan hanya berjarak 12 kilometer, dari Jombang jaraknya sekitar 20 kilometer, sedang dari Surabaya sekitar 65 kilometer. Di Trowulan inilah dulu menjadi tempat tinggal Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajahmada yang terkenal dalam memimpin dan memerintah Mojopahit yang jaya. Dan di tempat inilah juga dulu Patih Gajahmada bersumpah Amukti Palapa, sumpah legendaris yang mengantarkan Mojopahit menjadi penguasa wilayah nusantara sampai ke Madagaskar.
Bekas ibukota Mojopahit tersebut, masih dapat kita saksikan sisa-sisanya yang berupa situs-situs purbakala yang tersebar di kawasan Trowulan dan sekitarnya. Baik berupa bangunan candi, gapura, makam, prasasti, area, maupun benda-benda artefak lainnya, serta yang in-situ (di lokasi asal) maupun yang telah dipindahkan ke Museum Trowulan (exsitu) untuk berbagai alasan. Termasuk kompleks makam Syekh Sayid Jumadil Kubro yang terdapat dalam Kompleks Makam Troloyo di Dusun Sidodadi, Desa Sentonorejo, Trowulan, Mojokerto. Lokasi kompleks makam ini berdekatan dengan Pendopo Agung Majapahit dan Pusat Informasi Majapahit yang pembangunannya menuai kontroversi. Hal itu karena proses pembangunannya diindikasikan merusak situs-situs peninggalan Majapahit yang diyakini hingga kini masih terkubur di dalam tanah kawasan Trowulan. Sekali dayung, maka semua tujuan napak tilas sejarah Majapahit dapat terlampaui.
Masyarakat menyakini kompleks makam itu sebagai makam Syekh Jumadil Kubro, Syekh Abdul Qodir Jailani Sini, Syekh Maulana Sekah, dan Syekh Maulana Ibrahim. Selain itu, juga makam Walisongo, makam Sunan Ngudung, makam Putri Kencono Wungu, dan Anjasmoro. Selain itu, penziarah juga bisa ke makam tujuh yang berisi tujuh buah makam. Para peziarah itu datang dari penjuru kota, baik dari dalam dari luar Mojokerto, serta ada pula yang datang dari luar Jawa. Peziarah datang ke makam teresbut dengan berbagai tujuan. Ada yang datang, hanya ingin tahu keberadaan Makam Troloyo, ada pula yang datang untuk memberikan doa kepada leluhur Walisongo dengan membacakan ayat-ayat suci Al Quran. Tetapi ada juga pezirah yang datang untuk mendapat ilmu relijius dari para leluhur yang berada di makam itu. Menurut Ahmad AHun petugas penjaga makam, yang telah bertugas sejak 2007 mengatakan biasanya penziarah yang datang dan ramai itu bila bertepatan dengan malam Jumat legi. “Pada saat Jumat Legi, pengunjung yang datang bisa mencapai 4.000 hingga 5000 orang lebih, baik perorangan maupun rombongan,” terangnya.
Otomatis fasilitas parkir kendaraan, baik kendaraan bis, mobil pribadi ataupun sepeda motor sangat padat, sehingga para penziarah harus berjalan dengan jarak yang lumayan jauh.
Untuk menjaga  komplek makam, penjaga komplek makam terbagi dalam 2 shift, setiap shift ada 2 orang penjaga. Jadi total penjaganya ada 6 orang. Kami bertugas dari jam 07.00-19.00 wib, Haul Syech Jumadil Kubro adalah peringatan wafatnya Syech Jumadil Kubro yang dilaksanakan setiap tahun Puncak kunjungan wisatawan terjadi pada saat malam Jumat Legi dan setiap malam tanggal15 Suro (Muharram). Dalam Haul Syech Jumadil Kubro, digelar serangkaian kegiatan keagamaan seperti Khotmil Quran, Istighotsah, Pembacaan Tahlil serta pagelaran Seni Hadrah yang diikuti oleh peziarah dari seluruh penjuru Jawa Timur.
Menjelajahi Komplek Makam Kompleks makam Troloyo ada dua kelompok makam. Di bagian depan (tenggara) dan di bagian belakang (barat laut). Makam di bagian depan di antaranya: Kelompok makam petilasan Wali Songo. Kemudian di sebelah barat daya dikenali dengan sebutan Syech Maulana Ibrahim, Syech Maulana Sekah dan Syech Abd, Kadir Jailani. Ada pula Syech Jumadil Kubro. Sedang di utara Masjid terdapat makam Syech Ngudung atau Sunan Ngudung. Kompleks makam di bagian belakang meliputi: Bangunan  cungkup dengan dua makam yaitu Raden Ayu Anjasmara/Kencanawungu, kemudian terdapat pula kelompok makam yang disebut Makam Tujuh atau Kubur Pitu yang dikenal sebagai Pangeran Noto Suryo, Patih Noto Kusumo, Gajah Permodo, Naya Genggong, Sabdo Palon, Emban Kinasih dan Polo Putro.
Di bagian belakang kompleks makam Tralaya masih terdapat kompleks makam Islam lainnya yang terkenal dengan sebutan Kubur Pitu dan secara berturut-turut berikut ini adalah nama-nama mereka yang dimakamkan di sana:
Makam yang dikenal dengan nama Pangeran Noto Sunjo,
Makam yang dikenal dengan nama Patih
 Noto Kusumo,
Makam yang dikenal dengan sebutan 
Gajah Permodo
Makam yang dikenal dengan sebutan
 Naya Genggong,
Makam yang dikenal sebagai 
Sabdo Palon,
Makam yang dikenal dengan sebutan
 Emban Kinasih,
Makam yang dikenal dengan sebutan Polo Putro, nisannya polos tanpa hiasan.
Ketujuh orang tersebut merupakan para pejabat di istana kerajaan Majapahit yang menjabat sebagai Patih, Senopati dan Abdi Dalam. Sebagian dari nisan-nisan pada Kubur Pitu tersebut berbentuk Lengkung Kurawal yang tidak asing lagi bagi kesenian Hindu. Melihat kombinasi bentuk dan pahatan yang terdapat pada batu-batu nisan yang merupakan paduan antara unsur-unsur lama dan unsur-unsur pendatang (Islam), nampaknya adanya akultrasi kebudayaan antara Hindu dan Islam.
Sementara itu, bila diperhatikan masih adanya kekurangcermatan dalam penulisan kalimah-kalimah thoyyibah, hal tersebut dapat diduga bahwa para pemahat batu nisan adalah masih pemula dalam mengenal Islam. Demikianlah dapat kita saksikan betapa toleransinya Majapahit terhadap agama Islam, terbukti dari banyaknya makam Islam di desa Tralaya, yang masih termasuk dalam ibu kota kerajaan. Angka tertua yang ada di batu nisan pitu adalah tahun 1369 (saat masa di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk).
Yang menarik pada kuburan pitu adalah berada pada batu nisannya. Walau kuburan Islam, tetapi bentuk batu nisannya masih seperti kurawal yang mengingatkan kala-makara, dengan tulisan berangka tahun huruf Kawi, yang berarti bahwa di abad XIV Islam adalah agama baru bagi Kerajaan Majapahit. Tetapi sebagai unsur kebudayaan, telah diterima oleh masyarakat. Dapat diketahui, bahwa para pendatang dari barat maupun orang-orang Tionghoa ternyata sebagian besar mereka beragama Islam, dan terus berkembang hingga mencapai puncaknya pada abad XVI saat kerajaan Demak.

3. Syekh Datuk Kahfi/Syeh Nur Jati
Syekh Datuk Kahfi memiliki beberapa nama lain, seperti; a. Syekh Dzatul Kahfi. b. Syekh Datuk Khofid. c. Syekh Idholfi. d. Syekh Nurul Jati/Syeh Nur Jati.
Syekh Datuk Kahfi/Syekh Muhamad Kahfi/ Syeh Idholfi Mahdi adalah pendahulu Wali Songo di Tanah Caruban, wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Cirebon, Jawa Barat. Syekh Datuk Kahfi (dikenal juga dengan nama Syekh Idhofi atau Syekh Nurul Jati) adalah tokoh penyebar Islam di wilayah yang sekarang dikenal dengan Cirebon dan leluhur dari raja-raja Sumedang. Beliau pertama kali menyebarkan ajaran Islam di daerah Amparan Jati. Syekh Datuk Kahfi merupakan buyut dari Pangeran Santri (Ki Gedeng Sumedang), penguasa di Kerajaan Sumedang Larang, Jawa Barat, dan putera dari Syekh Datuk Ahmad. Ia juga merupakan keturunan dari Amir Abdullah Khan. Syekh Datuk Kahfi yang bernama asli Idholfi Mahdi berasal dari Malaka. Beliau adalah putra dari Datuk Ahmad.
Syekh Nurjati dikenal sebagai tokoh perintis dakwah Islam di wilayah Cirebon. Beliau menggunakan nama Syekh Nurjati pada saat berdakwah di Giri Amparan Jati, yang lebih terkenal dengan nama Gunung Jati, sebuah bukit kecil dari dua bukit, yang berjarak + 5 km sebelah utara Kota Cirebon, tepatnya di Desa Astana Kecamatan Gunung Jati Kabupaten Cirebon.
Sebelumnya Syekh Nurjati dikenal dengan nama Syekh Dzatul Kahfi atau Maulana Idhofi Mahdi. Secara kronologis singkat, Syekh Nurjati lahir di Semenanjung Malaka. Setelah berusia dewasa muda pergi ke Mekah untuk menuntut ilmu dan berhaji. Syekh Nurjati pergi ke Bagdad dan menemukan jodohnya dengan Syarifah Halimah serta mempunyai putra- putri. Dari Bagdad beliau pergi berdakwah sampai di Pesambangan, bagian dari Nagari Singapura (sekarang Desa Mertasinga,  Kabupaten Cirebon). Beliau wafat dan dimakamkan di Giri Amparan Jati.
Cerita tentang Syekh Nurjati dijumpai dalam naskah-naskah tradisi Cirebon yang merupakan bukti sekunder. Naskah-naskah tersebut berbentuk prosa, diantaranya : Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Tanah Sunda dan Sejarah Cirebon. Serta naskah yang berbentuk tembang di antaranya  Carub Kanda, Babad Cirebon, Babad Cerbon terbitan S.Z. Hadisutjipto, Wawacan Sunan Gunung Jati, Naskah Mertasinga, Naskah Kuningan dan Naskah Pulasaren.  Dari sekian banyak naskah hanya naskah Babad Cirebon terbitan Brandes saja yang tidak memuat tentang Syekh Nurjati. Sedangkan naskah tertua  yang menulis tentang Syekh Nurjati dibuat oleh Arya Cerbon pada tahun 1706 M.

Nasab Syekh Datuk Kahfi 
Idholfi Mahdi bin Datuk Ahmad bin Maulana ‘Isa ‘Alawi bin Ahmad syah Jalaluddin bin Amir ‘Abdullah Khonnuddin bin ‘Abdul Malikal Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Kholi' Qosam bin Alwi Ats-Tsani bin Muhammad Shohibus Saumiah bin Alawi (Alwi) Awwal bin Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Isa Ar-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uroidhi bin Ja’far Ash-Shoddiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain As-Sabith bin Sayyidina Ali bin Abi Tholib + Sayyidah Fathimah Az-Zahro binti Nabi Muhammad saw.
Syekh Datuk Kahfi adalah: Cucu keponakan dari Syekh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini (Sayyid Husain Jamaluddin Al-Akbar Jumadil Kubro). Karena kakeknya, Syekh Maulana ‘Isa ‘Alawi adalah adik satu ayah (Syekh Ahmad syah Jalaluddin) dengan Syekh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini. Sepupu dari Syekh Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar), karena ayahnya Syekh Datuk Ahmad, adalah kakak kandung dari ayah (Syekh Datuk Shalih) Syekh Abdul Jalil.


Syekh Nurjati Menuntut Ilmu dan Pergi Haji ke Mekah
Sehubungan dengan lamanya Syekh Nurjati bermukim di Mekah, maka sebagian naskah menyatakan bahwa Syekh Nurjati berasal dari Mekah.

Syekh Nurjati Pergi ke Bagdad dan Menemukan Jodohnya dengan Syarifah Halimah
Setelah menuntut ilmu di Mekah, Syekh Nur Jati mencoba mengamalkan ilmu yang diperoleh dengan mengajarkannya di wilayah Bagdad. Di Bagdad Syekh Nurjati menikah dengan Syarifah Halimah, putri dari Ali Nurul Alim.  Ali Nurul Alim putra dari Jamaludin al Husain dari Kamboja, yang merupakan putra dari Ahmad Shah Jalaludin, putra Amir Abdullah Khanudin. Jadi, Syekh Nurjati menikah dengan saudara secicit.
Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai empat orang anak, yakni Syekh Abdurakhman (yang kelak di Cirebon bergelar Pangeran Panjunan), Syekh Abdurakhim (kelak bergelar Pangeran Kejaksan),  Fatimah (yang bergelar Syarifah Bagdad), dan Syekh Datul Khafid (kadang-kadang disebut juga sebagai Syekh Datul Kahfi, sehingga membuat rancu dengan sosok ayahnya yaitu Syekh Datuk Kahfi, atau Syekh Nurjati di beberapa manuskrip yang lebih muda umurnya, contohnya Babad Cirebon Keraton Kasepuhan). Keempat anak tersebut dijamin nafkahnya oleh kakak Syarifah Halimah, Syarif Sulaiman yang menjadi raja di Bagdad. Syarif Sulaiman menjadi raja di Bagdad karena menikahi putri mahkota raja Bagdad.
Syekh Nurjati hidup pada abad pertengahan, antara abad 14-15 dan pernah bermukim di Bagdad (sekarang Bagdad merupakan ibukota Irak). Kondisi sosial ekonomi Bagdad pada rentang abad 14-15 sedang mengalami keemasan. Para filosof muslim mencapai puncak kejayaannya pada masa itu. Kondisi tersebut sangat memungkinkan ikut membentuk keluasan pikir Syekh Nurjati. Hal ini membantu kelancaran dakwahnya.
Di Bagdad Syekh Nurjati hidup dan berumah tangga dan dikaruniai empat orang putra-putri. Kemudian Syekh Nurjadi diutus oleh Raja Bagdad untuk berdakwah di tanah Jawa serta menuruti suara hati nuraninya. Seraya memohon petunjuk kepada Allah SWT, Syekh Nurjati bersama istrinya, Syarifah Halimah pergi berkelana untuk berdakwah meninggalkan keempat anaknya yang masih kecil-kecil. Dalam perjalanannya, sampailah Syekh Nurjati  di Pelabuhan Muara Jati dengan penguasa pelabuhan/ syahbandarnya bernama Ki Gedeng Tapa/ Ki Ageng Jumajan Jati. Sesampainya mereka di Pelabuhan Muara Jati, Syarifah Halimah berganti nama menjadi Nyi Ratna Jatiningsih/ Nyi Rara Api.
           
Syekh Nurjati Pergi Berdakwah ke Pesambangan
Perkampungan yang dekat dengan pelabuhan Muara Jati disebut Pesambangan. Diceritakan dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, dalam Sejarah Banten, juga dalam Naskah Mertasinga, bahwa Syekh Nurjati/Syekh Idofi Mahdi/ Syekh Datuk Kahfi, mendarat di Muara Jati  setelah pendaratan Syekh Quro dan rombongan. Syekh Nurjati bersama rombongan dari Bagdad sebanyak sepuluh orang pria dan dua orang perempuan tiba di Muara Jati. Rombongan ini diterima oleh Penguasa Pelabuhan Muara Jati, Ki Gedeng Tapa/Ki Mangkubumi Jumajan Jati sekitar tahun 1420 M. Syekh Nurjati mendapatkan ijin dari Ki Gedeng Tapa untuk bermukim di daerah Pesambangan, di sebuah bukit kecil yang bernama Giri Amparan Jati.
Di tempat baru tersebut, Syekh Nur Jati giat berdakwah sebagai dai’ mengajak masyarakat untuk  mengenal dan memeluk agama Islam.    Setelah mendengar tentang agama baru itu, orang-orang berdatangan dan menyatakan diri masuk Islam dengan tulus ikhlas. Semakin hari semakin banyak orang yang menjadi pengikut Syekh Nurjati.
Dalam interaksinya dengan masyarakat sekitar, akhirnya Syekh Nur Jati menikah dengan Hadijah. Hadijah adalah cucu Haji Purwa Galuh (Raden Bratalegawa, orang pertama yang pergi berhaji dari Jawa Barat, yang saat itu masih bernama Kerajaan Galuh), janda dari seorang saudagar kaya raya yang berasal dari Hadramaut.  Dengan pria tersebut Hadijah tidak dikaruniai putra, namun setelah pria tersebut meninggal dunia, Hadijah memperoleh seluruh harta warisan dari suaminya. Setelah suaminya meninggal dunia, Hadijah bersama kedua orang tuanya pulang ke Kerajaan Galuh dan menetap di Dukuh Pesambangan. Harta warisan tersebut digunakan Hadijah bersama suami barunya, yaitu Syekh Nurjati untuk membangun sebuah pondok pesantren yang bernama Pesambangan Jati.
Pernikahan Syekh Nurjati dengan Hadijah  dikaruniai seorang putri yang  bernama Nyi Ageng Muara, yang kelak menikah dengan Ki Gede Krangkeng. Krangkeng sekarang merupakan nama sebuah kecamatan di Kabupaten Indramayu.
Pondok Pesantren Pesambangan Jati  adalah pondok pesantran tertua di wilayah Cirebon (saat itu masih bernama Nagari Singapura) dan pondok pesantren tertua kedua se-Jawa Barat (saat itu masih bernama Kerajaan Galuh), setelah Pondok Pesantren Quro di Karawang, yang didirikan oleh Syekh Quro (Syekh Hasanudin/ Syekh Mursahadatillah). Syekh Quro adalah saudara sepupu Syarifah Halimah. Syekh Quro adalah putra  dari Dyah Kirana dengan Syekh Yusuf Sidik  (Wali Malaka). Sedangkan Dyah Kirana adalah putri Imam Jamaludin al Husain dari Kamboja (kakek Syarifah Halimah).  

Syekh Nurjati di Tempat Kelahiran, Malaka
Pertengahan Abad ke-14
Syekh Nurjati ketika lahir dikenal dengan nama Syekh Datuk Kahfi, putra dari Syekh Datuk Ahmad, seorang ulama besar. Syekh Datuk Ahmad putra dari Maulana Isa, yang juga seorang tokoh agama yang berpengaruh pada zamannya. Syekh Datuk Ahmad mempunyai adik yang bernama Syekh Datuk Sholeh, ayahanda dari Syekh Siti Jenar (Abdul Jalil). Jadi Syekh Datul Kahfi adalah saudara sepupu dari Syekh Siti Jenar. Maulana Isa adalah putra dari Abdul Kadir Kaelani. Abdul Kadir Kaelani adalah putra dari Amir Abdullah Khanudin, keturunan Nabi Muhammad SAW generasi ke tujuh belas dari jalur Zaenal Abidin.
Syekh Datuk Kahfi memiliki dua orang adik, yaitu Syekh Bayanullah yang mempunyai pondok di Mekah, yang kemudian mengikuti jejak kakaknya berdakwah di wilayah Cirebon; serta seorang adik wanita yang menikah dengan Raja Upih Malaka. Buah dari perkawinan tersebut lahirlah seorang putri  yang kelak  menikah dengan Dipati Unus dari Demak. 

Keterkaitan Syekh Quro dengan Syekh Nurjati dan Perkembangan Dakwah di Giri  Amparan Jati
Syekh Quro merupakan utusan Raja Campa. Secara geneologis, Syekh Quro dan Syekh Nurjati adalah sama-sama saudara seketurunan dari Amir Abdullah Khanudin generasi keempat. Syekh Quro datang terlebih dahulu ke Amparan bersama rombongan dari angkatan laut Cina dari Dinasti Ming yang ketiga dengan Kaisarnya, Yung Lo (Kaisar Cheng-tu). Armada angkatan laut tersebut dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Tay Kam. Mereka mendarat di Muara Jati pada tahun 1416 M. Mereka semua telah masuk Islam. Armada tersebut hendak melakukan perjalanan melawat ke Majapahit dalam rangka menjalin persahabatan. Ketika armada tersebut sampai di Pura Karawang, Syekh Quro (Syekh Hasanudin) beserta pengiringnya turun. Syekh Quro pada akhirnya tinggal dan menyebarkan ajaran agama Islam di Karawang. Kedua tokoh ini dipandang sebagai tokoh yang mengajarkan Islam secara formal yang pertama kali di Jawa Barat. Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di Cirebon.
Gerakan dakwah mereka berdua dapat terjalin secara harmonis dan berjalan saling bantu membantu. Syekh Quro mengirimkan orang kepercayaannya yang bergelar Penghulu Karawang, ke Dukuh Pesambangan, terbukti dengan adanya  nisan makam Penghulu Karawang di Amparan Jati.
Keharmonisan dakwah antara Cirebon dan Karawang berlanjut dengan :
1. Cucu Syekh Ahmad dari Nyi Mas Kedaton, bernama Musanudin. Kelak Musanudin menjadi lebai di Cirebon, memimpin Masjid Agung Sang Cipta Rasa pada masa pemerintahan Susuhunan Jati (Sunan Gunung Jati). Sedang Syekh Ahmad merupakan anak dari Syekh Quro dengan Ratna Sondari, putri Ki Gedeng Karawang.
2. Puteri Karawang memberikan sumbangan hartanya untuk mendirikan sebuah masjid di Gunung Sembung (Nur Giri Cipta Rengga) yang bernama Masjid Dog Jumeneng/ Masjid Sang Saka Ratu, yang sampai sekarang masih digunakan dan terawat baik.
3. Pengangkatan juru kunci di situs makam Syekh Quro dikuatkan oleh pihak Keraton Kanoman Cirebon.
Diceritakan pada suatu waktu, Raden Pamanah Rasa (kelak menjadi Sri Baduga Maharaja, Raja Pajajaran, yang terkenal dengan sebutan Prabu Siliwangi nama lainnya Sri Baduga Maharaja Ratu Haji Prabu Jaya Dewata - Siliwangi III,) mengadakan perjalanan ke Pondok Pesantren Quro, Pulo Klapa, Telagasari, Karawang, yang dipimpin oleh Syekh Quro (Syekh Mursahadatillah). Dalam pelawatan tersebut Raden Pamanah Rasa jatuh cinta  kepada Puteri Subang Keranjang (Subang Larang), santriwati pesantren Syekh Quro, putri Ki Gedeng Tapa dari Singapura. Singapura adalah sebuah negara bagian dari Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh Prabu Niskala Wastu Kancana. Raden Pamanah Rasa melamar sang puteri dan puteri Subang Karancang bersedia dinikahi dengan syarat Raden Pamanah Rasa masuk Islam dan diperkenankan mendidik keturunannya dengan ajaran Islam.
Dari perkawinan Raden Pamanah Rasa dengan Puteri Subang Keranjang lahirlah tiga orang putra yaitu Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Mas Rarasantang, dan Pangeran Raja Sengara/ Kean Santang.

Pangeran Walang Sungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang Datang ke Amparan Jati

Di kampung Pesambangan, Syekh Nur Jati melakukan dakwah Islam. Karena menggunakan cara yang bijaksana dan penuh khidmat dalam mengajarkan agama Islam, maka dalam waktu relatif singkat pengikutnya semakin banyak, hingga akhirnya pengguron kedatangan Pangeran Walangsungsang beserta istrinya Nyi Indang Geulis/ Endang Ayu dan adiknya, Nyi Mas Ratu Rarasantang yang bermaksud ingin mempelajari agama Islam.
          Mereka adalah cucu dari syah bandar pelabuhan Muara Jati dari jalur ibunya. Kedatangan mereka ke Gunung Jati di samping melaksanakan perintah ibundanya sebelum meninggal, juga bermaksud sungkem kepada eyangnya Ki Gedeng Tapa. Kepergian mereka ke Pangguron Gunung Jati tanpa seizin ayah mereka, Prabu Siliwangi. Karena Prabu Siliwangi kembali memeluk agama Budha setelah Nyi Subang Larang meninggal dunia. Tetapi kedua putra-putrinya itu sudah dididik dan diberi petunjuk oleh almarhum ibunya agar memperdalam agama Islam di Pangguron Gunung Jati. Akhirnya mereka pun menuntut ilmu dan memperdalam agama Islam, menjadi santri Syekh Nurjati di Pesambangan Jati. Pada saat mereka bertiga diterima menjadi santri baru, Syekh Nurjati berdoa,  “Wahai Tuhan kami, jadikanlah kami orang-orang yang menghidupkan agama Islam mulai hari ini hingga hari kemudian dengan selamat. Amin.”
Di antara murid-muridnya, murid yang tercatat sangat cerdas adalah Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang. Walaupun keduanya telah menjadi muslim sejak kecil, dan belajar ke Syekh Quro, tetapi ketika datang ke pesantren Syekh Nurjati keduanya dan Nyi Indang Geulis (istri Pangeran Walangsungsang), tetap diminta kembali mengucapkan kedua kalimah syahadat. Syekh Nurjati memberi pelajaran kepada mereka mulai dari yang sangat dasar (rukun Islam), tentang pelajaran tauhid sebagai dasar pondasi keimanan. Mengapa Syekh Nurjati melakukan metode pengajaran seperti kepada orang yang baru mengenal ajaran dasar Islam? Menururt Besta Basuki Kertawibawa, kemungkinan ada keraguan pada Syekh Nurjati terhadap kadar keimanan dan pengetahuan ketiganya tentang agama Islam. Hal ini dikarenakan Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rara Santang adalah putra-putri dari Raja Pajajaran yang beragama Hindu-Budha. Selain itu, pengalaman mereka tentang agama Islam masih dalam tahapan pemula.  
Dalam naskan lainnya diterangkan, Syekh Nurjati mengajarkan membaca syahadat dengan arti dan maksud secara mendalam. Selain itu ada sebuah pesan yang berbunyi:
“Apabila engkau berhajat akan menghadapi seorang kikir, atau orang yang congkak, atau orang yang mempunyai utang yang dikhawatirkan akan berbuat jahat, bacalah sebuah doa yang artinya:
Wahai Tuhan, Engkau yang Maha Mulia dan Maha Besar dan saya adalah hamba-Mu yang rendah dan lemah yang tidak berkekuatan apa-apa melainkan dengan pertolongan-Mu. Wahai Tuhan tundukkanlah kepada saya (si fulan) seperti engkau menundukkan Firaun terhadap Nabi Musa as. Lunakkanlah hatinya seperti engkau telah melunakkan besi terhadap Nabi Daud as. Sesungguhnya tidak akan terjadi sesuatu melainkan dengan seizin-Mu. Nyawanya ada dalam genggaman-Mu. Syekh Nurjati memberi wejangan tentang agama Islam yang diawali oleh firman Allah yang berbunyi:  Yaa ayyuhalladzina aamanu udkhulu fissilmi kaffah (hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam agama Islam secara keseluruhan). Kemudian, ia menjelaskan kandungan pokok ajaran Islam, yakni salat lima waktu, zakat, shaum (puasa), ibadah haji, umrah, perang sabil, ajakan ke arah kebajikan, serta menolak kemunkaran. Selain itu, ia memberikan berbagai macam ilmu, antara lain, ilmu ushuluddin (pokok-pokok agama), ilmu fiqih (aturan hukum keagamaan), dan ilmu tasawuf (penyucian diri)”.
Ajaran Perang Sabil dari Syekh Nurjati, dilaksanakan oleh Pangeran Walangsungsang dalam banyak pertempuran sampai tahun terakhir menjelang kewafatannya.
Wejangan lain Syekh Nurjati adalah tentang agama Islam dan makna yang terkandung dalam azimat yang telah diperoleh Walangsungsang. Ringkasan ceritanya sebagai berikut:     
Setelah ajaran tentang keimanan diberikan, maka pelajaran secara bertahap terus diberikan. Misalnya pelajaran ilmu fikih sebagai sarana untuk melaksanakan syariat agama Islam. Pelajaran ini mesih dalam taraf yang mendasar sebelum ajaran tentang tarikat, hakikat, dan makrifat. Syekh Nurjati adalah seorang ulama yang menganut mazhab fikiih Imam Syafi’i ( Mazhab Syafi’i). Menurut Rama Guru Pangeran Nurbuat,  tarekat Syattariah masuk ke wilayah Cirebon dibawa oleh Syekh Nurjati.
Dari pertemuan dengan Syekh Nurjati, Pangeran Walang sungsang, istri, dan adiknya mendapat anugrah ilmu yang sangat tinggi. Nama Gunung Jati muncul karena cerita pertemuan Walang sungsang dengan Syekh Nurjati di Gunung Jati. Di hadapan Syekh Nurjati, Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Rarasantang, dan Indang Ayu dengan khusuk menekuni wejangan-wejangan yang diterimanya, yakni tentang dua kalimah syahadat,  salawat dan dzikir,  zakat fitrah dan munggah (ibadah) haji,  puasa dibulan Ramadhan, salat lima waktu, dan membaca al Qur’ankitab fikih dan tasawuf. Inilah di antara ajaran yang diterima dari Syekh Nurjati.
Sebelum menjadi santri Syekh Nurjati, Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Rarasantang, adiknya, serta Nyi Indang Geulis  (istrinya) telah terlebih dahulu berguru kepada para pendeta Budha di beberapa tempat, yang berarti mempelajari ilmu-ilmu di luar ilmu-ilmu Islam.
Setelah tiga tahun menuntut ilmu, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah oleh Syekh Nurjati. Pada saat memberikan nama Somadullah, Syekh Nurjati memberi nasehat berupa reinterpretasi ajaran-ajaran non-Islam dari para guru Pangeran Walangsungsang sebelumnya, menurut sudut pandang Islam. Hal ini terungkap pada saat Syekh Nurjati memberikan wejangan kepada ketiga orang tersebut, yaitu sebagai berikut :
“Hai Somadullah, sesungguhnya engkau memperoleh rahmat Islam itu memang sudah kepastian sejak zaman azali, dan engkau disuruh datang ke Gunung Merapi dan bertemu dengan Sang Hyang Danuwarsih itu mengandung hikmat yang penting ialah bahwa engkau akan bertemu dengan alim ulama yang menjadi warisan ambiya.  Dalam pertemuan dengan Sang Hyang Danuwarsih, engkau berhasil menerima pusaka berupa Cincin Ampal yang kepentingannya ialah untuk mengetahui perkara gaib dan dapat digunakan untuk “merawat” sesuatu dengan keadaan selamat. Nama ampal itu diambil dari perkataan fa’ti bi maa anfaan naasa, artinya : usahakanlah apa yang sekiranya membawa manfaat bagi manusia. Dan engkau menerima Baju Kamemayan yang antara lain kepentingannya ialah agar engkau disegani dan disayang oleh segenap makhluk. Itu memang betul karena pada baju tersebut ada tulisan yang artinya begini, ‘barang-siapa yang takut kepada Allah, Allah akan memberinya jalan keluar dari kesempitan hidupnya dan memberi rejeki dengan tak diduga-duga dan tanpa susah payah. Kalau engkau ingin jangan dibenci orang, pegang teguhlah  ayat tersebut untuk pedoman dalam langkah hidupmu, dan engkau menerima lagi Baju Pengabaran yang antara lain kepentingannya engkau tidak mempunyai rasa takut menghadapi musuh yang  bagaimanapun banyaknya, karena pada baju tersebut ada tulisan yang artinya : “Dan berbaktilah kepada Tuhanmu hingga saat ajalmu datang”. Sedangkan, orang yang berpegang pada ayat tersebut dengan keyakinan yang teguh, ia akan mempunyai keteguhan hati dalam menghadapi musuh yang bagaimana pun. Lalu engkau menerima pula Baju Pengasihan yang gunanya agar semua mahluk, baik jin maupun setan siluman apa saja tunduk kepadamu. Itu betul, jika engkau ingin ditakuti oleh semua mahluk, amalkanlah ayat tersebut.
Selain dari Sang Hyang Danuwarsih, engkau mendapat pula beberapa pusaka dari Sang Hyang Naga berupa azimat Ilmu Kadewa. Namanya itu diambil dari perkataan Dawaa ud diini, artinya, obatnya agama ; dalam hal ini dimaksud bahwa orang yang beragama itu harus berilmu. Ada syair Arab yang artinya, “ Barang-siapa yang berbuat sesuatu tidak didasarkan ilmu, amal perbuatannya itu tidak akan diterima oleh Allah”.  Sedikit keterangan bahwa orang yang memegang agama itu sama dengan orang yang memegang negara. Apabila ia dapat memegang agama, ia akan dapat memegang negara, tetapi tidak sebaliknya orang yang dapat memegang negara,  belum tentu ia akan dapat memegang agama.
Selanjutnya Syekh Nurjati berkata kepada Somadullah, “Engkau menerima pula dari Sang Hyang Naga berupa Ilmu Kapilisan, yang diambil dari perkataan falaysa lil insaani nisyaanudz dzikri,  yang artinya tidak patut bagi seorang manusia melupakan dzikir kepada Allah SWT Makna lebih lanjut dari Ilmu Kapilisan adalah kirang mimang ing batuk ingsun sari sedana ing lambe ingsun amanat pengucapan ingsun iku wong sekabeh tua gede cilik pada welas pada asih kabeh maring ingsun kelawan berkahe kalimat llaa ilaha illallahu muhammadur rosulullahi. Doa ini hendaknya dibaca dengan tekad yang bulat turut pada ketika membaca kalimat toyyibah, hendaknya seluruh jiwa raga dihadapkan kepada Allah dan setelah doa itu selesai dibaca lalu diusapkan ke dahi.  Selain itu,  engkau diberi juga Ilmu Keteguhan, diambil dari perkataan falainsa lil gonisi bakhilun, artinya tidak patut pagi seorang kaya untuk berlaku kikir. Lalu, engkau diberi pula golok cabang yang ia dapat berbicara dan dapat terbang. Dapat mengalahkan kekuatan singa, dapat menghancurkan gunung yang gagah perkasa, dan dapat pula mengeringkan air laut yang sedang meluap-luap. Nama golok cabang itu berasal dari perkataan khuliqo lisab’ati asyyaa-a”, artinya dijadikan untuk tujuh perkara.  Maksudnya jika engkau menghendaki mendapatkan apa yang engkau kehendaki, engkau harus menghadapi ketetapan anggota badan yang tujuh, ialah anggota sujud.  Jelasnya, jika engkau ingin  mencapai segala sesuatu, hendaknya engkau tunduk sujud kepada Allah.
Selanjutnya engkau sampai di Gunung Kumbang dan bertemu dengan Sang Hyang Naga, kemudian engkau diberinya macam-macam azimat .....diikuti tutur katanya. Kemudian engkau diberi azimat Ilmu Kesakten guna keselamatan agar tutur katamu dituruti. Kemudian engkau diberinya lagi azimat Limunan untuk dapat bersembunyi di dalam terang, artinya jangan mempunyai perasaan benar sendiri. Kemudian engkau diberi azimat yang diberi mana Aji Titi Murti, berasal dari kata fa’ti bi maa umirta; kerjakanlah olehmu segala perintah yang baik-baik,  agar dapat mengusahakan segala sesuatu yang rumit-rumit dan sesuatu yang sukar-sukar menjadi mudah. Kemudian, engkau diberi lagi azimat Aji Dwipa guna mengetahui dan memahami segala pembicaraan, seperti gunanya  topong itu dipakai, maka engkau tidak akan dilihat manusia lagi. Kemudian engkau menerima pula Baju Pusaka Waring yang dapat digunakan untuk terbang, dan engkau menerima pusaka berupa Umbul-umbul Waring yang antara lain kepentingannya agar selamat rahayu dari senjata musuh dan dapat melemahkan tenaga-tenaga musuh. Artinya, bila tidak ingin kelihatan segala rahasia dan keburukan oleh orang lain harus mengikuti ucapan :ud’u lillahi ala jami’annasi bittaqwa; ajaklah semua manusia untuk melakukan taqwa kepada Allah. Baju Pusaka Waring bertuliskan qolbul khosi’i mabruuurun; artinya hati seorang yang khusyu’ dapat diterima oleh Tuhan. Umbul-umbul Waring memiliki tulisan : ‘Hai manusia, carilah harta benda dengan cara yang sebaik-baiknya, jangan asal memperoleh saja.  Azimat Panjang dari Ratu Bangau artinya dalam menyebarkan agama Islam akan dibantu oleh para wali; Pendil petunjuk kearah agama yang hak danBareng artinya dalam segala aktivitas harus mengikuti tiga perkara : syariat, tarekat, dan makrifat .”
                Syekh Nurjati bukan saja memberi bekal kehidupan dan hidup sesudah mati pada Pangeran Walangsungsang, adik dan istrinya, tetapi ia mampu mengubah kepribadian sang anak raja tersebut menjadi seorang pahlawan yang tidak hanya suka hidup dalam kemewahan sebagai putra raja, tetapi menjadi sosok pribadi pejuang yang saleh dan tangguh. Syekh Nurjati merasa Pangeran Walasungsang bersama adiknya Nyi Mas Ratu Rarasantang dan istrinya, Nyi Indang Geulis, telah berguru di pengguron Islam Gunung Jati telah memiliki keteguhan iman.  Setelah memberi nasehat, Syekh Nurjati memerintahkan Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Rarasantang dan Nyi Endang Ayu untuk membuka perkampungan baru di selatan Gunung Jati untuk penyiaran agama Islam.

Syekh Nurjati Memerintahkan Pangeran Walangsungsang Membuka Perkampungan
Setelah menerima wejangan dari Syekh Nurjati dan seizin kakeknya (Ki Gedeng Tapa), Somadullah memilih kawasan hutan di kebon pesisir, di sebelah selatan Gunung Jati, yang disebut Tegal Alang-alang atau Lemah Wungkuk. Di kawasan tersebut ternyata telah bermukim Ki Danusela, adik Ki  Danuwarsih (mertua Somadullah).
 Setibanya di tempat yang dituju, mereka bertemu dengan seorang lelaki tua bernama Ki Pengalangalang dan mengucapkan kalimat: Lamma waqo’tu; ketika saya telah tiba. Ucapan Pangeran Walangsungsang tersebut kemudian menjadi nama Lemah Wungkuk.  Ki Pengalangalang menyambut mereka dan mengakui ketiga orang yang datang tersebut anaknya.
            Keesokan harinya, setelah salat Subuh, Pangeran Walangsungsang alias Somadullah mulai bekerja membabat hutan hingga ke pedalaman yang dipenuhi binatang buas. Untuk memperoleh keselamatan, Somadullah mengucapkan kalimat: fa anjayna; artinya, aku telah selamat. Karena itu, tempat yang dibabatnya kemudian bernama Panjunan asal kata dari fa-anjayna. Demikian pula tempat-tempat lain dinamai berdasarkan hal-hal yang dialami oleh Pangeran Walangsungsang; antara lain, pekerjaan membabat hutan diteruskan hingga ke tempat yang tidak diketahui lagi. Setelah berdoa kemudian tampak ada jalan, ia berucap: fasyamula; artinya, maka mengetahuilah. Dari ucapan ini lahirlah tempat yang bernama Pasayangan; ketika di suatu tempat ia berfikir kemudian mengucapkan; fakkarnaa; artinya, aku berpikir, tempatnya disebut Pekarungan yang berasal dari kata fakkarnaa. Ketika tiba di suatu tempat yang menyenangkan, ia berucap fa amma sirri jamarin samarin, sesungguhnya perasaanku merasa senang karenanya tempat tersebut dinamakan Gunung Sari dan Dukuh Semar. Di suatu tempat yang apabila sudah menjadi perkampungan mudah memperoleh rizki, ia mengucapkan doa farjanaa, artinya, Ya Allah berilah rizki pada hamba, sehingga tempat tersebut dinamakan Parujakan. Di suatu tempat ketika ia tidak ingat apa-apa, ia berucap: fakholanaa, artinya, aku lupa, tempat tersebut kemudian disebut Pekalangan. Ketika ia mendapat petunjuk, ia berucap: fahandaasna (faha-dayna), aku mendapat petunjuk, menjadi tempat bernama Pandesan. Ketika di suatu tempat ia merasa senang, ia berucap: rokibuna rumata illaihi farihin, yang kemudian menjadi tempat bernama Kebon Pring. Ketika ia melihat dua tanda dari dua Kanoman dan Kasepuhan, ia berucap: farutu aajataini, artinya aku melihat dua tanda sehingga tempatnya tersebut Anjatan. Ketika di suatu tempat ia melihat ada musuh di depannya, ia berkata:falaa sasaraynaa; artinya, aku tidak terus berjalan sehingga tempat tersebut dinamakan Pulasaren dan di dekatnya dinamakan Jagasatru, musuh yang berjaga-jaga.
Pada tanggal 14 bagian terang bulan Carita tahun 1367 Saka atau Kamis tanggal 8 April tahun 1445 Masehi, bertepatan dengan masuknya penanggalan 1 Muharam 848 Hijriyah, Pangeran Walangsungsang alias Somadullah dibantu 52 orang penduduk, membuka perkampungan baru di hutan pantai kebon pesisir.
Dengan semangat tinggi dan ketekunannya, Pangeran Walasungsang dapat menyelesaikan pekerjaannya. Setelah selesai pembuatan pendukuhan yang semula Tegal Alang-Alang atau Kebon Pesisir diberi nama Caruban Larang dengan kuwu pertama adalah Ki Danusela. Sedangkan Ki Somadullah menjadipangraksabumi yang bertugas memelihara tanah pemukiman dengan julukan Ki Cakrabumi.
            Somadullah/ Ki Cakrabumi adalah pada siang hari bekerja membabat hutan dan pada malam hari bekerja mencari ikan di tepi laut, sementara istri dan adiknya bekerja menumbuk rebon (udang kecil) untuk dibuat terasi. Perkampungan yang dibangun Somadullah berkembang menjadi perkampungan besar yang disebut Grage, yang berarti negara gede.
            Perkampungan Somadullah dan usahanya membuat terasi diketahui oleh Raja Galuh. Ia mengutus patihnya untuk menyelidiki perkampungan di pesisir pantai yang ada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh. Apabila rakyatnya telah mencapi 69 orang, perkampungan tersebut telah menjadi sebuah desa dan diharuskan membayar pajak setiap tahun serta mempersembahkan tumbukan rebon halus sewakul (sekitar 45 kilogram). Dalam pertemuan antara utusan Raja Galuh dan Somadullah dibicarakan status perkampungan baru yang ternyata telah dihuni oleh 70 orang penduduk sehingga perlu dibentuk satu desa di bawah pimpinan seorangkuwu (kepala desa). Desa tersebut kemudian dipimpin oleh Ki Pangalangalang sebagai kuwu karena Cakrabumi tidak bersedia menjadi kuwu. Selesai upacara pengukuhan kuwu, diadakan perjamuan. Rombongan Kerajaan Galuh menikmati garagal (tumbukan) rebon beserta air rebon. Utusan kerajaan Galuh sangat menikmati air rebon yang dalam bahasa sunda disebut Cairebon, dari kata cai dan rebon. Ketika Ki Pangalangalang meninggal, ia diperlakukan secara Islam oleh Ki Cakrabumi. Perlakuan jenazah secara Islam ini merupakan awal dari penyebaran ajaran Islam kepada penduduk Cirebon. Sejak itu, setiap malam diadakan pengajian oleh Ki Cakrabumi. Sepeninggal Ki Pangalangalang, datanglah utusan karajaan Galuh untuk mengganti kedudukan Ki Pangalangalang sebagai kuwu Cirebon. Melalui kesepakatan, akhirnya Ki Cakrabumi terpilih sebagai Kuwu Cirebon menggantikan Ki Pangalangalang dan mendapat gelar Cakrabuana memerintah 457 orang penduduk desa Cirebon.
            Pangeran Walangsungsang ketika membuka pedukuhan juga mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Masjid Pejelagrahan (asal kata dari jala-graha yang artinya rumah di atas laut). Sekarang letak masjid tersebut sekarang berada tepat di sebelah luar dinding Keraton Kasepuhan, di Kelurahan Kasepuhan, Kota Cirebon.
Seusai membangun pedukuhan, Syekh Nurjati menemui Pangeran Walangsungsang di Kebon Pesisir, kemudian menyarankan Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang untuk pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan disarankan terlebih dahulu menemui Syekh Ibrahim di Campa. Keduanya menuruti nasehat Syekh Nurjati dan berhasil menemui Syekh Ibrahim di Campa.
Di Campa Pangeran Walangsungsang  dan Nyi Mas Ratu Rarasantang menerima wejangan dari Syekh Ibrahim, selanjutnya Syekh Ibrohim  menyuruh keduanya untuk melanjutkan perjalanan ke Mekah. Selama di Mekah, keduanya tinggal di pondok Syekh Bayanullah, adik Syekh Nurjati dan berguru kepada Syekh Abuyazid.
Setelah berhaji, Nyi Mas Ratu Rarasantang bergelar Nyi Haji Syarifah Mudaim dan Pangeran Walangsungsang bergelar Haji Abdullah Iman. Akhirnya Nyi Mas Ratu Rarasantang dipersunting oleh Raja Mesir, Maulana Sultan Mahmud/Syarif Abdullah.
Tak lama kemudian, pernikahan antara Syarifah Mudaim dan Syarif Abdullah dilangsungkan di kerajaan Bani Israil yang disaksikan oleh Haji Abdullah Iman dan alim-ulama beserta pembesar kerajaan. Syarifah Mudaim berharap dapat melahirkan anak yang bisa mengislamkan tanah Jawa. Hasil pernikahan Nyi Rara Santang ini lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Syarif Nurullah meneruskan memimpin kerajaan ayahandanya, sementara Syarif Hidayatullah berniat mensyiarkan Islam di tanah Jawa.

Syekh Bayanullah (Adik Syekh Nurjati) Mendirikan Pondok Pesantren Quro di Kuningan
Syekh Bayanullah tiba di Cirebon bersama Syekh Bentong (putra Syekh Quro Karawang) setelah menunaikan ibadah haji. Syekh Bayanullah mendirikan Pondok Pesantren Quro di Desa Sidapurna, Kuningan, setelah menikah dengan  Nyi Wandasari, putri Surayana, penguasa Sidapurna. Surayana adalah putra Prabu Niskala Watu Kancana dari istri ketiganya. Dari perkawinan itu lahirlah Maulana Arifin. Maulana Arifin kelak berjodoh dengan Ratu Selawati, Penguasa Kuningan. Ratu Selawati adalah adik Jayaraksa (Ki Gedeng Luragung) serta kakak Bratawijaya (Arya Kemuning). Mereka adalah cucu Sri Baduga Maharaja yang kelak di-Islamkan oleh uwaknya Pangeran Walangsungsang.

Kedatangan Pangeran Panjunan
Bagian ini diselingi oleh cerita Sultan Sulaeman di Negeri Bagdad yang dilanda kegundahan karena anaknya yang bernama Syarif Abdurrahman dan adik-adiknya, Syarif Abdurrakhim, Syarifah Bagdad dan Syarif Khafid mempelajari Ilmu Tasawuf yang tidak disukai oleh  Sultan Sulaeman dan suka bermain rebana, yang kelak menjadi cikal bakal kesenian Brai di Cirebon. Akhirnya, Syarif Abdurrahman diusir dari kerajaan. Syarif Abdurrahman mengadukan pengusiran ayahnya kepada gurunya, Syekh Juned. Menurut Syekh Juned, tidak ada tempat lain yang harus dituju kecuali Cirebon, tempat yang tentram dan di masa yang akan datang akan diduduki oleh para wali.
            Sementara itu Haji Abdullah Iman (walang sungsang) berniat kembali ke tanah Jawa. Dalam perjalanan kembali ke tanah Jawa, ia mengunjungi Syekh Ibrahim Akbar di Campa dan  dijodohkan dengan putrinya dan di bawa pulang ke Cirebon.  Kelak keduanya dikaruniai tujuh orang putri yang setelah dewasa bermukim di beberapa tempat menjadi sesepuh desa.
Haji Abdullah Iman membangun sebuah keraton di Cirebon yang diberi nama Keraton  Pakungwati yang diambil dari nama anaknya yang baru lahir buah perkawinannya dengan Nyi Indang Geulis. Setelah pembangunan keraton selesai, Haji Abdullah Iman diangkat oleh ayahnya, Prabu Siliwangi, menjadi Ratu Sri Mangana dan diberi payung kebesaran.
Syarif Abdurrakhman yang diusir ayahnya dari Bagdad melakukan perjalanan menuju Cirebon sesuai dengan saran gurunya, Syekh Juned. Ia ditemani oleh tiga orang adiknya dan 1.200 orang pengikutnya yang diangkut dengan empat buah kapal. Akhirnya mereka tiba di Caruban. Setibanya di Caruban, mereka langsung menghadap Pangeran Walangsungsang Cakrabuana dan minta izin untuk tinggal di Caruban. Kemudian diizinkan dan ditempatkan di daerah Panjunan dan Syarif Abdurrakhman  ini dikenal dengan sebutan Pangeran Panjunan.  Di tempat tersebut, Pangeran Panjunan bersama para wali mendirikan sebuah masjid, yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Merah Panjunan. Masjid Panjunan selain memiliki keunikan berwarna merah, juga memilki keunikan lain. Arsitektur pada gapura masjid tersebut asimetri dan memilki candrasengkala berupa srimpedan, yang juga dimiliki oleh Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Sedangkan Syarif Abdurrakhim bertempat tinggal di Kejaksan dan bergelar Pangeran Kejaksan serta membuat masjid di tempat tersebut.
Mereka bertemu ayahandanya, Syekh Nurjati di Gunung Jati. Syarif Khafid dan Syarifah Bagdad menetap di Gunung Jati. Syarifah Bagdad kelak menikah dengan Syarif Hidayatullah dan menjadi sekretaris pribadi dalam hal masalah keagamaan sehingga bergelar Nyi Mas Penatagama Pesambangan yang sangat alim dan berakhlak mulia, sehingga Sunan Gunung Jati sangat mencintainya dan putranya diangkat menjadi putra mahkota.  Namun kedua putranya baik Pangeran Jaya Kelana maupun Pangeran Brata Kelana, meninggal/ syahid dalam usia muda.

Wejangan Syekh Nurjati Kepada Syarif Hidayatullah dan Para Wali
            Setelah berkelana menemui para wali di Jawa, Syarif Hidayatullah pada tahun 1475 (Ada naskah yang menyebut 1470) mendarat di Amparan Jati  dan menemui uwaknya (Pangeran Walangsungsang) yang pada saat itu menjadi Kuwu Cirebon. Uwaknya sangat gembira atas kedatangan keponakannya tersebut dan mendukung niatnya. Tetapi sebelumnya Pangeran Walangsungsang memberi nasihat agar sebelum melakukan syiar Islam, terlebih dahulu menemui Ki Guru, yakni Syekh Nurjati di Gunung Jati. Syarif Hidayat agar meminta nasihat dan petunjuk, bagaimana dan apa yang harus dilakukan. Akhirnya, mereka berdua berangkat menuju Gunung Jati menemui Syekh Nurjati selama tiga hari tiga malam. Di tempat Syekh Nurjati mereka menerima wejangan-wejangan yang berharga. Antara lain, Syekh Nurjati berkata:
”Ketahuilah bahwa nanti di zaman akhir, banyak orang yang terkena penyakit. Tiada seorangpun yang dapat mengobati penyakit itu, kecuali dirinya sendiri karena penyakit itu terjadi akibat perbuatannya sendiri. Ia sembuh dari penyakit itu, kalau ia melepaskan perbuatannya itu. Dan ketahuilah bahwa nanti di akhir zaman, banyak orang yang kehilangan pangkat keturunannya, kehilangan harga diri, tidak mempunyai sifat malu, karena dalam cara mereka mencari penghidupan sehari-hari tidak baik dan kurang berhati-hati. Oleh karena itu sekarang engkau jangan tergesa-gesa mendatangi orang-orang yang beragama Budha. Baiklah engkau sekarang menemui Sunan Ampel di Surabaya terlebih dahulu dan mintalah fatwa dan petunjuk dari beliau untuk bekal usahamu itu. Ikutilah petunjuk beliau, karena pada saat ini di tanah Jawa baru ada dua orang tokoh dalam soal keislaman, ialah Sunan Ampel di Surabaya dan Syekh Quro di Karawang. Mereka berdua masing-masing menghadapi Ratu Budha, yakni Pajajaran Siliwangi dan Majapahit. Maka sudah sepatutnyalah sebelum engkau bertindak, datanglah kepada beliau terlebih dahulu. Begitulah adat kita orang Jawa harus saling menghargai, menghormati antara golongan tua dan muda. Selain itu, dalam usahamu nanti janganlah kamu meninggalkan dua macam sembahyang sunah, yaitu sunah duha dan sunah tahajud. Di samping itu, engkau tetap berpegang teguh pada empat perkara, yakni syare’at hakekat, tarekat, dan ma’rifat”.
      Demikian wejangan dari Syekh Nurjati kepada Syarif Hidayatullah. Syekh Nurjati adalah tokoh utama penyebar agama Islam yang pertama di Cirebon. Tokoh yang lain adalah Maulana Magribi, Pangeran Makdum, Maulana Pangeran Panjunan, Maulana Pangeran Kejaksan, Maulana Syekh Bantah, Syekh Majagung, Maulana Syekh Lemah Abang, Mbah Kuwu Cirebon (Pangeran Cakrabuana), dan Syarif Hidayatullah. Pada suatu ketika mereka berkumpul di Pasanggrahan Amparan Jati, di bawah pimpinan Syekh Nurjati. Mereka semua murid-murid Syekh Nurjati. Dalam sidang tersebut Syekh Nurjati berfatwa kepada murid-muridnya:
”Wahai murid-muridku, sesungguhnya masih ada suatu rencana yang sesegera mungkin kita laksanakan, ialah mewujudkan atau membentuk masyarakat Islamiyah. Bagaimanakah pendapat para murid semuanya dan bagaimana pula caranya kita membentuk masyarakat Islamiyah itu?”.
 Para murid dalam anggota sidang mufakat atas rencana baik tersebut. Syarif Hidayatullah berpendapat bahwa untuk membentuk masyarakat Islam sebaiknya diadakan usaha memperbanyak tabligh di pelosok dengan cara yang baik dan teratur. Pendapat ini mendapat dukungan penuh dari sidang, dan disepakati segera dilaksanakan.  Sidang inilah yang menjadi dasar dibentuknya organisasi dakwah dewan Wali Songo.
Sebelum meninggal dunia, Syekh Nurjati berwasiat kepada anak bungsunya, Syekh Khafid, “Ana sira ana ingsun”, yang artinya ada kamu ada saya. Maksudnya adalah Syekh Nurjati berpesan bahwa Syekh Khafid adalah pengganati Syekh Nurjati apabila berhalangan. Wasiat inilah yang memperkuat anggapan bahwa seolah-olah Syekh Datuk Khafid adalah orang yang sama dengan Syekh Datul Kahfi.  
Beberapa saat kemudian Syarif Hidayatullah menggantikan Syekh Datuk Kahfi/Syekh Nurjati yang meninggal dunia.  Syarif Hidayatullah ketika menggantikan kedudukan sebagai guru dan da’i di Amparan Jati diberi julukan Syekh Maulana Jati, disingkat Syekh Jati.
Semasa hidupnya Syekh Nurjati senantiasa mengamanati setiap santri yang akan meninggalkan Pangguron, dengan perkataan ’’settana’’ artinya pegang teguhlah semua pelajaran yang diperoleh dari pengguron Islam Gunung Jati, jangan sampai lepas. Sejak saat itu orang menamakan Kampung Pesambangan dengan nama Settana Gunung Jati. Namun karena pada akhirnya Gunung Jati itu digunakan untuk pemakaman, terutama makam Syekh Nurjati sendiri, maka penduduk Jawa Barat yang sebagian besar  berbahasa Sunda, sebutan settana diganti menjadi astana yang artinya kuburan. Walaupun demikian, penduduk yang berbahasa Jawa Cirebon masih banyak yang menyebutnya settana. Dengan demikian Kampung Pesambangan yang mencakup Gunung Jati sampai sekarang dinamakan Kampung atau Desa Astana.
Sebagai bukti penghormatan umat Islam, yang berziarah ke Astana (baik ke komplek pemakaman Gunung Jati maupun komplek pemakaman Gunung Mursahadatillah, dan secara khusus disampaikan kepada ruh pemimpin dan penghulu kami Syekh  Datul Kahfi, dan kepada ruh Syekh Bayanillah, dan kepada seluruh ruh para wali, sultan, ahli kubur yang disemanyamkan di Gunung Jati dan Gunung Sembung, dan orang tua mereka, para pendoa mereka, dan orang-orang yang mengambil pelajaran dari mereka, Yaa Allah ....tolonglah kami semua dengan perantaraan (izin Allah, akan kemuliaan mereka, aku memohon (hanya) kepada Engkau, (memohon) barokah, syafaat, karomah (kemuliaan), ijasah (kelulusan dan pengakuan), dan keselamatan, segala sesuatu hanya milik Allah, bagi mereka al Fatihah...
Kalau kita simak doa tersebut, maka ada penghormatan terhadap :
1. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
2.  Nyi Mas Ratu Rarasantang (Syarifah Mudaim, ibunda Sunan Gunung Jati, Pendiri Caruban)
3.  Syarifah Bagdad/ Fatimah (Nyi Mas Penatagama Pesambangan, istri Sunan Gunung Jati, putri Syekh Nurjati)
4. Pangeran Cakrabuana (paman Syarif Hidayatullah, pendiri Caruban)
5. Syekh Quro/ Syekh Hasanudin (Syekh Mursahadatillah, pendiri Pondok Pesantren Karawang, Sahabat Syekh Nurjati )
6.  Syekh Nurjati (Syekh  Datul Kahfi, guru Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang dan mertua Sunan Gunung Jati)
7.  Syekh Bayanillah (adik Syekh Datul Kahfi, pendiri Pondok Pesantren di Kuningan)
Kita bisa mencermati bahwa doa tersebut diatas ditujukan kepada  sekelompok elit ulama perintis dakwah Islamiah di Cirebon.

Gapura Bersayap di Pintu Makam Syekh Nurjati
Syekh Nurjati meninggal dan dimakamkan di Gunung Jati. Sedangkan Syarif Hidayatullah meninggal di Gunung Jati sehingga disebut Sunan Gunung Jati, namun dimakamkan di Gunung Sembung, sebelah barat Gunung Jati.
Gapura bersayap di pintu makam Syekh Nurjati adalah sebagai penanda masuknya agama  Islam di Cirebon. Model gapura ini merupakan salah satu karya adi luhung orang Cirebon, pada awal abad ke 15-17 Masehi. Karya adi luhung ini merupakan karya dekoratif yang sebenarnya lumrah di pesisir pantai utara Jawa.
Pintu yang ada di gapura bersayap Syekh Nurjati ini dapat melambangkan kematian. Artinya maut adalah gerbang yang akan dilalui oleh setiap manusia (ruh) untuk mencapai kehidupan berikutnya yang abadi. Pemaknaan pintu sebagi lambang kematian merupakan gambaran yang sangat tepat dan sesui dengan peribahasa Arab yang berbunyi : “ al mautu babun wa kullunaasi dakhiluhu”, maut adalah pintu dan setiap orang akan memasukinya.
Jika pintu bermakna kematian, maka gapura bersayap bisa menjadi makna perlambang bagi Malaikat Izrail. Artinya, kematian bisa disebut kematian yang sesungguhnya jika ruh seseorang sudah dibawa malaikat Izrail dan menurut Al Quran bahwa para malaikat itu bersayap.


Sumur Jalatunda
Di Pesambangan terdapat dua sumur tua peninggalan Syekh Nurjati, yakni sumur Jalatunda dan sumur Tegangpati. Sumur diartikan sebagai kirata basa : seumur atau sepanjang kehidupan. ”Jala” dari bahasa Arab ”jalla” yang berarti luhur atau agung, ”tundha” artinya titipan, sedangkan ”tegangpati” berarti serah jiwa.

4. Syekh Quro.
Syekh Quro atau Syekh Qurotul Ain Pulobata adalah pendiri Pesantren pertama di Jawa Barat, yaitu Pesantren Quro di Tanjung Pura, Karawang pada tahun 1428M. Nama asli Syekh Quro ialah Syekh Hasanuddin, ada pula yang menyebutnya dengan Syekh Mursahadatillah. Syekh Hasanuddin adalah putra seorang ulama besar Perguruan Islam di Champa (Vietnam Selatan) yang bernama Syekh Yusuf Shiddiq as-Samarqond.
Nasab Syekh Quro
Hasanuddin bin Yusuf Shiddiq bin Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini bin Ahmadsyah Jalaluddin bin Amir ‘Abdullah Khonnuddin bin ‘Abdul Malikal Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Kholi' Qosam bin Alwi Ats-Tsani bin Muhammad Shohibus Saumiah bin Alawi (Alwi) Awwal bin Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Isa Ar-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uroidhi bin Ja’far Ash-Shoddiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain As-Sabith bin Sayyidina Ali bin Abi Tholib + Sayyidah Fathimah Az-Zahro binti Nabi Muhammad saw.
Syekh Hasanuddin adalah: Saudara sepupu dari Syekh Ali Rohmatullah (Sunan Ampel) dan Syekh Ali Murtadho. Karena ayahnya, Syekh Yusuf Shiddiq adalah adik kandung dari Syekh Maulana Ibrohim as-Samarqond (Asmoroqondi), ayah dari Syekh Ali Rohmatullah dan Syekh Ali Murtadho. Juga saudara sepupu dari Syekh Maulana Malik Ibrohim (Sunan Gresik) dan Syekh Maulana Ishaq (Ayah Sunan Giri). Karena ayahnya, Syekh Yusuf Shiddiq adalah adik kandung Syekh Barokat Zainal Alam as-Samarqond, ayah dari Syekh Maulana Malik Ibrohim dan Syekh Maulana Ishaq.
Pada Tahun 1409 M, Kaisar Cheng Tu dari Dinasti Ming di Cina memerintahkan Laksamana Haji Muhammad Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong alias Sampo Po Bo untuk menjalin hubungan perdagangan dan persahabatan dengan kesultanan Islam di Nusantara. Dalam Armada Angkatan Laut Tiongkok itu turut serta Syekh Hasanuddin dengan tujuan untuk mengajar agama Islam di Kesultanan Malaka (Malaysia sekarang). Dari sana, Syekh Hasanuddin melanjutkan perjalanan ke pulau Jawa, tepatnya di Cirebon. Setibanya disana, ia langsung mengadakan hubungan persahabatan dengan Ki Gedeng Tapa, sebagai Syahbandar Muara Jati, Cirebon. Melalui pelabuhan Muara Jati, ia terus melanjutkan da’wah ke daerah lainnya seperti Martasinga, Pasambangan, dan Jayapura. Pada tahun 1428 M,
Syekh Hasanuddin lalu mendirikan Pesantren Quro di Tanjung Pura, Karawang. Sejak itulah ia lebih dikenal dengan panggilan Syekh Quro.
Syekh Quro juga turut memegang peranan penting dalam masuknya pengaruh ajaran Islam kedalam keluarga Raden Pamanah Rasa (Sri Baduga Maharaja Ratu Haji Prabu Jaya Dewata – Prabu Siliwangi III, raja dari Kerajaan Pajajaran). Apalagi istri ke-3 Prabu Siliwangi III yang bernama Nha/Nyai Subang Larang, putri Ki Gedeng Tapa, adalah santriwati pesantren Syekh Quro.
Di Majalengka, terdapat petilasan Prabu Siliwangi III, yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan Makam Prabu Haji Munding Wangi (nama lain Prabu Siliwangi III), yang letaknya didalam Hutan Siliwangi. Jadi, di hutan tersebut adalah tempat Prabu Siliwangi III ber-halwat. Nyai Subang merupakan santriwati yang tekun dan teladan di Pesantren Quro. 
Dalam menyampaikan ajaran Islam, Syekh Quro melakukannya melalui pendekatan yang disebut Dakwah Bil Hikmah, sebagaimana firman ALLAH dalam Al-Qur’an Surat XVI An Nahl ayat 125, yang artinya : “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan pelajaran yang baik, dan bertukar pikiranlah dengan mereka dengan cara yang terbaik”.
Makam Cungkup Petilasan Syekh Quro Makam Syekh Quro terdapat di Dusun Pulobata, Desa Pulokalapa, Kecamatan Lemahabang, Lokasi makam penyebar agama Islam tertua, yang konon lebih dulu dibandingkan Walisongo tersebut, berada sekitar 30 kilometer ke wilayah timur laut dari pusat kota Lumbung Padi di Jawa Barat.
Komplek makam yang senantiasa ramai peziarah dari berbagai pelosok tanah air. Masjid nya memang tidak terlalu besar, namun menjadi istimewa karena lokasinya yang berada di dalam komplek salah satu makam ulama besar tanah Jawa. Ditinjau dari sudut arsitektural maupun sejarah-pun masjid ini biasa biasa saja. Dalam sejarahnya peran Sheikh Quro tak bisa lepas dari keberadaan Masjid Agung Karawang yang pada awalnya merupakan mushola kecil yang dibangun oleh beliau sebagai tempat mengajarkan Al-Qur’an di tengah pesantren yang dibangunnya.

5. Syekh Khaliqul Idrus.
Syekh Khaliqul Idrus adalah seorang muballigh Parsi yang berdakwah di Jepara. Menurut suatu penelitian, ia diperkirakan adalah Syekh Abdul Khaliq, dengan ''laqob'' Al-Idrus, anak dari Syekh Muhammad Al-Alsiy yang wafat di Isfahan, Parsi.

Nasab Syekh Kholiqul ‘Idrus
Silsilah Syekh Khaliqul Idrus yang bernama asli Abdul Khaliq Al-Idrus, adalah putra Muhammad Al Alsiy, putra Abdul Muhyi Al Khoyri, putra Muhammad Akbar Al Ansari, putra Abdul Wahhab, putra Yusuf Al Mukhrowi, putra Muhammad Al Faqih Al Muqaddam, seorang ulama sangat terkenal pada abad ke-13 di Hadramaut, Yaman, yang merupakan putra dari Sayyid Ali, putra Muhammad Shahib Mirbath.
Syekh Kholiqul ‘Idrus kemudian menikahi Siti ‘Aisyah (Ratna Kusuma), putri dari Syekh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini. Dari pernikahan tersebut melahirkan Raden Muhammad Yunus (Wong Agung Jepara) yang merupakan ayah dari Raden Abdul Qodir (Adipati Bin Yunus atau Pati Unus). Pati Unus gugur, saat perang melawan penjajah Portugis di Malaka 1521 M. Ia kemudian dikenal dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor. Jadi Syekh Kholiqul ‘Idrus adalah kakek buyut dari Pangeran Sabrang Lor.
Syekh Khaliqul Idrus ketika menetap di Jepara, beliau menikah dengan putri seorang Muballigh asal Gujarat yang lebih dulu datang ke tanah Jawa yaitu dari keturunan Syekh Mawlana Akbar, seorang Ulama, Muballigh dan Musafir besar asal Gujarat, India yang mempelopori dakwah diAsia Tenggara. Seorang putra beliau adalah Syekh Ibrahim Akbar yang menjadi Pelopor dakwah di tanah Campa (di delta Sungai Mekong, Kamboja) yang sekarang masih ada perkampungan Muslim. Seorang putra beliau dikirim ke tanah Jawa untuk berdakwah yang dipanggil dengan Raden Rahmat atau terkenal sebagai Sunan Ampel. Seorang adik perempuan beliau dari lain Ibu (asal Campa) ikut dibawa ke Pulau Jawa untuk ditawarkan kepada Raja Brawijaya sebagai istri untuk langkah awal meng-Islam-kan tanah Jawa. Raja Brawijaya berkenan menikah tapi enggan terang-terangan masuk Islam. Putra yang lahir dari pernikahan ini dipanggil dengan nama Raden Patah. Setelah menjadi Raja Islam yang pertama di beri gelar Sultan Alam Akbar Al-Fattah. Disini terbukalah rahasia kenapa beliau Raden Patah diberi gelar Alam Akbar karena ibu beliau adalah cucu Ulama Besar Gujarat Syekh Mawlana Akbar yang hampir semua keturunannya menggunakan nama Akbar seperti Ibrahim Akbar, Nurul Alam Akbar, Zainal Akbar dan banyak lagi lainnya. setelah menikah dengan putri Ulama Gujarat keturunan Syekh Mawlana Akbar lahirlah seorang putra beliau yang bernama Raden Muhammad Yunus yang setelah menikah dengan seorang putri pembesar Majapahit di Jepara dipanggil dengan gelar Wong Agung Jepara. Dari pernikahan ini lahirlah seorang putra yang kemudian terkenal sangat cerdas dan pemberani bernama Abdul Qadir yang setelah menjadi menantu Sultan Demak I Raden Patah diberi gelar Adipati bin Yunus atau terkenal lagi sebagai Pati Unus yang kelak setelah gugur di Malaka di kenal masyarakat dengan gelar Pangeran Sabrang Lor.












BIOGRAFI SINGKAT WALI SONGO

Menurut Al-Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri, ulama' asli Tarim Hadramaut Yaman. Para Walisongo yang menyebarkan dakwah Islam di indonesia mereka adalah para 'alawiyin yang datang dari Hadramaut.
Mereka merupakan para Habaib/dzurriyyat Rasulullah (keturunan Rasulullah) yang silsilahnya bersambung kepada     Al-Imam Ahmad Al-Muhajir. Silsilah Walisongo sampai kepada Al-Imam As-Sayyid Alwi 'Ammi al-Faqih al-Muqoddam (paman dari Muhammad al-Faqih al-Muqoddam).
Sayyid 'Alwi ini memiliki 3 putra. dan dari 3 putra inilah yang meregenerasikan para ulama yang bertebaran ke berbagai penjuru dunia.
Di antara putranya itu adalah Sayyid Abdul Malik Azmatkhan yang kemudian hijrah ke India dan menjadi Raja di sana. Sayyid Abdul Malik Azmatkhan memiliki putera yang bernama Sayyid Abdullah, dari Sayyid Abdullah inilah terlahir Sayyid Ahmad Jalaludin. Sayyid Ahmad Jalaluddin memiliki putera yang bernama Sayyid Jamaluddin Husain, yang selanjutnya memiliki keturunan penyebar dakwah Islam di Asia Tenggara terkenal dengan sebutan Walisongo. Majelis Dakwahnya disebut Majelis Dakwah Walisongo.
Penggagas Walisongo adalah Khalifah Muhammad I [Kekhalifahan Turki Utsmani] tahun 1404 M/808 H yang awalnya menugaskan para Ulama mumpuni yang nasabnya sebagian besar dari asal Hadhramaut Yaman (Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini), namun masing-masing telah berdakwah ke berbagai penjuru dunia sehingga disebut berasal dari beragam daerah di berbagai penjuru kawasan Islam. Beliau lantas menugaskan para Dai' tersebut untuk berdakwah di Asia Tenggara dalam suatu Majelis Dakwah Walisongo.
Walisongo banyak dari keturunana Hadramaut Yaman, Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh yang merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh ustad Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut (Yaman).
”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid/Syarif/Habaib. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid/Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh besar seperti halnya para Sayyid/Syarif. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid/Syarif) merupakan keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”

Walisongo Angkatan Ke-1, tahun 1404 – 1435 M.
Peride Pertama
Pada tahun 808 Hijrah atau 1404 Masehi para ulama itu berangkat ke Pulau Jawa. Mereka adalah:
1.    Syekh Jumadil Qubro/(Sunan Kubrawi) berasal dari Mesir. Beliau berdakwah keliling. Makamnya di Troloyo Trowulan, Mojokerto Jawa Timur.
2.    Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik atau Kake Bantal, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo berasal dari Turki ahli mengatur negara. Berdakwah di Jawa bagian timur. Wafat di Gresik pada tahun 1419 M/Hari senin 12 Robiul Awwal tahun H. Makamnya terletak satu kilometer dari sebelah utara pabrik Semen Gresik.
3.    Maulana Ishaq /(Sunan Wali Lanang) berasal dari  Samarkan  dekat Bukhara-uzbekistan/Rusia. Beliau ahli pengobatan. Setelah tugasnya di Jawa selesai Maulana Ishak pindah keSingapura/ Samudra Pasai dan wafat di sana.
4.    Maulana Muhammad Al Maghrobi/(Sunan Maghribi) berasal dari Maroko, beliau berdakwah keliling. Wafat tahun 1465 M. Makamnya di Jatinom Klaten, Jawa Tengah.
5.    Maulana Malik Isroil berasal dari Turki, ahli mengatur negara. Wafat tahun 1435 M. Makamnya di Gunung Santri, Cilegon antara Serang-Merak, Jawa Barat.
6.    Maulana Muhammad Ali Akbar, berasal dari Persia Iran. Ahli pengobatan. Wafat 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
7.    Maulana Hasanuddin  berasal dari  Palestina  Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
8.    Maulana Aliyuddin berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
9.    Syekh Subakir, berasal dari Persia, ahli menumbali (metode rukyah) tanah angker yang dihuni jin-jin jahat tukang menyesatkan manusia. Setelah para Jin tadi menyingkir dan lalu tanah yang telah netral dijadikan pesantren. Setelah banyak tempat yang ditumbali (dengan Rajah Asma Suci) maka Syekh Subakir kembali ke Persia pada tahun 1462 M dan wafat di sana. Salah seorang pengikut atau sahabat Syekh Subakir tersebut ada di sebelah utara Pemandian Blitar, Jawa Timur. Disana ada peninggalan Syekh Subakir berupa sajadah yang terbuat dari batu kuno.

1. Syekh Jumadil Qubro

Syekh Sayyid Maulana Ahmad Jumadil Qubro  atau Sayyid Jamaluddin Husain / Sunan Kubrawi /Jamaluddin Akbar Al-Khan putra-putra beliau, yaitu 1. Barakat Zainal Alam yang menurunkan  Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) dan 2. Ibrohim Asmoro/Ibrohim Zaenal Akbar yang menurunkan   Maulana Ishaq, dan Syeh Rahmatullah {Sunan Ampel}. dan ke-3. Ali Nurul Alam yang menurunkan Syarif Hidayatullah bin Abdullah bin Ali Nurul Alam.
Syekh Jumadil Qubro bukan keturunan Jawa, melainkan berasal dari Asia Tengah. lahir diSamarkandUzbekistan. Beliau masih kerabat dekat Laksamana Cheng Ho/Sayyid Muhammad Mahmud/Muhammad Sanbao/Laksamana Elang Perkasa.
Beliau mendirikan padepokan untuk mengajarkan Agama Islam yang terkenal di trowulan atau pusat kota kerajaan Brawijaya pada waktu itu.


2. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)

Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik atau Kake Bantal, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo berasal dari Turki ahli mengatur negara. Berdakwah di Jawa bagian timur. Wafat di Gresik pada tahun 1419 M/Hari senin 12 Robiul Awwal tahun H. Makamnya terletak satu kilometer dari sebelah utara pabrik Semen Gresik.
Silsilah Maulana Malik Ibrohim
Nasab As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim menurut catatan Dari As-Sayyid Bahruddin Ba'alawi Al-Husaini yang kumpulan catatannya kemudian dibukukan dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang terdiri dari beberapa volume (jilid). Dalam Catatan itu tertulis: As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin As-Sayyid Barakat Zainal Alam bin As-Sayyid Jamaluddin Husain bin As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-Imam Muhammad bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin Al-Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi Muhammad       Rasulullah saw.
Ia di lahirkan di Samarkan di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy.

Isteri Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri bernama: 1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam/Maulana Israil (Raja Champa Dinasti Azmat khan 1), memiliki 2 anak, bernama: Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah dan istri ke-2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad istri ke-3. Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu: Abbas dan Yusuf.
Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim yang beristrikan siti Fatimah istri I kemudian Syarifah Sarah dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/ Raden Santri] dan melahirkan dua putera yaitu Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera Sayyid Ja’far Shadiq [Sunan Kudus].

Kedatangan Maulana Malik Ibrahim Ke Tanah Jawa  
Menurut Beberapa versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.
Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam.
Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan desa RoomoManyar. Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal.
Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibukota  Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura.
Dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi'ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasti makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran,  mauludan  (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur harisah.
Maulana Malik Ibrahim juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan       akhir        kekuasaan
Majapahit. Maulana Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, GresikJawa Timur


3. Maulana Ishaq (Sunan Wali Lanang)
Maulana Ishaq/Sunan Wali Lanang/Syeh Awwalul Islam/Syeh Ahlul Imam/Syeh Ahlul Islam beliau adalah cucu dari Syeh Jumadil Qubro. Dan ayah dari sunan Giri, Beliau juga ahli pengobatan

Silsilah Maulana Ishaq 
Maulana Ishaq  bin Ibihim Asmoro  bin Jamaluddin Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad    Rasulullah saw. 
Maulana Ishaq mempunyai istri bernama Putri Dewi Sekardadu binti Prabu Menak Sembuyu raja bLambangan dan dikaruniai putra bernama Raden Paku/Joko Samudro/ Sunan Giri 
Maulana Ishak berasal dari Samarqand (dekat Bukhara-Rusia Selatan). Beliau ahli pengobatan. Beliau Datang ke tanah Jawa pada tahun 1404 Masehi bersama dengan ayahnya (Syekh Maulana Ahmad Jumadil Qubro) dan saudaranya (Syekh Maulana Malik Ibrahim). Syekh Maulana Ishaq pada awalnya datang di tanah Jawa menetap di Gresik. Kemudian ke Blambangan dan selanjutnya ke Pasai (Singapura) dan beliau wafat di sana.
Beliau ahli dalam bidang pengobatan dan beliau sering menolong orang yang sakit hingga sembuh. Pada saat kerajaan Blambangan diserang oleh wabah, sudah berbulan-bulan rakyat Blambangan dilanda suatu penyakit. Banyak rakyat yang terserang penyakit, bahkan sebagian dari mereka menemui ajalnya. Hampi setiap hari selalu ada saja rakyat Blambangan yang meninggal dunia karena wabah ini.
 Dewi Sekardadu adalah putri dari raja Blambangan Prabu Menak Sembuyu ketika itu juga tidak luput dari wabah ini. Sudah berbulan bulan Dewi Sekardadu terserang wabah. Sudah banyak dukun, tabib yang datang untuk menyembuhkannya, namun Dewi Sekardadu belum sembuh juga. Kerajaan dirudung kesedian. Karena melihat putrinya belum sembuh-sembuh dalam waktu yang cukup lama, kemudian Prabu Menak Sembuyu menyuruh patih Bajul Sengara untuk mengumumkan sebuah sayembara, yang isinya barang siapa yang bisa menyembuhkan penyakit sang Putri serta dapat mengusir wabah penyakit dari Kerajaan Blambangan, maka apabila dia laki-laki akan dijodohkan dengan Dewi Sekardadu, bila ia perempuan maka akan dijadikan saudara Dewi Sekardadu. Setelah sayembara disebarkan sampai ke pelosok negeri, tidak satupun yang berani mengikuti sayembara itu. Sampailah berita sayembara itu pada seorang Brahmana Resi Kandabaya. Pada suatu hari Resi Kandabaya datang ke Kerajaan Blambangan untuk menghadap Prabu Menak Sembuyu. Resi Kandabaya mengatakan kepada Prabu Menak Sembuyu bahwa yang dapat menyembuhkan sang Putri Dewi Sekardadu dan mengusir wabah penyakit dari Kerajaan Blambangan adalah seorang pertapa yang bernama Maulana Ishaq yang berada di gunung Gresik.
Prabu Menak Sembuyu kemudian mengutus patih Bajul Sengara untuk menemui Syeh Maulana Ishaq guna meminta pertolongan untuk menyembuhkan sang Putri dan rakyat Blambangan. Maka berangkatlah patih Bajul Sengara yang diikuti oleh beberapa prajurit. Mereka melakukan perjalanan dengan berkuda untuk menuju Gunung Gresik. Setelah melakukan perjalanan berkuda selama enam hari, sampailah kesepuluh prajurit berkuda yang dipimpin oleh patih Bajul Sengara di Gunung Gresik, dan menemui Syeh Maulana Ishaq. “Apa maksud kisanak sekalian datang ke Gunung Gresik ini” tanya Syeh Maulana Ishaq “Kami diutus oleh Prabu Menak Sembuyu raja Blambangan untuk menemui Syeh, beliau Prabu menak Sembuyu berkata bahwa Syeh yang dapat menyembuhkan penyakit junjungan kami Dewi Sekardadu putri Prabu Menak Sembuyu, dan Syeh pula yang sanggup mengusir wabah penyakit yang sekarang ini menyerang Blambangan “, jawab patih Bajul Sengara. “Apabila hal itu terlaksana atau berhasil, maka Syeh akan dijodohkan dengan Dewi Sekardadu oleh Prabu Menak Sembuyu, tetapi apabila Syeh gagal maka akan dihukum mati oleh Prabu Menak Sembuyu”, lanjut Bajul Sengara. Mendengar hal tersebut, Syeh Maulana Ishaq terdiam sejenak, kemudian beliau berkata kepada tamunya “Agama Islam adalah agama yang selalu membantu orang yang memerlukan pertolongan, juga agama yang suka menghormati tamunya, apalagi yang datang dari jauh. Baiklah aku akan memenuhi permintaan Raja kamu sekalian, karena aku tidak sampai hati untuk mengecewakannya, tapi hal ini kulakukan bukan karena iming-iming yang akan dijodohkan dengan Dewi Sekardadu juga bukan karena aku takut untuk dihukum mati oleh raja kalian. Yang kulakukan adalah iklas semata tanpa mengharap imbalan jasa apapun. Nah Sekarang berangkatlah kisanak sekalian terlebih dahulu”
Patih Bajul Sengara kemudian mengajak prajuritnya untuk bergegas kembali ke Blambangan. Untuk sampai di Blambangan kembali merekapun menempuh perjalanan enam hari berkuda. Ketika rombongan patih Bajul Sengara dan prajuritnya sampai di halaman kerajaan Blambangan, terkejutlah mereka, karena suasana kerajaan tampak meriah sekali. Setelah diselidiki ternyata Prabu Menak Sembuyu sedang merayakan hari ketujuh pernikahan putri Dewi Sekardadu dengan Syeh Maulana Ishaq. Patih Bajul Sengara semakin terheran, mengenai keterangan yang telah disampaikan oleh para punggawa kerajaan yang ada di sana. Di dalam hatinya mana mungkin Syeh Maulana Ishaq telah sampai lebih dahulu, padahal rombongannya berangkat terlebih dahulu. Diapun segera masuk ke Istana untuk menghadap Prabu Menak Sembuyu. Setelah patih dihadapan sang raja, raja bertanya, “Kemana saja kalian ini Bajul Sengara” “Hamba baru datang dari Gunung Gresik Prabu” jelas Bajul Sengara “Berapa lama waktu yang diperlukan untuk sampai ke Gunung Gresik” tanya Prabu Menak Sembuyu “Enam hari Gusti Prabu, jadi kami dua belas hari berada di perjalanan, Gusti Prabu” jawab patih Bajul Sengara. “ Lalu apa sebenarnya yang telah terjadi disini Gusti Prabu” “Sunguh sangat aneh” gumam Gusti Prabu “Pada hari keenam sejak kepergian kalian ke Gunung Gresik, Maulana Ishaq sudah datang ke istana ini. Dia telah berhasil menyembuhkan Dewi Sekardadu dan sekaligus telah mengusir wabah yang menyerang istana ini. Dan sesuai janjiku, maka kujodohkan dia dengan putriku Dewi Sekardadu, sekarang ini adalah perayaan hari ketujuh atas pernikahan Maulana Ishaq dengan putriku” Patih Baju Sengara terperanjat mendengar apa yang dikatakan oleh sang raja, karena sewaktu di Gunung Gresik rombongannya disuruh berangkat terlebih dahulu oleh Syeh Maulana Ishaq, tetapi Syeh Maulana Ishaq yang sepertinya tidak membawa kuda atau hanya berjalan kaki, datang lebih dahulu dari rombongan mereka.
 Ini menunjukkan bahwa Syeh Maulana Ishaq bukan orang sembarangan, orang yang sangat tinggi ilmunya. Segera patih menemui Syeh Maulana Ishaq karena dia masih belum percaya, jangan-jangan ada orang lain yang mengaku-ngaku sebagai Syeh Maulana Ishaq. Setelah melihat sendiri bahwa pria yang bersanding di pelaminan disamping Dewi Sekardadu adalah benar-benar Syeh Maulana Ishaq baru sang patih merasa yakin. Sesungguhnya Syeh Maulana Ishaq mempunyai ilmu atau kharomah yang tinggi, bahwa dalam sekejap mata beliau dapat berpindah dari Gunung Gresik ke Blambangan. Hal ini adalah karena kuasa Allah, bila Allah SWT berkehendak untuk menjalankan seseorang ke tempat yang sangat jauh dalam waktu sekejap mata, maka tidak ada satu kekuatanpun di jagad raya ini yang akan mencegahnya. Maha Suci Allah atas segala kekuasaanNya.
Setelah pesta perkawinan selesai, banyak penduduk sekitar istana berdatangan untuk meminta pengobatan kepada Syeh Maulana Ishaq, Syeh Maulana Ishaq menolong mereka dengan sabar dan telaten, banyak dari mereka yang sakit telah disembuhkan. Lama-lama penduduk simpati pada ajaran yang telah dibawah oleh Syeh. Seiring berjalannya waktu, semakin hari semakin banyak pengikut Syeh Maulana Ishaq, mereka dengan sukarela menjadi pengikut Syah Maulana Ishaq dan masuk agama Islam.
Melihat kenyataan ini Prabu menak Sembuyu menjadi kawatir, apalagi Syeh Maulana Ishaq melarang memakan binatang yang tidak disembelih atas nama Allah, melarang makan binatang buas, babi dan beliau melarang menyembah berhala. Padahal hal tersebut adalah kesenangan dan sudah menjadi kebiasaan di Blambangan pada waktu itu. Prabu Menak Sembuyu menyuruh patih Bajul Sengara untuk menyerang Syeh Maulana Ishaq dan pengikutnya. Berangkatlah patih Bajul Sengara beserta prajurit menuju kediaman Syeh Maulana Ishaq. Setelah rombongan prajurit patih Bajul Sengara sampai di depan kediaman Syeh Maulana Ishaq, beliau (Syeh Maulana Ishaq) berjalan dengan tenang menghampiri patih Bajul Sengara. Tidak ada satupun prajurit yang berusaha menghalangi atau menyerang Syeh Maulana Ishaq. Seperti kita ketahui bahwa tujuan dakwah agama Islam adalah menyadarkan orang yang berbuat kesalahan dengan sikap dan budi pekerti yang halus yang diwujudkan dalam tindakan seharai-hari, bukan membasmi mereka yang salah. Maka untuk mencegah hal itu Syeh Maulana Ishaq berjanji akan meninggalkan Blambangan. Mendengar hal ini para pengikut bertanya kepada Syeh Maulana Ishaq, “Jangan pergi Tuan, kalau Tuan pergi meninggalkan kami siapa yang akan membimbing kami mempelajari ajaran agama Islam, siapa yang akan membimbing kami menuju jalan yang benar, dan siapa yang akan memberi contoh kami budi pekerti yang halus” “Jangan kawatir wahai saudaraku, kelak akan ada penggantiku setelah kepergianku, anakku yang ada di dalam kandungan istriku Dewi Sekardadu yang akan membimbing kalian” Pembicaraan Syeh Maulana dengan pengikutnya ini memang terdengar oleh patih Bajul Sengara.
Sebelum meninggalkan Blambangan Syeh Maulana Ishaq pamit pada istrinya, “Istriku aku akan pergi meninggalkan Blambangan, bukan aku tidak sayang kepada engkau, akan tetapi demi kedamaian kita semua, dan demi mencegah pertumpahan darah diantara kita, maka relakan aku pergi meninggalkan Blambangan”. Dewi Sekardadu melepas kepergian suaminya dengan hati lulu menangis, dan cucuran air mata yang membasahi pipinya. Beberapa bulan setelah kepergian suaminya, Dewi Sekardadu melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan ganteng. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu suka kepada bayi tersebut dan telah melupakan Syeh Maulana Ishaq, akan tetapi karena hasutan patih yang telah mendengar apa yang dikatakan Syeh Maulana Ishaq pada pengikutnya di saat akan meninggalkan Blambangan, juga pada waktu itu, Blambangan mulai diserang wabah kembali, patih tersebut mengatakan bahwa kelak anak ini akan membawa petaka di Blambangan. Patih Bajul Sengara mengatakan pada Prabu Menak Sembuyu bahwa wabah yang datang kembali ini ada hubungannya dengan lahirnya anak Dewi Sekardadu. Prabu Menak Sembuyu terhasut oleh perkataan Patih Bajul Sengara, bayi yang baru lahir tersebut dimasukkan dalam peti mati dan dihanyutkan ke tengah samudra. Dewi Sekardadu yang baru ditinggalkan suaminya, sekarang mendapatkan kenyataan harus berpisah dari anaknya yang baru dilahirkan, apalagi anak tersebut dihanyutkan ke tengah samudra. Ibu mana yang tidak sedih akan kenyataan ini. Semakin lama kesedihan yang dirasa menggerogoti jiwa dan kesehatannya, akhirnya Dewi Sekardadu meninggal dunia.

4. Maulana Muhammad Al Maghrobi
Maulana Muhammad Al Maghrobi/(Sunan Maghribi) berasal dari Maroko, beliau. Wafat tahun 1465 M. Makamnya di Jatinom Klaten, Jawa Tengah.
Beliau merupakan dewan wali songo periode awal yang menyebarkan agama Islam dengan berdakwah keliling terutama daerah Jawa Tengan
Makam Cungkup/Petilasan Syekh Maulana Al Maghrobi ditemukan di beberapa tempat, seperti di daerah Gresik, Cirebon, dan di daerah Bantul. Di daerah Jatinom, Klaten, ada juga makam Ki Ageng Gribig, yang juga dikaitkan dengan Syekh Maulana Maghribi. Di daerah wisata Baturaden (Banyumas) juga terdapat sebuah petilasan Mbah Atas Angin yang konon merupakan nama lain untuk Syekh Maulana Maghribi. Di Wonobodro, Batang, Jawa Tengah, ada pula Makam Syekh Maulana Maghribi. Lalu ada makam Syekh Maulana Maghribi di Kawedanan Comal, Pemalang. Dan Syekh Maulana Al Maghrobi juga berada di Desa Gedong-Ombo, Kecamatan Semanding, Tuban. Masuk Gang Syeh Maulana, perempatan pabrik kapur sebelum Pasar Baru Tuban. Sebutan SyekhMaulana al-Maghribi ini kemungkinan merupakan asal muasal nenek moyangnya, yaitu daerah Maghribi atau Maroko di Afrika Utara. Di area makam Syekh Maulana juga terdapat makam Habib Abdul Qodir bin Alwy Assegaf dan Habib Idrus bin Salim. makam Syekh Maulana Mahribi di Jogjakarta Terletak diatas bukit dekat dengan pantai Parangtritis yakni tepatnya di deretan perbukitan Parangtritis berada di dusun Pemancingan, Prangtritis, Kretek, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.


Maulana Malik Isroil beliau adalah mertua dari Syeh Maulana Malik Ibrohim yang menikah dengan putrinya sebagai Istri I yang bernama Siti Fatimah binti Maulana Malik Isroil.
Maulana Malik Isroil berasal dari Turki, ahli mengatur negara. Wafat tahun 1435 M. Makamnya di Gunung Santri, Cilegon antara Serang-Merak, Jawa Barat.

Silsilah Maulana Malik Isroil
Maulana Malik Isroil /Ali Nurul Alam bin  As-Sayyid Jamaluddin Husain bin As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin  As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-Imam Muhammad bin Al-Imam Al-Uraidhi bin Al-Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi Muhammad Rasulullah saw.
Maulana Malik Isroill bersama anggota dewan Wali Songo menyebarkan Islam hingga akhirnya hayatnya. beliau dimakamkan di sebuah bukit kecil di tepi Teluk Banten, Bojonegara, Kab. Serang, utara Kota Cilegon. Tampaknya, bukit itu dipilih pertama kali oleh Maulana Malik Isroil. sebagai ulama yang lebih tua dari Syeikh Sholeh bin Abdurrahman seorang penyebar Islam yang hidup pada masa Maulana Hassanuddin. Bukit itu berada pada lokasi yang memiliki titik pandang yang cukup indah ke arah barat sehingga dapat menjadi proyeksi tafakur pada saat menyepi. Masyarakat menyebut bukit itu dengan Gunung Santri. daerah itu adalah tempat santri belajar kepada guru/ulama.
Pada masa selanjutnya, daerah itu disebut dengan nama Kampung Beji. Sebuah kampung yang kemudian menjadi basis pergerakan perlawanan masyarakat Banten terhadap Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 hingga masa kemerdekaan. Salah satu inspirator perlawanan itu adalah Maulana Malik Israel, selain tentunya Sultan Ageng Tirtayasa, musuh utama VOC. Inspirasi itu masuk dalam beberapa bentuk, antara lain melalui keturunannya yang tersebar di hampir seluruh tanah banten. Salah satu keturunannya adalah Syeikh Jamaluddin yang dimakamkan di dekat Pelabuhan Merak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Habaib dan Ulama Tegal

wahabi