Wali Songgo dan pendahulunya
WALI- WALI
SONGGO
A. Pengertian
Waliyulloh
Dalam Kitab Jami’u karomatil Auliya’ Juz
1 hal 7 Syech Yusuf bin sulaiman berpendapat bahwa “wali ialah orang yang sangat dekat kepada Alloh lantaran penuh
ketaatannya dan oleh karena itu Alloh memberikan kuasa kepadanya dengan Karomah
dan penjagaan”
maksudnya adalah orang yang menjadi dekat keadaan jiwanya kepada Alloh
karena ketaatan dia akibatnya Alloh menjadi dekat orang tersebut dan diberikan
anugrah oleh Alloh berupa“karomah” dan
penjagaan untuk tidak terjerumus berbuat ma’siat, apabila dia terjerumus
berbuat maksiat maka cepat-cepat dia bertaubat.
Kh.Hasyim
Asy’ari dalam kitabnya Ad Durorul Muntatsiroh
pada halaman 2 beliau mengungkapkan bahwa Wali adalah orang yang terpelihara
dari ;
a. Melakukan dosa besar
dan kecil
b.Terjerumus oleh hawa
nafsunya sekalipun hanya sekejap dan apabila melakukan dosa maka dia
cepat-cepat bertaubat kepada Alloh. sebagaimana tersebut didalam al Quran surat
Yunus ayat 62-64)
Hakim
At-Tirmidzi mendefinisikan
Wali ALLOH adalah seorang yang demikian kokoh di dalam peringkat
kedekatannya kepada ALLOH (fi martabtih), memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu seperti bersikap shidq (jujur dan benar) dalam
perilakunya, sabar dalam ketaatan kepada Alloh, menunaikan segala kewajiban,
menjaga hukum dan perundang-undangan (al-hudud) Alloh, mempertahankan posisi
kedekatannya kepada Alloh. seorang wali mengalami kenaikan peringkat sehingga
demikian dekat dengan Alloh, sehingga lupa dari segala sesuatu selain Alloh.
Karena kedekatannya dengan Alloh, seorang wali memperoleh ‘ishmah
(pemeliharaan) dan karomah (kemuliaan) dari Alloh. menurutnya, ada tiga jenis
‘ishmah dalam Islam. Pertama, ‘ishmah al-anbiya’ (ishmah para Nabi) merupakan
sesuatu yang wajib, baik berdasarkan argumentasi ‘aqliyyah seperti dikemukakan
Mu’tazilah maupun berdasarkan argumentasi sam‘iyyah. Kedua, ‘ishmah al-awliya’ (merupakan sesuatu yang
mungkin); tidak ada keharusan untuk menetapkan ‘ishmah bagi para wali dan tidak
berdosa untuk menafikannya dari diri mereka, tidak juga termasuk ke dalam
keyaqinan agama (‘aqa’id al-din); melainkan merupakan karomah dari Alloh kepada
mereka. Alloh melimpahkan ‘ishmah ke dalam hati siapa saja yang dikehendaki-Nya
di antara mereka. Ketiga, ‘ishmah al-‘ammah, ‘ishmah secara umum , melalui
jalan al-asbab, sebab-sebab tertentu yang menjadikan seseorang terpelihara dari
perbuatan maksiat.
‘Ishmah yang dimiliki para wali dan orang-orang beriman, menurut Hakim
at-Tirmidzi, bertingkat-tingkat. Bagi umumnya orang-orang yang beriman, ‘ishmah
berarti terpelihara dari kekufuran dan dari terus menerus berbuat dosa;
sedangkan bagi para wali ‘ishmah berarti terjaga (mahfuzh) dari kesalahan
sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqomat mereka. Masing-masing mereka
mendapatkan ‘ishmah sesuai dengan peringkat kewaliannya. Inti pengertian
‘ishmah al-awliya’ terletak pada makna al-hirasah (pengawasan), berupa cahaya
‘ishmah (anwar al-ishmah) yang menyinari relung jiwa (hanaya al-nafs) dan
berbagai gejala yang muncul dari kedalaman al-nafs, tempat persembunyian
al-nafs (makamin al-nafs), sehingga al-nafs tidak menemukan jalan untuk
mengambil bagian dalam aktivitas seorang wali. Ia dalam keadaan suci dan tidak
tercemari berbagai kotoran al-nafs ( adnas al-nafs ).
jadi dari berbagai pendapat diatas bahwa Derajat ke” Wali” an pada
hakekatnya dapat diperoleh atau dicapai oleh sesorang mukmin yang bertaqwa
dengan jalan melaksanakan dan menta’ati segala peraturan dan tuntunan sya’ra
yang diwajibkan dan yang disukai Alloh SWT dikerjakan dengan penuh ketekunan.
Dan yang Haram atau yang tidak disukai Alloh dijauhkan dan dihindarkan dari
dirinya supaya jangan sampai jatuh tergelincir melakukannya. Apabila
tergelincir melakukan dosa kecil sekejap saja cepat-cepat diikuti dengan bertaubat
yang sebenar-benarnya. dan terus segera kembali kepada yang haq (benar).
Wali-wali Songo
Di Indonesia
Walisongo Fakta Dan Dokumen Sejarah Walisongo, Sejarah masuknya Islam di negri
ini sungguh penuh dengan carut-marut karena sejak
dahulu bangsa Indonesia memang lemah dalam sistim dokumentasi. Akibatnya,
sejarah Indonesia sebelum datangnya bangsa Belanda selalu ada beberapa versi
karena selalu ada distorsi dari pelaku sejarah maupun dari masyarakat yang
meneruskan cerita tersebut kepada generasi berikutnya. Sungguh suatu hal sangat
memprihatinkan, bahwa sejarah lahirnya Islam di Jazirah Arabia yang terjadi
pada abad ke-7 Masehi lahirnya Nabi agung Muhammad SAW [581 M], wafat [632 M]
dan penggantinya Abu Bakar [632-634 M], Umar Bin Khotob [634-644 M], Usman Bin
Affan [644-656 M], Ali Bin Abi Thalib [656-661 M] serta perkembangan Islam
selanjutnya dapat terdokumentasi secara jelas. Namun sejarah masuknya Islam di
Indonesia yang terjadi 7 abad setelahnya, justru tidak terdokumentasi secara
pasti. Barangkali karena alasan itulah maka sejarah tentang walisongo juga
penuh dengan carut-marut.
Arti Walisongo
Ada beberapa pendapat
mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang
menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal
dari kata tsana yang dalam bahasa
Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut
kata sana berasal dari bahasa
Jawa, yang berarti tempat.
Wali songo atau Wali sanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara
Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di
Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah
era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam
budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa.
Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat
besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap
kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo
ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Penggagas Walisongo
adalah Khalifah Muhammad I [Kekhalifahan Turki Utsmani] tahun
1404 M/808 beliau mendapat informasi perkembangan agama Islam dari para
pedagang Gujarat bahwa di Pulau Jawa ada dua kerajaan Hindu yaitu Majapahit dan Pajajaran. Di antara rakyatnya ada yang beragama Islam tapi hanya terbatas pada keluarga
pedagang Gujarat yang menikah dengan para penduduk pribumi yaitu di kota-kota
pelabuhan.
Sultan Muhammad
I menugaskan para Ulama mumpuni yang nasabnya sebagian besar dari asal
Hadhramaut Yaman (Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini), namun masing-masing telah
berdakwah ke berbagai penjuru dunia sehingga disebut berasal dari beragam
daerah di berbagai penjuru kawasan Islam. Beliau lantas menugaskan para Dai'
tersebut untuk berdakwah di Asia Tenggara dalam suatu Majelis
Dakwah Walisongo.
Pendapat
lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang
pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik
Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Saat
itu, majelis dakwah Walisongo beranggotakan Maulana Malik Ibrahim
sendiri, Maulana Ishaq (Sunan Wali Lanang), Maulana Ahmad Jumadil Kubro
(Sunan Kubrawi); Maulana Muhammad Al-Maghrabi (Sunan Maghribi); Maulana Malik
Isra'il, Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana 'Aliyuddin,
dan Syekh Subakir.
Wali
songgo terbentuk sampai sepuluh periode dan dari sepuluh periode nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama yang
dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu: Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim, Sunan
Ampel atau Raden Rahmat, Sunan
Bonang atau Raden
Makhdum Ibrahim, Sunan
Drajat atau Raden Qasim,
Sunan Kudus atau Ja'far
Shadiq, Sunan
Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin, Sunan Kalijaga atau Raden Said, Sunan Muria atau Raden Umar
Said, Sunan
Gunung Jati atau Syarif
Hidayatullah
Para Walisongo adalah
intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka
terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa,
mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga kepemerintahan.
"PARA PENDAHULU WALI SONGO"
Tapak Jejak Waliyulloh para
pendahulu wali songo, Wali Songo, setiap umat Muslim di Indonesia, khususnya di
Pulau Jawa, pasti tidak asing dengan kata ini. Kebanyakan diantara kita, mahfum
akan keberadaannya yang masyhur dengan 9 wali, yang biasa di sapa dengan
kata “Sunan”. Seperti; Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Kudus, Sunan Giri,
Sunan Kali Jogo, Sunan Gresik, Sunan Drajat, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati.
Tetapi belum banyak yang tahu bahwa sebenarnya Wali Songo adalah sebuah majelis
da’wah yang di prakarsai oleh Sunan Gresik (Syekh Maulana Malik Ibrahim)
pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Majelis da’wah ini beranggotakan 9
Mubaligh, yang dalam keberlangsungan organisasinya tetap mempertahankan jumlah
anggota yang tetap 9. Seperti yang dikutip dalam buku Khoul Sunan Ampel Ke-555
yang ditulis oleh KH. Ahmad Dahlan; “…majelis da’wah yang secara umum dinamakan
Walisongo, sebenarnya terdiri dari beberapa angkatan. Para Walisongo tidak
hidup pada saat yang persis bersamaan, namun satu sama lain mempunyai
keterkaitan erat, baik dalam ikatan darah atau karena pernikahan, maupun dalam
hubungan guru-murid. Bila ada seorang anggota majelis yang wafat, maka
posisinya digantikan oleh tokoh lainnya” Namun, jauh sebelum Wali Songo
berkiprah dengan majelis da’wahnya di Indonesia khususnya pulau Jawa dan
sekitarnya, peran para Alawiyyin, telah terlebih dahulu berjasa menyebarkan
Islam di bumi pertiwi ini. Sebutan “Alawiyyin” adalah diperuntukkan bagi kaum
atau sekelompok orang yang memiliki pertalian darah langsung (Keturunan/Nasab)
dengan Nabi Muhammad saw. Kebanyakan dari mereka berasal dari Persia (Iraq) dan
Hadramaut, Yaman Selatan Berikut ini adalah 5 tokoh Alawiyyin yang merupakan
pendahulu para Wali Songo. Mereka itu adalah:
1. Sayyid
Ali Al-Muktabar.
2. Syekh
Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini.
3. Syekh
Datuk Kahfi.
4. Syekh
Quro.
5. Syekh
Khaliqul Idrus. (menantu dari Syekh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini)
BIOGRAFI SINGKAT PENDAHULU
PARA WALI SONGO
1. Sayyid
Ali Al-Muktabar
Sayid Maulana Ali al-Muktabar
merupakan pendahulu wali songgo, dengan sebuah kapal di bawah Nakhoda Khalifah.
. Kapal itu memuat sekitar 100 pendakwah yang menyamar sebagai pedagang.
Rombongan ini terdiri dari orang-orang Quraish, Palestina, Persia dan India.
Rombongan pendakwah ini tiba pada tahun 173 H (800 M). Sebelum merapat di
Perlak, rombongan ini terlebih dahulu singgah di India.
Nasab Sayyid Maulana Ali Muktabar
Sayid Maulana Ali al-Muktabar,
merupakan keturunan dari Sayid Muhammad Diba`i anak Imam Jakfar Asshadiq anak dari Imam Muhammad Al Baqir putra dari
Syaidina Ali Muhammad Zainal Abidin, yakni satu-satunya putra Syaidina Husen,
putra Saidina Ali bin Abu Thalib dari perkawinan dengan Siti Fatimah, putri
dari Muhammad Rasulullah saw.
Keikutsertaan Sayid Maulana Ali
al-Muktabar dalam rombongan pendakwah karena Khalifah Makmun bin Harun Al
Rasyid (167-219 H/813-833 M) meminta menyebarkan Islam di Hindi, Asia Tenggara
dan kawasan-kawasan lainnya.
Dari hijrah tersebut, berangkatlah satu
kapal yang memuat rombongan angkatan dakwah termasuk di dalamnya
Sayid Ali Muktabar. Menurut kitab Idharul Haq fi Mamlakat al-Perlak yang
ditulis oleh Syekh Ishak Makarani al-Pasi pada tahun 173 H (800 M) Bandar
Perlak disinggahi oleh satu kapal yang membawa kurang lebih 100 orang da’i yang
terdiri dari orang-orang Arab suku Qurasy, Palestina, Persia dan India dibawah
Nakhoda Khalifah dengan menyamar menjadi pedagang.
Rombongan Nakhoda Khalifah ini
disambut oleh penduduk dan penguasa negeri Perlak yakni pada masa Meurah Syahir
Nuwi. Pada masa itu pula, Meurah Syahir Nuwi menjadi raja pertama yang menganut
Islam di Perlak. Sayid Ali Muktabar sendiri kemudian menikah dengan adik Syahir
Nuwi yang bernama puteri Tansyir Dewi yang kemudian mereka dianugerahi seorang
putra bernama Sayid Maulana Abdul Aziz Syah. Saat Sayid Maulana Abdul Aziz Syah
dewasa, akhirnya dinobatkan menjadi Sultan Pertama Kerajaan Islam Perlak
bertepatan pada tanggal 1 Muharram 225 H dengan gelarnya Sultan Alaiddin Sayid
Maulana Abdul Aziz Syah.
Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul
Aziz Syah mengubah nama ibukota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah. Karena
wilayahnya yang strategis Kerajaan Islam Perlak akhirnya berkembang menjadi
sebuah Kerajaan yang maju, menggantikan peran dari Kerajaan Islam Jeumpa. Setelah
berdirinya beberapa Kerajaan Islam baru sebagai pusat Islamisasi Nusantara
seperti Kerajaan Islam Perlak (840-an) dan Kerajaan Islam Pasai
(1200-an), Kerajaan Islam Jeumpa yang menjalin kerjasama diplomatik tetap memiliki
peran besar dalam Islamisasi Nusantara, khususnya dalam penaklukkan beberapa
kerajaan besar Jawa-Hindu seperti Majapahit. Agama yang dianut kerajaan
majapahit sangat kuat, sehingga para mubalig berjuang sangat keras dalam dakwah
mereka, dari sayyid Ali inilah Islam mulai berkembang di Nusantara terutama
melalui generasi beliau Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah.
Dapat dikatakan bahwa Kerajaan
Islam Perlak adalah kelanjutan atau pengembangan dari Kerajaan Islam Jeumpa
yang sudah mulai menurun peranannya. Namun secara diplomatik kedua Kerajaan ini
merupakan sebuah keluarga yang terikat dengan aturan Islam yang mengutamakan
persaudaraan. Apalagi para Sultan adalah keturunan dari Nabi Muhammad yang
senantiasa mengutamakan kepentingan agama Islam di atas segala kepentingan
duniawi dan diri mereka. Bahkan dalam silsilahnya, Sultan Perlak yang ke V
berasal dari keturunan Kerajaan Islam Jeumpa
Makam Raja Perlak pertama,
Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, di Peureulak,
Aceh Timur
|
2. Syekh Jumadil Qubro
Sayyid
Jumadil Kubro adalah sosok yang menjadi pembuka sejarah anggota Wali Songo
karena kebanyakan wali di tanah Jawa merupakan keturunan Sayyid Jumadil Kubro.
Syekh Sayyid Maulana Ahmad Jumadil Qubro atau Sayyid Jamaluddin Husain / Sunan Kubrawi /Jamaluddin Akbar Al-Khan putra-putra beliau, yaitu 1.
Barakat Zainal Alam yang menurunkan Maulana Malik
Ibrahim (Sunan Gresik) dan 2. Ibrohim Asmoro/Ibrohim Zaenal Akbar yang menurunkan
Maulana Ishaq, dan Syeh Rahmatullah {Sunan Ampel}. dan ke-3. Ali
Nurul Alam yang menurunkan Syarif Hidayatullah bin Abdullah bin Ali Nurul
Alam.
Berbicara
mengenai Syekh Jumadil Kubro (Syech Jumadil Qubro) kita berbicara mengenai
penghulu para wali Allah dan penghulu para habaib di Nusantara Indonesia ini.
Tokoh penting dalam penyebaran Islam di Indonesia.
Sayyid
Jumadil Kubro berkunjung ke Jawa beliau singgah ke Kerajaan Campa pada tahun
1399 Masehi. Kedatangan Sayyid Jumadil Kubro ke Campa bertujuan menemui putra
dan cucu beliau, berdagang, sekaligus berdakwah menyiarkan agama Islam. Putra
Sayyid Jumadil Kubro yang telah menetap di Campa adalah Maulana Ibrahim.
Maulana Ibrahim menikah dengan putri Raja Campa, yaitu Dewi Candrawulan.
Pernikahan Maulana Ibrahim dengan Dewi Candrawulan melahirkan dua orang putra,
yaitu Sunan Ampel dan Raja Pandito.
Syeikh Jumadil Kubro
merupakan tokoh kunci proses Islamisasi tanah Jawa yang hidup sebelum
walisongo. Seorang penyebar Islam pertama yang mampu menembus dinding kebesaran
Kerajaan Majapahit. Syeikh Jumadil Kubro bernama lengkap Syeikh Jamaluddin
al-Husain al-Akbar. Beliau adalah cucu Rasulullah Muhammad SAW dari garis
Syyidah Fatimah Az Zahrah al-Battul. Ayahnya bernama Syeikh Jalal yang karena
kemuliaan akhlaknya mampu meredam pertikaian Raja Campa dengan rakyatnya.
Sehingga, Syeikh Jalal diangkat sebagai raja dan penguasa yang memimpin Negara
Campa.Syeikh Jamaluddin tumbuh dan berkembang di bawah asuhan ayahnya sendiri.
Setelah dewasa, beliau mengembara ke negeri neneknya di Hadramaut. Di sana
beliau belajar dan mendalami beragam ilmu dari beberapa ulama yang terkenal di
zamannya. Bahkan keilmuan yang beliau pelajari meliputi Ilmu Syari’ah dan
Tasawwuf, di samping ilmu-ilmu yang lain.
Selanjutnya, beliau
melanjutkan pengembaraannya dalam rangka mencari ilmu dan terus beribadah ke
Mekkah dan Madinah. Tujuannya adalah mendalami beragam keilmuan, terutama ilmu
Islam yang sangat variatif. Setelah sekian lama belajar dari berbagai ulama
terkemuka, kemudian beliau pergi menuju Gujarat untuk berdakwah dengan jalur
perdagangan. Melalui jaringan perdagangan itulah beliau bergumul dengan ulama
lainnya yang juga menyebarkan Islam di Jawa.
Kemudian beliau dakwah
bersama para ulama’ termasuk para putra-putri dan santrinya menuju tanah Jawa.
Mereka menggunakan tiga kendaraan laut, sekaligus terbagi dalam tiga kelompok
dakwah. Kelompok pertama dipimpin Syeikh Jumadil Kubro memasuki tanah Jawa
melalui Semarang dan singgah beberapa waktu di Demak. Selanjutnya perjalanan
menuju Majapahit dan berdiam di sebuah desa kecil bernama Trowulan yang berada
di dekat kerajaan Majapahit. Kemudian jamaah tersebut membangun sejumlah
padepokan untuk mendidik dan mengajarkan beragam ilmu kepada siapa saja
yang hendak mendalami ilmu keislaman.
Kelompok kedua,
terdapat cucunya yang bernama al-Imam Ja’far Ibrahim Ibn Barkat Zainal Abidin
dibantu saudaranya yakni Malik Ibrahim menuju kota Gresik. Dan kelompok ketiga adalah jamaah yang dipimpin
putranya yakni al-Imam al-Qutb Sayyid Ibrahim Asmoro Qondy menuju Tuban.
Namanya masyhur dengan sebutan “Pandhito Ratu” karena beliau memperoleh
Ilmu Kasyf (transparansi dan
keserba jelasan ilmu/ilmu yang sulit dipahami orang awam, beliau diberi
kelebihan memahaminya).
Perjalanan dakwah
Syeikh Jumadil Kubro berakhir di Trowulan, Mojokerto. Beliau wafat tahun 1376
M, 15 Muharram 797 H. diperkirakan hidup di antara dua Raja Majapahit (awal
Raja Tribhuwana Wijaya Tunggadewi dan pertengahan Prabu Hayam Wuruk). Bermula
dari usul yang diajukan Syeikh Jumadil Kubro kepada penguasa Islam di Turki
(Sultan Muhammad I) untuk menyebarkan Agama Islam si wilayah Kerajaan
Majapahit. Pada saat itu wilayah Majapahit sangat kuat pengaruh Agama Hindu di
samping keyakinan masyarakat pada arwah leluhur dan benda-benda suci.
Keberadaannya di tanah Majapahit hingga ajal menjelang menunjukkan perjuangan
Sayyid Jumadil Kubro untuk menegakkan Agama Islam melawan penguasa Majapahit
sangatlah besar.
Karena pengaruh beliau
dalam memberikan pencerahan bekehidupan yang berperadaban, Syeikh Jumadil Kubro
dikenal dekat dengan pejabat Kerajaan Majapahit. Cara dakwah yang pelan tapi
pasti, menjadikan beliau amat disegani. Tak heran, bila pemakaman beliau berada
di antara beberapa pejabat kerajaan di antaranya adalah makam Tumenggung Satim
Singgo Moyo, Kenconowungu, Anjasmoro, Sunana Ngudung (ayah Sunan Kudus), dan
beberapa patih dan senopati yang dimakamkan bersamanya.
Syekh Jumadil
Qubro bukan keturunan Jawa, melainkan berasal dari
Asia Tengah. lahir diSamarkand, Uzbekistan. Beliau masih kerabat dekat Laksamana Cheng Ho/Sayyid Muhammad Mahmud/Muhammad Sanbao/Laksamana Elang Perkasa.
Beliau mendirikan
padepokan untuk mengajarkan Agama Islam yang terkenal di trowulan atau pusat
kota kerajaan Brawijaya pada waktu itu.
Silsilah Syekh Jumadil
Qubro
Syekh Sayyid Mulana Ahmad Jumadil Qubra atau Jamaluddin Husain bin
Ahmad Jalaluddin bin Abdullah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih
bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi
bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin
Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin
Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti
Nabi Muhammad Rasulullah saw.
Makam dan petilasannya
terdapat di beberapa tempat yaitu di Trowulan, Semarang, atau di desa Turgo
(dekat Pelawangan), Yogyakarta, tegal.
Komplek Pemakaman Trowulan
Trowulan
adalah kawasan bekas ibukota Kerajaan Mojopahit terletak di pinggir jalur utama
Surabaya-Jawa Tengah lewat selatan, tepatnya terletak di antara
Mojokerto-Jombang. Dari Mojokero menuju Trowulan hanya berjarak 12
kilometer, dari Jombang jaraknya sekitar 20 kilometer, sedang dari Surabaya
sekitar 65 kilometer. Di Trowulan inilah dulu menjadi tempat tinggal Raja Hayam
Wuruk dan Mahapatih Gajahmada yang terkenal dalam memimpin dan memerintah
Mojopahit yang jaya. Dan di tempat inilah juga dulu Patih Gajahmada bersumpah
Amukti Palapa, sumpah legendaris yang mengantarkan Mojopahit menjadi penguasa
wilayah nusantara sampai ke Madagaskar.
Bekas ibukota Mojopahit
tersebut, masih dapat kita saksikan sisa-sisanya yang berupa situs-situs
purbakala yang tersebar di kawasan Trowulan dan sekitarnya. Baik berupa
bangunan candi, gapura, makam, prasasti, area, maupun benda-benda artefak
lainnya, serta yang in-situ (di lokasi asal) maupun yang telah dipindahkan ke
Museum Trowulan (exsitu) untuk berbagai alasan. Termasuk kompleks makam Syekh
Sayid Jumadil Kubro yang terdapat dalam Kompleks Makam Troloyo di Dusun
Sidodadi, Desa Sentonorejo, Trowulan, Mojokerto. Lokasi kompleks makam ini
berdekatan dengan Pendopo Agung Majapahit dan Pusat Informasi
Majapahit yang pembangunannya menuai kontroversi. Hal itu karena proses
pembangunannya diindikasikan merusak situs-situs peninggalan Majapahit yang
diyakini hingga kini masih terkubur di dalam tanah kawasan
Trowulan. Sekali dayung, maka semua tujuan napak tilas sejarah Majapahit
dapat terlampaui.
Masyarakat menyakini
kompleks makam itu sebagai makam Syekh Jumadil Kubro, Syekh Abdul Qodir Jailani
Sini, Syekh Maulana Sekah, dan Syekh Maulana Ibrahim. Selain itu, juga makam
Walisongo, makam Sunan Ngudung, makam Putri Kencono Wungu, dan Anjasmoro.
Selain itu, penziarah juga bisa ke
makam tujuh yang berisi tujuh buah makam. Para peziarah itu datang dari penjuru
kota, baik dari dalam dari luar Mojokerto, serta ada pula yang datang dari luar
Jawa. Peziarah datang ke makam teresbut dengan berbagai tujuan. Ada yang
datang, hanya ingin tahu keberadaan Makam Troloyo, ada pula yang datang untuk
memberikan doa kepada leluhur Walisongo dengan membacakan ayat-ayat suci Al
Quran. Tetapi ada juga pezirah yang datang untuk mendapat ilmu relijius dari
para leluhur yang berada di makam itu. Menurut Ahmad AHun petugas penjaga
makam, yang telah bertugas sejak 2007 mengatakan biasanya penziarah yang datang
dan ramai itu bila bertepatan dengan malam Jumat legi. “Pada saat Jumat Legi,
pengunjung yang datang bisa mencapai 4.000
hingga 5000 orang lebih, baik perorangan maupun rombongan,” terangnya.
Otomatis fasilitas
parkir kendaraan, baik kendaraan bis, mobil pribadi ataupun sepeda motor sangat
padat, sehingga para penziarah harus berjalan dengan jarak yang lumayan jauh.
Untuk menjaga
komplek makam, penjaga komplek makam terbagi dalam 2 shift, setiap shift ada 2
orang penjaga. Jadi total penjaganya ada 6 orang. Kami bertugas dari jam
07.00-19.00 wib, Haul Syech Jumadil Kubro adalah peringatan wafatnya Syech
Jumadil Kubro yang dilaksanakan setiap tahun Puncak kunjungan wisatawan terjadi
pada saat malam Jumat Legi dan setiap malam tanggal15 Suro (Muharram). Dalam
Haul Syech Jumadil Kubro, digelar serangkaian kegiatan keagamaan seperti
Khotmil Quran, Istighotsah, Pembacaan Tahlil serta pagelaran Seni Hadrah yang
diikuti oleh peziarah dari seluruh penjuru Jawa Timur.
Menjelajahi Komplek
Makam Kompleks makam Troloyo ada dua kelompok makam. Di bagian depan (tenggara)
dan di bagian belakang (barat laut). Makam di bagian depan di antaranya:
Kelompok makam petilasan Wali Songo. Kemudian di sebelah barat daya dikenali
dengan sebutan Syech Maulana Ibrahim, Syech Maulana Sekah dan Syech Abd, Kadir
Jailani. Ada pula Syech Jumadil Kubro. Sedang di utara Masjid terdapat makam
Syech Ngudung atau Sunan Ngudung. Kompleks makam di bagian belakang meliputi:
Bangunan cungkup dengan dua makam yaitu Raden Ayu Anjasmara/Kencanawungu,
kemudian terdapat pula kelompok makam yang disebut Makam Tujuh atau Kubur Pitu
yang dikenal sebagai Pangeran Noto Suryo, Patih Noto Kusumo, Gajah Permodo,
Naya Genggong, Sabdo Palon, Emban Kinasih dan Polo Putro.
Di bagian belakang
kompleks makam Tralaya masih terdapat kompleks makam Islam lainnya yang
terkenal dengan sebutan Kubur Pitu dan secara berturut-turut
berikut ini adalah nama-nama mereka yang dimakamkan di sana:
Makam yang dikenal dengan
nama Pangeran Noto Sunjo,
Makam yang dikenal dengan nama Patih Noto Kusumo,
Makam yang dikenal dengan sebutan Gajah Permodo
Makam yang dikenal dengan sebutan Naya Genggong,
Makam yang dikenal sebagai Sabdo Palon,
Makam yang dikenal dengan sebutan Emban Kinasih,
Makam yang dikenal dengan sebutan Polo Putro, nisannya polos tanpa hiasan.
Makam yang dikenal dengan nama Patih Noto Kusumo,
Makam yang dikenal dengan sebutan Gajah Permodo
Makam yang dikenal dengan sebutan Naya Genggong,
Makam yang dikenal sebagai Sabdo Palon,
Makam yang dikenal dengan sebutan Emban Kinasih,
Makam yang dikenal dengan sebutan Polo Putro, nisannya polos tanpa hiasan.
Ketujuh orang tersebut
merupakan para pejabat di istana kerajaan Majapahit yang menjabat sebagai
Patih, Senopati dan Abdi Dalam. Sebagian dari nisan-nisan pada Kubur Pitu
tersebut berbentuk Lengkung Kurawal yang tidak asing lagi bagi kesenian Hindu.
Melihat kombinasi bentuk dan pahatan yang terdapat pada batu-batu nisan yang
merupakan paduan antara unsur-unsur lama dan unsur-unsur pendatang (Islam),
nampaknya adanya akultrasi kebudayaan antara Hindu dan Islam.
Sementara itu, bila
diperhatikan masih adanya kekurangcermatan dalam penulisan kalimah-kalimah
thoyyibah, hal tersebut dapat diduga bahwa para pemahat batu nisan adalah masih
pemula dalam mengenal Islam. Demikianlah dapat kita saksikan betapa
toleransinya Majapahit terhadap agama Islam, terbukti dari banyaknya makam
Islam di desa Tralaya, yang masih termasuk dalam ibu kota kerajaan. Angka
tertua yang ada di batu nisan pitu adalah tahun 1369 (saat masa di bawah pemerintahan
Raja Hayam Wuruk).
Yang menarik pada
kuburan pitu adalah berada pada batu nisannya. Walau kuburan Islam, tetapi
bentuk batu nisannya masih seperti kurawal yang mengingatkan kala-makara,
dengan tulisan berangka tahun huruf Kawi, yang berarti bahwa di abad XIV Islam
adalah agama baru bagi Kerajaan Majapahit. Tetapi sebagai unsur kebudayaan,
telah diterima oleh masyarakat. Dapat diketahui, bahwa para pendatang dari
barat maupun orang-orang Tionghoa ternyata sebagian besar mereka beragama
Islam, dan terus berkembang hingga mencapai puncaknya pada abad XVI saat
kerajaan Demak.
3. Syekh Datuk Kahfi/Syeh Nur Jati
Syekh Datuk Kahfi memiliki
beberapa nama lain, seperti; a. Syekh Dzatul Kahfi. b. Syekh Datuk Khofid. c.
Syekh Idholfi. d. Syekh Nurul Jati/Syeh Nur Jati.
Syekh Datuk Kahfi/Syekh Muhamad
Kahfi/ Syeh Idholfi Mahdi adalah pendahulu Wali Songo di Tanah Caruban,
wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Cirebon, Jawa Barat. Syekh Datuk
Kahfi (dikenal juga dengan nama Syekh Idhofi atau Syekh Nurul Jati)
adalah tokoh penyebar Islam di wilayah yang sekarang dikenal dengan Cirebon dan
leluhur dari raja-raja Sumedang. Beliau pertama kali menyebarkan ajaran Islam di daerah
Amparan Jati. Syekh Datuk Kahfi merupakan buyut dari Pangeran Santri (Ki
Gedeng Sumedang), penguasa di Kerajaan Sumedang Larang, Jawa Barat, dan putera
dari Syekh Datuk Ahmad. Ia juga merupakan keturunan dari Amir Abdullah
Khan. Syekh Datuk Kahfi yang bernama asli Idholfi Mahdi berasal dari Malaka.
Beliau adalah putra dari Datuk Ahmad.
Syekh Nurjati dikenal sebagai tokoh
perintis dakwah Islam di wilayah Cirebon. Beliau menggunakan nama Syekh Nurjati
pada saat berdakwah di Giri Amparan Jati, yang lebih terkenal dengan nama
Gunung Jati, sebuah bukit kecil dari dua bukit, yang berjarak + 5
km sebelah utara Kota Cirebon, tepatnya di Desa Astana Kecamatan Gunung Jati
Kabupaten Cirebon.
Sebelumnya Syekh Nurjati dikenal
dengan nama Syekh Dzatul Kahfi atau Maulana Idhofi Mahdi. Secara kronologis
singkat, Syekh Nurjati lahir di Semenanjung Malaka. Setelah berusia dewasa muda
pergi ke Mekah untuk menuntut ilmu dan berhaji. Syekh Nurjati pergi ke Bagdad dan
menemukan jodohnya dengan Syarifah Halimah serta mempunyai putra- putri. Dari
Bagdad beliau pergi berdakwah sampai di Pesambangan, bagian dari Nagari
Singapura (sekarang Desa Mertasinga, Kabupaten Cirebon). Beliau wafat dan
dimakamkan di Giri Amparan Jati.
Cerita tentang Syekh Nurjati
dijumpai dalam naskah-naskah tradisi Cirebon yang merupakan bukti sekunder.
Naskah-naskah tersebut berbentuk prosa, diantaranya : Carita Purwaka
Caruban Nagari, Babad Tanah Sunda dan Sejarah Cirebon. Serta naskah yang
berbentuk tembang di antaranya Carub Kanda, Babad Cirebon, Babad Cerbon
terbitan S.Z. Hadisutjipto, Wawacan Sunan Gunung Jati, Naskah Mertasinga, Naskah
Kuningan dan Naskah Pulasaren. Dari sekian banyak naskah hanya naskah
Babad Cirebon terbitan Brandes saja yang tidak memuat tentang Syekh Nurjati.
Sedangkan naskah tertua yang menulis tentang Syekh Nurjati dibuat oleh
Arya Cerbon pada tahun 1706 M.
Nasab Syekh Datuk Kahfi
Idholfi Mahdi bin Datuk Ahmad bin
Maulana ‘Isa ‘Alawi bin Ahmad syah Jalaluddin bin Amir ‘Abdullah Khonnuddin bin
‘Abdul Malikal Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shohib Mirbath bin
Ali Kholi' Qosam bin Alwi Ats-Tsani bin Muhammad Shohibus Saumiah bin Alawi
(Alwi) Awwal bin Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Isa Ar-Rumi bin
Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uroidhi bin Ja’far Ash-Shoddiq bin Muhammad
Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain As-Sabith bin Sayyidina Ali
bin Abi Tholib + Sayyidah Fathimah Az-Zahro binti Nabi Muhammad saw.
Syekh Datuk
Kahfi adalah: Cucu keponakan dari Syekh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini (Sayyid
Husain Jamaluddin Al-Akbar Jumadil Kubro). Karena kakeknya, Syekh Maulana ‘Isa
‘Alawi adalah adik satu ayah (Syekh Ahmad syah
Jalaluddin) dengan Syekh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini. Sepupu dari Syekh
Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar), karena ayahnya Syekh Datuk Ahmad, adalah kakak
kandung dari ayah (Syekh Datuk Shalih) Syekh Abdul Jalil.
Syekh Nurjati Menuntut
Ilmu dan Pergi Haji ke Mekah
Sehubungan dengan
lamanya Syekh Nurjati bermukim di Mekah, maka sebagian naskah menyatakan bahwa
Syekh Nurjati berasal dari Mekah.
Syekh Nurjati Pergi ke
Bagdad dan Menemukan Jodohnya dengan Syarifah Halimah
Setelah menuntut ilmu
di Mekah, Syekh Nur Jati mencoba
mengamalkan ilmu yang diperoleh dengan mengajarkannya di wilayah Bagdad. Di
Bagdad Syekh Nurjati menikah dengan Syarifah Halimah, putri dari Ali Nurul
Alim. Ali Nurul Alim putra dari Jamaludin al Husain dari Kamboja, yang
merupakan putra dari Ahmad Shah Jalaludin, putra Amir Abdullah Khanudin. Jadi,
Syekh Nurjati menikah dengan saudara secicit.
Dari pernikahan
tersebut, mereka dikaruniai empat orang anak, yakni Syekh Abdurakhman (yang
kelak di Cirebon bergelar Pangeran Panjunan), Syekh Abdurakhim (kelak bergelar
Pangeran Kejaksan), Fatimah (yang bergelar Syarifah Bagdad), dan Syekh
Datul Khafid (kadang-kadang disebut juga sebagai Syekh Datul Kahfi, sehingga
membuat rancu dengan sosok ayahnya yaitu Syekh Datuk Kahfi, atau Syekh Nurjati
di beberapa manuskrip yang lebih muda umurnya, contohnya Babad Cirebon Keraton
Kasepuhan). Keempat anak tersebut dijamin nafkahnya oleh kakak Syarifah
Halimah, Syarif Sulaiman yang menjadi raja di Bagdad. Syarif Sulaiman menjadi
raja di Bagdad karena menikahi putri mahkota raja Bagdad.
Syekh Nurjati hidup pada abad pertengahan,
antara abad 14-15 dan pernah bermukim di Bagdad (sekarang Bagdad merupakan
ibukota Irak). Kondisi sosial ekonomi Bagdad pada rentang abad 14-15 sedang
mengalami keemasan. Para filosof muslim mencapai puncak kejayaannya pada masa
itu. Kondisi tersebut sangat memungkinkan ikut membentuk keluasan pikir Syekh
Nurjati. Hal ini membantu kelancaran dakwahnya.
Di Bagdad Syekh Nurjati hidup dan
berumah tangga dan dikaruniai empat orang putra-putri. Kemudian Syekh Nurjadi
diutus oleh Raja Bagdad untuk berdakwah di tanah Jawa serta menuruti suara hati
nuraninya. Seraya memohon petunjuk kepada Allah SWT, Syekh Nurjati bersama
istrinya, Syarifah Halimah pergi berkelana untuk berdakwah meninggalkan keempat
anaknya yang masih kecil-kecil. Dalam perjalanannya, sampailah Syekh Nurjati
di Pelabuhan Muara Jati dengan penguasa pelabuhan/ syahbandarnya bernama
Ki Gedeng Tapa/ Ki Ageng Jumajan Jati. Sesampainya mereka di Pelabuhan Muara
Jati, Syarifah Halimah berganti nama menjadi Nyi Ratna Jatiningsih/ Nyi Rara Api.
Syekh Nurjati Pergi
Berdakwah ke Pesambangan
Perkampungan yang dekat dengan
pelabuhan Muara Jati disebut Pesambangan. Diceritakan dalam Carita Purwaka
Caruban Nagari, dalam Sejarah Banten, juga dalam Naskah Mertasinga, bahwa Syekh
Nurjati/Syekh Idofi Mahdi/ Syekh Datuk Kahfi, mendarat di Muara Jati
setelah pendaratan Syekh Quro dan rombongan. Syekh Nurjati bersama
rombongan dari Bagdad sebanyak sepuluh orang pria dan dua orang perempuan tiba
di Muara Jati. Rombongan ini diterima oleh Penguasa Pelabuhan Muara Jati, Ki
Gedeng Tapa/Ki Mangkubumi Jumajan Jati sekitar tahun 1420 M. Syekh Nurjati
mendapatkan ijin dari Ki Gedeng Tapa untuk bermukim di daerah Pesambangan, di
sebuah bukit kecil yang bernama Giri Amparan Jati.
Di tempat baru
tersebut, Syekh Nur Jati giat berdakwah
sebagai dai’ mengajak masyarakat untuk mengenal dan memeluk agama
Islam. Setelah mendengar tentang agama baru itu, orang-orang
berdatangan dan menyatakan diri masuk Islam dengan tulus ikhlas. Semakin hari semakin
banyak orang yang menjadi pengikut Syekh Nurjati.
Dalam interaksinya dengan
masyarakat sekitar, akhirnya Syekh Nur Jati menikah dengan Hadijah. Hadijah
adalah cucu Haji Purwa Galuh (Raden Bratalegawa, orang pertama yang pergi
berhaji dari Jawa Barat, yang saat itu masih bernama Kerajaan Galuh),
janda dari seorang saudagar kaya raya yang berasal dari Hadramaut. Dengan
pria tersebut Hadijah tidak dikaruniai putra, namun setelah pria tersebut
meninggal dunia, Hadijah memperoleh seluruh harta warisan dari suaminya.
Setelah suaminya meninggal dunia, Hadijah bersama kedua orang tuanya pulang ke
Kerajaan Galuh dan menetap di Dukuh Pesambangan. Harta warisan tersebut
digunakan Hadijah bersama suami barunya, yaitu Syekh Nurjati untuk membangun
sebuah pondok pesantren yang bernama Pesambangan Jati.
Pernikahan Syekh Nurjati dengan
Hadijah dikaruniai seorang putri yang bernama Nyi Ageng Muara, yang
kelak menikah dengan Ki Gede Krangkeng. Krangkeng sekarang merupakan nama
sebuah kecamatan di Kabupaten Indramayu.
Pondok Pesantren Pesambangan Jati
adalah pondok pesantran tertua di wilayah Cirebon (saat itu masih bernama
Nagari Singapura) dan pondok pesantren tertua kedua se-Jawa Barat (saat
itu masih bernama Kerajaan Galuh), setelah Pondok Pesantren Quro di
Karawang, yang didirikan oleh Syekh Quro (Syekh Hasanudin/ Syekh
Mursahadatillah). Syekh Quro adalah saudara sepupu Syarifah Halimah. Syekh Quro
adalah putra dari Dyah Kirana dengan Syekh Yusuf Sidik (Wali
Malaka). Sedangkan Dyah Kirana adalah putri Imam Jamaludin al Husain dari Kamboja
(kakek Syarifah Halimah).
Syekh Nurjati di Tempat Kelahiran, Malaka
Pertengahan Abad ke-14
Syekh Nurjati ketika lahir
dikenal dengan nama Syekh Datuk Kahfi, putra dari Syekh Datuk Ahmad, seorang
ulama besar. Syekh Datuk Ahmad putra dari Maulana Isa, yang juga seorang tokoh
agama yang berpengaruh pada zamannya. Syekh Datuk Ahmad mempunyai adik yang
bernama Syekh Datuk Sholeh, ayahanda dari Syekh Siti Jenar (Abdul Jalil). Jadi
Syekh Datul Kahfi adalah saudara sepupu dari Syekh Siti Jenar. Maulana Isa
adalah putra dari Abdul Kadir Kaelani. Abdul Kadir Kaelani adalah putra dari
Amir Abdullah Khanudin, keturunan Nabi Muhammad SAW generasi ke tujuh
belas dari jalur Zaenal Abidin.
Syekh Datuk Kahfi memiliki dua
orang adik, yaitu Syekh Bayanullah yang mempunyai pondok di Mekah, yang
kemudian mengikuti jejak kakaknya berdakwah di wilayah
Cirebon; serta seorang adik wanita yang menikah dengan Raja Upih Malaka. Buah dari perkawinan tersebut lahirlah seorang putri yang kelak
menikah dengan Dipati Unus dari Demak.
Keterkaitan Syekh Quro
dengan Syekh Nurjati dan Perkembangan Dakwah di Giri Amparan Jati
Syekh Quro merupakan
utusan Raja Campa. Secara geneologis, Syekh Quro dan Syekh Nurjati adalah
sama-sama saudara seketurunan dari Amir Abdullah Khanudin generasi keempat.
Syekh Quro datang terlebih dahulu ke Amparan bersama rombongan dari angkatan
laut Cina dari Dinasti Ming yang ketiga dengan Kaisarnya, Yung Lo (Kaisar
Cheng-tu). Armada angkatan laut tersebut dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho
alias Sam Po Tay Kam. Mereka mendarat di Muara Jati pada tahun
1416 M. Mereka semua telah masuk Islam. Armada tersebut hendak
melakukan perjalanan melawat ke Majapahit dalam rangka menjalin persahabatan.
Ketika armada tersebut sampai di Pura Karawang, Syekh Quro (Syekh Hasanudin)
beserta pengiringnya turun. Syekh Quro pada akhirnya tinggal dan menyebarkan
ajaran agama Islam di Karawang. Kedua tokoh ini dipandang sebagai
tokoh yang mengajarkan Islam secara formal yang pertama kali di Jawa Barat.
Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di Cirebon.
Gerakan dakwah mereka
berdua dapat terjalin secara harmonis dan berjalan saling bantu membantu. Syekh
Quro mengirimkan orang kepercayaannya yang bergelar Penghulu Karawang, ke Dukuh
Pesambangan, terbukti dengan adanya nisan makam Penghulu Karawang di
Amparan Jati.
Keharmonisan
dakwah antara Cirebon dan Karawang berlanjut dengan :
1. Cucu Syekh Ahmad dari
Nyi Mas Kedaton, bernama Musanudin. Kelak Musanudin menjadi lebai di
Cirebon, memimpin Masjid Agung Sang Cipta Rasa pada masa pemerintahan Susuhunan
Jati (Sunan Gunung Jati). Sedang Syekh Ahmad merupakan anak dari Syekh Quro
dengan Ratna Sondari, putri Ki Gedeng Karawang.
2. Puteri Karawang
memberikan sumbangan hartanya untuk mendirikan sebuah masjid di Gunung Sembung
(Nur Giri Cipta Rengga) yang bernama Masjid Dog Jumeneng/ Masjid Sang Saka
Ratu, yang sampai sekarang masih digunakan dan terawat baik.
3. Pengangkatan
juru kunci di situs makam Syekh Quro dikuatkan oleh pihak Keraton Kanoman
Cirebon.
Diceritakan pada suatu
waktu, Raden Pamanah Rasa (kelak menjadi Sri Baduga Maharaja, Raja Pajajaran,
yang terkenal dengan sebutan Prabu Siliwangi
nama lainnya Sri Baduga Maharaja Ratu Haji Prabu Jaya Dewata - Siliwangi III,) mengadakan perjalanan ke Pondok Pesantren Quro, Pulo Klapa, Telagasari,
Karawang, yang dipimpin oleh Syekh Quro (Syekh Mursahadatillah). Dalam
pelawatan tersebut Raden Pamanah Rasa jatuh cinta kepada Puteri Subang
Keranjang (Subang Larang), santriwati pesantren Syekh Quro, putri Ki Gedeng Tapa
dari Singapura. Singapura adalah sebuah negara bagian dari Kerajaan Galuh yang
dipimpin oleh Prabu Niskala Wastu Kancana. Raden Pamanah Rasa melamar sang
puteri dan puteri Subang Karancang bersedia dinikahi dengan syarat Raden
Pamanah Rasa masuk Islam dan diperkenankan mendidik keturunannya dengan ajaran
Islam.
Dari perkawinan Raden
Pamanah Rasa dengan Puteri Subang Keranjang lahirlah tiga orang putra yaitu
Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Mas Rarasantang, dan Pangeran Raja
Sengara/ Kean Santang.
Pangeran Walang Sungsang dan Nyi Mas
Ratu Rarasantang Datang ke Amparan Jati
Di kampung Pesambangan,
Syekh Nur Jati melakukan dakwah
Islam. Karena menggunakan cara yang bijaksana dan penuh khidmat dalam
mengajarkan agama Islam, maka dalam waktu relatif singkat pengikutnya semakin
banyak, hingga akhirnya pengguron kedatangan Pangeran
Walangsungsang beserta istrinya Nyi Indang Geulis/ Endang Ayu dan adiknya, Nyi
Mas Ratu Rarasantang yang bermaksud ingin mempelajari agama Islam.
Mereka adalah cucu
dari syah bandar pelabuhan Muara Jati dari jalur ibunya.
Kedatangan mereka ke Gunung Jati di samping melaksanakan perintah ibundanya
sebelum meninggal, juga bermaksud sungkem kepada eyangnya Ki Gedeng Tapa.
Kepergian mereka ke Pangguron Gunung Jati tanpa seizin ayah mereka, Prabu Siliwangi. Karena Prabu Siliwangi kembali memeluk agama Budha setelah Nyi Subang
Larang meninggal dunia. Tetapi kedua putra-putrinya itu sudah dididik dan
diberi petunjuk oleh almarhum ibunya agar memperdalam agama Islam di Pangguron
Gunung Jati. Akhirnya mereka pun menuntut ilmu dan memperdalam agama Islam,
menjadi santri Syekh Nurjati di Pesambangan Jati. Pada saat mereka bertiga
diterima menjadi santri baru, Syekh Nurjati berdoa, “Wahai Tuhan kami,
jadikanlah kami orang-orang yang menghidupkan agama Islam mulai hari ini hingga
hari kemudian dengan selamat. Amin.”
Di antara
murid-muridnya, murid yang tercatat sangat cerdas adalah Pangeran
Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang. Walaupun keduanya telah
menjadi muslim sejak kecil, dan belajar ke Syekh Quro, tetapi ketika
datang ke pesantren Syekh Nurjati keduanya dan Nyi Indang Geulis (istri
Pangeran Walangsungsang), tetap diminta kembali mengucapkan kedua
kalimah syahadat. Syekh Nurjati memberi pelajaran kepada mereka mulai dari
yang sangat dasar (rukun Islam), tentang pelajaran tauhid sebagai dasar pondasi
keimanan. Mengapa Syekh Nurjati melakukan metode pengajaran seperti kepada
orang yang baru mengenal ajaran dasar Islam? Menururt Besta Basuki Kertawibawa,
kemungkinan ada keraguan pada Syekh Nurjati terhadap kadar keimanan dan
pengetahuan ketiganya tentang agama Islam. Hal ini dikarenakan Pangeran
Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rara Santang adalah putra-putri dari Raja
Pajajaran yang beragama Hindu-Budha. Selain itu, pengalaman mereka tentang
agama Islam masih dalam tahapan pemula.
Dalam naskan lainnya
diterangkan, Syekh Nurjati mengajarkan membaca syahadat dengan
arti dan maksud secara mendalam. Selain itu ada sebuah pesan yang berbunyi:
“Apabila engkau
berhajat akan menghadapi seorang kikir, atau orang yang congkak, atau orang
yang mempunyai utang yang dikhawatirkan akan berbuat jahat, bacalah sebuah doa
yang artinya:
Wahai Tuhan, Engkau
yang Maha Mulia dan Maha Besar dan saya adalah hamba-Mu yang rendah dan lemah
yang tidak berkekuatan apa-apa melainkan dengan pertolongan-Mu. Wahai Tuhan
tundukkanlah kepada saya (si fulan) seperti engkau menundukkan Firaun terhadap
Nabi Musa as. Lunakkanlah hatinya seperti engkau telah melunakkan besi terhadap
Nabi Daud as. Sesungguhnya tidak akan terjadi sesuatu melainkan dengan
seizin-Mu. Nyawanya ada dalam genggaman-Mu. Syekh Nurjati memberi wejangan
tentang agama Islam yang diawali oleh firman Allah yang
berbunyi: Yaa ayyuhalladzina aamanu udkhulu fissilmi kaffah (hai
orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam agama Islam secara keseluruhan).
Kemudian, ia menjelaskan kandungan pokok ajaran Islam,
yakni salat lima waktu, zakat, shaum (puasa), ibadah
haji, umrah, perang sabil, ajakan ke arah kebajikan, serta menolak
kemunkaran. Selain itu, ia memberikan berbagai macam ilmu, antara lain,
ilmu ushuluddin (pokok-pokok agama), ilmu fiqih (aturan
hukum keagamaan), dan ilmu tasawuf (penyucian diri)”.
Ajaran Perang Sabil
dari Syekh Nurjati, dilaksanakan oleh Pangeran Walangsungsang dalam banyak
pertempuran sampai tahun terakhir menjelang kewafatannya.
Wejangan lain Syekh
Nurjati adalah tentang agama Islam dan makna yang terkandung dalam azimat yang
telah diperoleh Walangsungsang. Ringkasan ceritanya sebagai
berikut:
Setelah ajaran tentang keimanan
diberikan, maka pelajaran secara bertahap terus diberikan. Misalnya
pelajaran ilmu fikih sebagai sarana untuk melaksanakan syariat agama Islam.
Pelajaran ini mesih dalam taraf yang mendasar sebelum ajaran tentang tarikat,
hakikat, dan makrifat. Syekh Nurjati adalah seorang ulama yang menganut
mazhab fikiih Imam Syafi’i ( Mazhab Syafi’i). Menurut Rama Guru Pangeran
Nurbuat, tarekat Syattariah masuk ke wilayah Cirebon dibawa oleh Syekh
Nurjati.
Dari pertemuan dengan
Syekh Nurjati, Pangeran Walang sungsang, istri, dan adiknya mendapat anugrah ilmu yang sangat tinggi. Nama
Gunung Jati muncul karena cerita pertemuan Walang sungsang dengan Syekh Nurjati di Gunung Jati. Di hadapan Syekh Nurjati,
Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Rarasantang, dan Indang Ayu dengan khusuk
menekuni wejangan-wejangan yang diterimanya, yakni tentang dua kalimah
syahadat, salawat dan dzikir, zakat
fitrah dan munggah (ibadah) haji, puasa dibulan
Ramadhan, salat lima waktu, dan membaca al Qur’an, kitab
fikih dan tasawuf. Inilah di antara ajaran yang diterima
dari Syekh Nurjati.
Sebelum menjadi santri
Syekh Nurjati, Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Rarasantang, adiknya,
serta Nyi Indang Geulis (istrinya) telah terlebih dahulu berguru kepada
para pendeta Budha di beberapa tempat, yang berarti mempelajari ilmu-ilmu di
luar ilmu-ilmu Islam.
Setelah tiga tahun
menuntut ilmu, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah oleh Syekh
Nurjati. Pada saat memberikan nama Somadullah, Syekh Nurjati memberi nasehat
berupa reinterpretasi ajaran-ajaran non-Islam dari para guru Pangeran
Walangsungsang sebelumnya, menurut sudut pandang Islam. Hal ini terungkap pada
saat Syekh Nurjati memberikan wejangan kepada ketiga orang tersebut, yaitu
sebagai berikut :
“Hai Somadullah,
sesungguhnya engkau memperoleh rahmat Islam itu memang sudah kepastian sejak
zaman azali, dan engkau disuruh datang ke Gunung Merapi dan bertemu dengan Sang
Hyang Danuwarsih itu mengandung hikmat yang penting ialah bahwa engkau akan
bertemu dengan alim ulama yang menjadi warisan ambiya.
Dalam pertemuan dengan Sang Hyang Danuwarsih, engkau berhasil menerima pusaka
berupa Cincin Ampal yang kepentingannya ialah untuk mengetahui
perkara gaib dan dapat digunakan untuk “merawat” sesuatu dengan keadaan
selamat. Nama ampal itu diambil dari perkataan fa’ti
bi maa anfaan naasa, artinya : usahakanlah apa yang sekiranya membawa
manfaat bagi manusia. Dan engkau menerima Baju Kamemayan yang
antara lain kepentingannya ialah agar engkau disegani dan disayang oleh segenap
makhluk. Itu memang betul karena pada baju tersebut ada tulisan yang artinya
begini, ‘barang-siapa yang takut kepada Allah, Allah akan memberinya jalan
keluar dari kesempitan hidupnya dan memberi rejeki dengan tak diduga-duga dan
tanpa susah payah. Kalau engkau ingin jangan dibenci orang, pegang teguhlah
ayat tersebut untuk pedoman dalam langkah hidupmu, dan engkau menerima
lagi Baju Pengabaran yang antara lain kepentingannya engkau
tidak mempunyai rasa takut menghadapi musuh yang bagaimanapun banyaknya,
karena pada baju tersebut ada tulisan yang artinya : “Dan berbaktilah kepada
Tuhanmu hingga saat ajalmu datang”. Sedangkan, orang yang berpegang pada ayat
tersebut dengan keyakinan yang teguh, ia akan mempunyai keteguhan hati dalam
menghadapi musuh yang bagaimana pun. Lalu engkau menerima pula Baju
Pengasihan yang gunanya agar semua mahluk, baik jin maupun setan
siluman apa saja tunduk kepadamu. Itu betul, jika engkau ingin ditakuti oleh
semua mahluk, amalkanlah ayat tersebut.
Selain dari Sang Hyang
Danuwarsih, engkau mendapat pula beberapa pusaka dari Sang Hyang Naga berupa
azimat Ilmu Kadewa. Namanya itu diambil dari perkataan Dawaa
ud diini, artinya, obatnya agama ; dalam hal ini dimaksud bahwa orang yang
beragama itu harus berilmu. Ada syair Arab yang artinya, “ Barang-siapa yang
berbuat sesuatu tidak didasarkan ilmu, amal perbuatannya itu tidak akan
diterima oleh Allah”. Sedikit keterangan bahwa orang yang memegang agama
itu sama dengan orang yang memegang negara. Apabila ia dapat memegang agama, ia
akan dapat memegang negara, tetapi tidak sebaliknya orang yang dapat memegang
negara, belum tentu ia akan dapat memegang agama.
Selanjutnya Syekh
Nurjati berkata kepada Somadullah, “Engkau menerima pula dari Sang Hyang Naga
berupa Ilmu Kapilisan, yang diambil dari perkataan falaysa lil
insaani nisyaanudz dzikri, yang artinya tidak patut bagi seorang manusia
melupakan dzikir kepada Allah SWT Makna lebih lanjut dari Ilmu Kapilisan
adalah kirang mimang ing batuk ingsun sari sedana ing lambe ingsun amanat
pengucapan ingsun iku wong sekabeh tua gede cilik pada welas pada asih kabeh
maring ingsun kelawan berkahe kalimat llaa ilaha illallahu muhammadur
rosulullahi. Doa ini hendaknya dibaca dengan tekad yang bulat turut pada
ketika membaca kalimat toyyibah, hendaknya seluruh jiwa raga dihadapkan
kepada Allah dan setelah doa itu selesai dibaca lalu diusapkan ke dahi.
Selain itu, engkau diberi juga Ilmu Keteguhan, diambil dari
perkataan falainsa lil gonisi bakhilun, artinya tidak patut pagi
seorang kaya untuk berlaku kikir. Lalu, engkau diberi pula golok
cabang yang ia dapat berbicara dan dapat terbang. Dapat mengalahkan
kekuatan singa, dapat menghancurkan gunung yang gagah perkasa, dan dapat pula
mengeringkan air laut yang sedang meluap-luap. Nama golok cabang itu
berasal dari perkataan khuliqo lisab’ati asyyaa-a”, artinya dijadikan
untuk tujuh perkara. Maksudnya jika engkau menghendaki mendapatkan apa
yang engkau kehendaki, engkau harus menghadapi ketetapan anggota badan yang
tujuh, ialah anggota sujud. Jelasnya, jika engkau ingin mencapai
segala sesuatu, hendaknya engkau tunduk sujud kepada Allah.
Selanjutnya engkau
sampai di Gunung Kumbang dan bertemu dengan Sang Hyang Naga, kemudian engkau
diberinya macam-macam azimat .....diikuti tutur katanya. Kemudian engkau diberi
azimat Ilmu Kesakten guna keselamatan agar tutur katamu
dituruti. Kemudian engkau diberinya lagi azimat Limunan untuk
dapat bersembunyi di dalam terang, artinya jangan mempunyai perasaan benar
sendiri. Kemudian engkau diberi azimat yang diberi mana Aji Titi Murti,
berasal dari kata fa’ti bi maa umirta; kerjakanlah olehmu segala
perintah yang baik-baik, agar dapat mengusahakan segala sesuatu yang
rumit-rumit dan sesuatu yang sukar-sukar menjadi mudah. Kemudian, engkau diberi
lagi azimat Aji Dwipa guna mengetahui dan memahami segala pembicaraan, seperti
gunanya topong itu dipakai, maka engkau tidak akan dilihat manusia lagi.
Kemudian engkau menerima pula Baju Pusaka Waring yang dapat
digunakan untuk terbang, dan engkau menerima pusaka berupa Umbul-umbul
Waring yang antara lain kepentingannya agar selamat rahayu dari
senjata musuh dan dapat melemahkan tenaga-tenaga musuh. Artinya, bila tidak
ingin kelihatan segala rahasia dan keburukan oleh orang lain harus mengikuti
ucapan :ud’u lillahi ala jami’annasi bittaqwa; ajaklah semua manusia
untuk melakukan taqwa kepada Allah. Baju Pusaka Waring bertuliskan qolbul
khosi’i mabruuurun; artinya hati seorang yang khusyu’ dapat diterima oleh
Tuhan. Umbul-umbul Waring memiliki tulisan : ‘Hai manusia,
carilah harta benda dengan cara yang sebaik-baiknya, jangan asal memperoleh
saja. Azimat Panjang dari Ratu Bangau artinya dalam
menyebarkan agama Islam akan dibantu oleh para wali; Pendil petunjuk
kearah agama yang hak danBareng artinya dalam segala aktivitas
harus mengikuti tiga perkara : syariat, tarekat, dan makrifat .”
Syekh
Nurjati bukan saja memberi bekal kehidupan dan hidup sesudah mati pada Pangeran
Walangsungsang, adik dan istrinya, tetapi ia mampu mengubah
kepribadian sang anak raja tersebut menjadi seorang pahlawan yang tidak hanya
suka hidup dalam kemewahan sebagai putra raja, tetapi menjadi sosok pribadi
pejuang yang saleh dan tangguh. Syekh Nurjati merasa Pangeran Walasungsang
bersama adiknya Nyi Mas Ratu Rarasantang dan istrinya, Nyi Indang Geulis, telah
berguru di pengguron Islam Gunung Jati telah memiliki
keteguhan iman. Setelah memberi nasehat, Syekh Nurjati memerintahkan
Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Rarasantang dan Nyi Endang Ayu
untuk membuka perkampungan baru di selatan Gunung Jati untuk
penyiaran agama Islam.
Syekh Nurjati
Memerintahkan Pangeran Walangsungsang Membuka Perkampungan
Setelah menerima
wejangan dari Syekh Nurjati dan seizin kakeknya (Ki Gedeng Tapa), Somadullah
memilih kawasan hutan di kebon pesisir, di sebelah selatan Gunung Jati, yang
disebut Tegal Alang-alang atau Lemah Wungkuk. Di kawasan tersebut ternyata
telah bermukim Ki Danusela, adik Ki Danuwarsih (mertua Somadullah).
Setibanya di
tempat yang dituju, mereka bertemu dengan seorang lelaki tua bernama Ki
Pengalangalang dan mengucapkan kalimat: Lamma waqo’tu; ketika saya
telah tiba. Ucapan Pangeran Walangsungsang tersebut kemudian menjadi nama Lemah
Wungkuk. Ki Pengalangalang menyambut mereka dan mengakui ketiga orang
yang datang tersebut anaknya.
Keesokan harinya, setelah salat Subuh, Pangeran Walangsungsang alias Somadullah
mulai bekerja membabat hutan hingga ke pedalaman yang dipenuhi binatang buas.
Untuk memperoleh keselamatan, Somadullah mengucapkan kalimat: fa
anjayna; artinya, aku telah selamat. Karena itu, tempat yang dibabatnya
kemudian bernama Panjunan asal kata dari fa-anjayna. Demikian pula
tempat-tempat lain dinamai berdasarkan hal-hal yang dialami oleh Pangeran
Walangsungsang; antara lain, pekerjaan membabat hutan diteruskan hingga ke
tempat yang tidak diketahui lagi. Setelah berdoa kemudian tampak ada jalan, ia
berucap: fasyamula; artinya, maka mengetahuilah. Dari ucapan ini
lahirlah tempat yang bernama Pasayangan; ketika di suatu tempat ia berfikir
kemudian mengucapkan; fakkarnaa; artinya, aku berpikir, tempatnya
disebut Pekarungan yang berasal dari kata fakkarnaa. Ketika tiba di
suatu tempat yang menyenangkan, ia berucap fa amma sirri jamarin
samarin, sesungguhnya perasaanku merasa senang karenanya tempat tersebut
dinamakan Gunung Sari dan Dukuh Semar. Di suatu tempat yang apabila sudah
menjadi perkampungan mudah memperoleh rizki, ia mengucapkan doa farjanaa,
artinya, Ya Allah berilah rizki pada hamba, sehingga tempat tersebut dinamakan
Parujakan. Di suatu tempat ketika ia tidak ingat apa-apa, ia berucap: fakholanaa,
artinya, aku lupa, tempat tersebut kemudian disebut Pekalangan. Ketika ia
mendapat petunjuk, ia berucap: fahandaasna (faha-dayna),
aku mendapat petunjuk, menjadi tempat bernama Pandesan. Ketika di suatu tempat
ia merasa senang, ia berucap: rokibuna rumata illaihi farihin, yang
kemudian menjadi tempat bernama Kebon Pring. Ketika ia melihat dua tanda dari
dua Kanoman dan Kasepuhan, ia berucap: farutu aajataini, artinya
aku melihat dua tanda sehingga tempatnya tersebut Anjatan. Ketika di suatu
tempat ia melihat ada musuh di depannya, ia berkata:falaa sasaraynaa;
artinya, aku tidak terus berjalan sehingga tempat tersebut dinamakan Pulasaren
dan di dekatnya dinamakan Jagasatru, musuh yang berjaga-jaga.
Pada tanggal 14 bagian
terang bulan Carita tahun 1367 Saka atau Kamis tanggal 8 April tahun 1445
Masehi, bertepatan dengan masuknya penanggalan 1 Muharam 848 Hijriyah, Pangeran
Walangsungsang alias Somadullah dibantu 52 orang penduduk, membuka perkampungan
baru di hutan pantai kebon pesisir.
Dengan semangat tinggi
dan ketekunannya, Pangeran Walasungsang dapat menyelesaikan pekerjaannya.
Setelah selesai pembuatan pendukuhan yang semula Tegal Alang-Alang atau
Kebon Pesisir diberi nama Caruban
Larang dengan kuwu pertama adalah Ki Danusela. Sedangkan Ki Somadullah menjadipangraksabumi yang
bertugas memelihara tanah pemukiman dengan julukan Ki Cakrabumi.
Somadullah/ Ki Cakrabumi adalah pada siang hari bekerja membabat hutan dan pada
malam hari bekerja mencari ikan di tepi laut, sementara istri dan adiknya
bekerja menumbuk rebon (udang kecil) untuk dibuat terasi. Perkampungan yang
dibangun Somadullah berkembang menjadi perkampungan besar yang disebut Grage,
yang berarti negara gede.
Perkampungan Somadullah dan usahanya membuat terasi diketahui oleh Raja Galuh.
Ia mengutus patihnya untuk menyelidiki perkampungan di pesisir pantai yang ada
di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh. Apabila rakyatnya telah mencapi 69 orang,
perkampungan tersebut telah menjadi sebuah desa dan diharuskan membayar pajak
setiap tahun serta mempersembahkan tumbukan rebon halus sewakul (sekitar
45 kilogram). Dalam pertemuan antara utusan Raja Galuh dan Somadullah
dibicarakan status perkampungan baru yang ternyata telah dihuni oleh 70 orang
penduduk sehingga perlu dibentuk satu desa di bawah pimpinan seorangkuwu (kepala
desa). Desa tersebut kemudian dipimpin oleh Ki Pangalangalang sebagai kuwu
karena Cakrabumi tidak bersedia menjadi kuwu. Selesai upacara pengukuhan kuwu,
diadakan perjamuan. Rombongan Kerajaan Galuh menikmati garagal (tumbukan)
rebon beserta air rebon. Utusan kerajaan Galuh sangat menikmati air rebon yang
dalam bahasa sunda disebut Cairebon, dari kata cai dan rebon.
Ketika Ki Pangalangalang meninggal, ia diperlakukan secara Islam oleh Ki Cakrabumi.
Perlakuan jenazah secara Islam ini merupakan awal dari penyebaran ajaran Islam
kepada penduduk Cirebon. Sejak itu, setiap malam diadakan pengajian oleh Ki
Cakrabumi. Sepeninggal Ki Pangalangalang, datanglah utusan karajaan Galuh untuk
mengganti kedudukan Ki Pangalangalang sebagai kuwu Cirebon. Melalui
kesepakatan, akhirnya Ki Cakrabumi terpilih sebagai Kuwu Cirebon menggantikan
Ki Pangalangalang dan mendapat gelar Cakrabuana memerintah 457 orang penduduk
desa Cirebon.
Pangeran Walangsungsang ketika membuka pedukuhan juga mendirikan sebuah masjid
yang diberi nama Masjid Pejelagrahan (asal kata dari jala-graha yang
artinya rumah di atas laut). Sekarang letak masjid tersebut sekarang berada
tepat di sebelah luar dinding Keraton Kasepuhan, di Kelurahan Kasepuhan, Kota
Cirebon.
Seusai membangun
pedukuhan, Syekh Nurjati menemui Pangeran Walangsungsang di Kebon Pesisir,
kemudian menyarankan Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang untuk
pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan disarankan terlebih dahulu
menemui Syekh Ibrahim di Campa. Keduanya menuruti nasehat Syekh Nurjati dan
berhasil menemui Syekh Ibrahim di Campa.
Di Campa Pangeran
Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang menerima wejangan dari Syekh
Ibrahim, selanjutnya Syekh Ibrohim menyuruh keduanya untuk melanjutkan
perjalanan ke Mekah. Selama di Mekah, keduanya tinggal di pondok Syekh
Bayanullah, adik Syekh Nurjati dan berguru kepada Syekh Abuyazid.
Setelah berhaji, Nyi
Mas Ratu Rarasantang bergelar Nyi Haji Syarifah Mudaim dan Pangeran
Walangsungsang bergelar Haji Abdullah Iman. Akhirnya Nyi Mas Ratu Rarasantang
dipersunting oleh Raja Mesir, Maulana Sultan Mahmud/Syarif Abdullah.
Tak lama kemudian,
pernikahan antara Syarifah Mudaim dan Syarif Abdullah dilangsungkan di kerajaan
Bani Israil yang disaksikan oleh Haji Abdullah Iman dan alim-ulama beserta
pembesar kerajaan. Syarifah Mudaim berharap dapat melahirkan anak yang bisa
mengislamkan tanah Jawa. Hasil pernikahan Nyi Rara Santang ini lahirlah Syarif
Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Syarif Nurullah meneruskan memimpin kerajaan
ayahandanya, sementara Syarif Hidayatullah berniat mensyiarkan Islam di tanah
Jawa.
Syekh Bayanullah (Adik
Syekh Nurjati) Mendirikan Pondok Pesantren Quro di Kuningan
Syekh Bayanullah tiba
di Cirebon bersama Syekh Bentong (putra Syekh Quro Karawang) setelah menunaikan
ibadah haji. Syekh Bayanullah mendirikan Pondok Pesantren Quro di Desa
Sidapurna, Kuningan, setelah menikah dengan Nyi Wandasari, putri
Surayana, penguasa Sidapurna. Surayana adalah putra Prabu Niskala Watu Kancana
dari istri ketiganya. Dari perkawinan itu lahirlah Maulana Arifin. Maulana
Arifin kelak berjodoh dengan Ratu Selawati, Penguasa Kuningan. Ratu Selawati
adalah adik Jayaraksa (Ki Gedeng Luragung) serta kakak Bratawijaya (Arya Kemuning). Mereka adalah cucu Sri Baduga Maharaja yang
kelak di-Islamkan oleh uwaknya Pangeran Walangsungsang.
Kedatangan Pangeran Panjunan
Bagian
ini diselingi oleh cerita Sultan Sulaeman di Negeri Bagdad yang dilanda
kegundahan karena anaknya yang bernama Syarif Abdurrahman dan adik-adiknya,
Syarif Abdurrakhim, Syarifah Bagdad dan Syarif Khafid mempelajari Ilmu Tasawuf
yang tidak disukai oleh Sultan Sulaeman dan suka bermain rebana, yang
kelak menjadi cikal bakal kesenian Brai di Cirebon. Akhirnya, Syarif
Abdurrahman diusir dari kerajaan. Syarif Abdurrahman mengadukan pengusiran
ayahnya kepada gurunya, Syekh Juned. Menurut Syekh Juned,
tidak ada tempat lain yang harus dituju kecuali Cirebon, tempat yang tentram
dan di masa yang akan datang akan diduduki oleh para wali.
Sementara itu Haji Abdullah Iman
(walang sungsang) berniat kembali ke tanah Jawa. Dalam perjalanan
kembali ke tanah Jawa, ia mengunjungi Syekh Ibrahim Akbar di Campa dan
dijodohkan dengan putrinya dan di bawa pulang ke Cirebon. Kelak
keduanya dikaruniai tujuh orang putri yang setelah dewasa bermukim di beberapa
tempat menjadi sesepuh desa.
Haji Abdullah Iman
membangun sebuah keraton di Cirebon yang diberi nama Keraton Pakungwati
yang diambil dari nama anaknya yang baru lahir buah perkawinannya dengan Nyi
Indang Geulis. Setelah pembangunan keraton selesai, Haji Abdullah Iman diangkat
oleh ayahnya, Prabu Siliwangi, menjadi Ratu Sri Mangana dan diberi payung
kebesaran.
Syarif Abdurrakhman
yang diusir ayahnya dari Bagdad melakukan perjalanan menuju Cirebon sesuai
dengan saran gurunya, Syekh Juned. Ia ditemani oleh tiga orang adiknya dan
1.200 orang pengikutnya yang diangkut dengan empat buah kapal. Akhirnya mereka
tiba di Caruban. Setibanya di Caruban, mereka langsung menghadap Pangeran
Walangsungsang Cakrabuana dan minta izin untuk tinggal di Caruban. Kemudian
diizinkan dan ditempatkan di daerah Panjunan dan Syarif Abdurrakhman ini
dikenal dengan sebutan Pangeran Panjunan. Di tempat tersebut, Pangeran
Panjunan bersama para wali mendirikan sebuah masjid, yang sekarang lebih
dikenal dengan sebutan Masjid Merah Panjunan. Masjid Panjunan selain memiliki keunikan berwarna merah, juga memilki
keunikan lain. Arsitektur pada gapura masjid tersebut asimetri dan
memilki candrasengkala berupa srimpedan, yang juga dimiliki
oleh Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Sedangkan Syarif
Abdurrakhim bertempat tinggal di Kejaksan dan bergelar Pangeran Kejaksan serta
membuat masjid di tempat tersebut.
Mereka bertemu
ayahandanya, Syekh Nurjati di Gunung Jati. Syarif Khafid dan Syarifah Bagdad
menetap di Gunung Jati. Syarifah
Bagdad kelak menikah dengan Syarif Hidayatullah dan menjadi sekretaris pribadi
dalam hal masalah keagamaan sehingga bergelar Nyi Mas Penatagama Pesambangan
yang sangat alim dan berakhlak mulia, sehingga Sunan Gunung Jati sangat
mencintainya dan putranya diangkat menjadi putra mahkota. Namun kedua putranya baik Pangeran Jaya Kelana maupun Pangeran Brata
Kelana, meninggal/ syahid dalam usia muda.
Wejangan Syekh Nurjati
Kepada Syarif Hidayatullah dan Para Wali
Setelah berkelana menemui para wali di Jawa, Syarif Hidayatullah pada tahun
1475 (Ada naskah yang menyebut 1470) mendarat di Amparan Jati dan menemui
uwaknya (Pangeran Walangsungsang) yang pada saat itu menjadi Kuwu Cirebon.
Uwaknya sangat gembira atas kedatangan keponakannya tersebut dan mendukung
niatnya. Tetapi sebelumnya Pangeran Walangsungsang memberi nasihat agar sebelum
melakukan syiar Islam, terlebih dahulu menemui Ki Guru, yakni Syekh Nurjati di
Gunung Jati. Syarif Hidayat agar meminta nasihat dan petunjuk, bagaimana dan apa yang harus dilakukan. Akhirnya, mereka berdua
berangkat menuju Gunung Jati menemui Syekh Nurjati selama tiga hari tiga malam.
Di tempat Syekh Nurjati mereka menerima wejangan-wejangan yang berharga. Antara
lain, Syekh Nurjati berkata:
”Ketahuilah bahwa nanti
di zaman akhir, banyak orang yang terkena penyakit. Tiada seorangpun yang dapat
mengobati penyakit itu, kecuali dirinya sendiri karena penyakit itu terjadi
akibat perbuatannya sendiri. Ia
sembuh dari penyakit itu, kalau ia melepaskan perbuatannya itu. Dan ketahuilah
bahwa nanti di akhir zaman, banyak orang yang kehilangan pangkat
keturunannya, kehilangan harga diri, tidak mempunyai sifat malu, karena dalam
cara mereka mencari penghidupan sehari-hari tidak baik dan kurang
berhati-hati. Oleh karena itu sekarang engkau
jangan tergesa-gesa mendatangi orang-orang yang beragama Budha. Baiklah engkau
sekarang menemui Sunan Ampel di Surabaya terlebih dahulu dan mintalah fatwa dan
petunjuk dari beliau untuk bekal usahamu itu. Ikutilah petunjuk beliau, karena
pada saat ini di tanah Jawa baru ada dua orang tokoh dalam soal keislaman,
ialah Sunan Ampel di Surabaya dan Syekh Quro di Karawang. Mereka berdua
masing-masing menghadapi Ratu Budha, yakni Pajajaran Siliwangi dan Majapahit.
Maka sudah sepatutnyalah sebelum engkau bertindak, datanglah kepada beliau
terlebih dahulu. Begitulah
adat kita orang Jawa harus saling menghargai, menghormati antara golongan tua
dan muda. Selain itu, dalam usahamu nanti janganlah kamu meninggalkan dua
macam sembahyang sunah, yaitu sunah duha dan sunah tahajud. Di samping itu,
engkau tetap berpegang teguh pada empat perkara, yakni syare’at hakekat,
tarekat, dan ma’rifat”.
Demikian
wejangan dari Syekh Nurjati kepada Syarif Hidayatullah. Syekh Nurjati
adalah tokoh utama penyebar agama Islam yang pertama di Cirebon. Tokoh yang lain adalah
Maulana Magribi, Pangeran Makdum, Maulana Pangeran Panjunan, Maulana Pangeran
Kejaksan, Maulana Syekh Bantah, Syekh Majagung, Maulana Syekh Lemah Abang, Mbah
Kuwu Cirebon (Pangeran Cakrabuana), dan Syarif Hidayatullah. Pada suatu ketika
mereka berkumpul di Pasanggrahan Amparan Jati, di bawah pimpinan Syekh
Nurjati. Mereka semua murid-murid Syekh Nurjati. Dalam sidang tersebut Syekh Nurjati
berfatwa kepada murid-muridnya:
”Wahai murid-muridku,
sesungguhnya masih ada suatu rencana yang sesegera mungkin kita laksanakan,
ialah mewujudkan atau membentuk masyarakat Islamiyah.
Bagaimanakah pendapat para murid semuanya dan bagaimana pula caranya kita
membentuk masyarakat Islamiyah itu?”.
Para murid dalam
anggota sidang mufakat atas rencana baik tersebut. Syarif Hidayatullah
berpendapat bahwa untuk membentuk masyarakat Islam sebaiknya
diadakan usaha memperbanyak tabligh di pelosok dengan cara yang baik dan
teratur. Pendapat ini mendapat dukungan penuh dari sidang, dan disepakati
segera dilaksanakan. Sidang inilah yang menjadi dasar dibentuknya
organisasi dakwah dewan Wali Songo.
Sebelum meninggal
dunia, Syekh Nurjati berwasiat kepada anak bungsunya, Syekh Khafid, “Ana
sira ana ingsun”, yang artinya ada kamu ada saya. Maksudnya adalah Syekh
Nurjati berpesan bahwa Syekh Khafid adalah pengganati Syekh Nurjati apabila
berhalangan. Wasiat inilah yang memperkuat anggapan bahwa seolah-olah Syekh
Datuk Khafid adalah orang yang sama dengan Syekh Datul Kahfi.
Beberapa saat kemudian
Syarif Hidayatullah menggantikan Syekh Datuk Kahfi/Syekh Nurjati yang meninggal
dunia. Syarif Hidayatullah ketika menggantikan kedudukan sebagai guru dan
da’i di Amparan Jati diberi julukan Syekh Maulana Jati, disingkat Syekh Jati.
Semasa hidupnya Syekh
Nurjati senantiasa mengamanati setiap santri yang akan meninggalkan Pangguron,
dengan perkataan ’’settana’’ artinya pegang teguhlah semua
pelajaran yang diperoleh dari pengguron Islam Gunung Jati, jangan sampai lepas. Sejak saat itu orang menamakan Kampung Pesambangan dengan nama Settana Gunung Jati.
Namun karena pada akhirnya Gunung Jati itu digunakan untuk pemakaman, terutama
makam Syekh Nurjati sendiri, maka penduduk Jawa Barat yang sebagian
besar berbahasa Sunda, sebutan settana diganti
menjadi astana yang artinya kuburan. Walaupun
demikian, penduduk yang berbahasa Jawa Cirebon masih banyak yang
menyebutnya settana. Dengan demikian Kampung
Pesambangan yang mencakup Gunung Jati sampai sekarang
dinamakan Kampung atau Desa Astana.
Sebagai
bukti penghormatan umat Islam, yang berziarah ke Astana (baik ke komplek
pemakaman Gunung Jati maupun komplek pemakaman Gunung Mursahadatillah, dan
secara khusus disampaikan kepada ruh pemimpin dan penghulu kami Syekh
Datul Kahfi, dan kepada ruh Syekh Bayanillah, dan kepada seluruh ruh para wali,
sultan, ahli kubur yang disemanyamkan di Gunung Jati dan Gunung Sembung, dan
orang tua mereka, para pendoa mereka, dan orang-orang yang mengambil pelajaran
dari mereka, Yaa Allah ....tolonglah kami semua dengan perantaraan (izin Allah,
akan kemuliaan mereka, aku memohon (hanya) kepada Engkau, (memohon) barokah,
syafaat, karomah (kemuliaan), ijasah (kelulusan dan pengakuan), dan
keselamatan, segala sesuatu hanya milik Allah, bagi mereka al Fatihah...
Kalau kita simak doa
tersebut, maka ada penghormatan terhadap :
1. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
2. Nyi Mas Ratu
Rarasantang (Syarifah Mudaim, ibunda Sunan Gunung Jati, Pendiri Caruban)
3. Syarifah Bagdad/
Fatimah (Nyi Mas Penatagama Pesambangan, istri Sunan Gunung Jati, putri Syekh
Nurjati)
4. Pangeran Cakrabuana (paman Syarif Hidayatullah, pendiri Caruban)
5. Syekh Quro/ Syekh Hasanudin (Syekh Mursahadatillah, pendiri Pondok
Pesantren Karawang, Sahabat Syekh Nurjati )
6. Syekh Nurjati
(Syekh Datul Kahfi, guru Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu
Rarasantang dan mertua Sunan Gunung Jati)
7. Syekh Bayanillah (adik Syekh Datul Kahfi, pendiri Pondok
Pesantren di Kuningan)
Kita bisa mencermati
bahwa doa tersebut diatas ditujukan kepada sekelompok elit ulama perintis
dakwah Islamiah di Cirebon.
Gapura Bersayap di
Pintu Makam Syekh Nurjati
Syekh Nurjati meninggal
dan dimakamkan di Gunung Jati. Sedangkan Syarif Hidayatullah meninggal di
Gunung Jati sehingga disebut Sunan Gunung Jati, namun dimakamkan di Gunung
Sembung, sebelah barat Gunung Jati.
Gapura bersayap di
pintu makam Syekh Nurjati adalah sebagai penanda masuknya agama Islam di
Cirebon. Model gapura ini merupakan salah satu karya adi luhung orang Cirebon,
pada awal abad ke 15-17 Masehi. Karya adi luhung ini merupakan karya dekoratif
yang sebenarnya lumrah di pesisir pantai utara Jawa.
Pintu yang ada di gapura bersayap
Syekh Nurjati ini dapat melambangkan kematian. Artinya maut adalah gerbang yang
akan dilalui oleh setiap manusia (ruh) untuk mencapai kehidupan berikutnya
yang abadi. Pemaknaan pintu sebagi lambang kematian merupakan gambaran yang
sangat tepat dan sesui dengan peribahasa Arab yang berbunyi : “ al mautu
babun wa kullunaasi dakhiluhu”, maut adalah pintu dan setiap orang akan
memasukinya.
Jika pintu bermakna kematian, maka
gapura bersayap bisa menjadi makna perlambang bagi Malaikat Izrail. Artinya,
kematian bisa disebut kematian yang sesungguhnya jika ruh seseorang sudah
dibawa malaikat Izrail dan menurut Al Quran bahwa para malaikat itu bersayap.
Sumur Jalatunda
Di Pesambangan terdapat
dua sumur tua peninggalan Syekh Nurjati, yakni sumur Jalatunda dan sumur
Tegangpati. Sumur diartikan sebagai kirata basa : seumur atau
sepanjang kehidupan. ”Jala” dari bahasa Arab ”jalla” yang berarti luhur atau
agung, ”tundha” artinya titipan, sedangkan ”tegangpati” berarti serah jiwa.
4. Syekh Quro.
Syekh Quro atau Syekh
Qurotul Ain Pulobata adalah pendiri Pesantren pertama di Jawa Barat, yaitu
Pesantren Quro di Tanjung Pura, Karawang pada tahun 1428M. Nama asli
Syekh Quro ialah Syekh Hasanuddin, ada pula yang menyebutnya dengan Syekh
Mursahadatillah. Syekh Hasanuddin adalah putra seorang ulama besar
Perguruan Islam di Champa (Vietnam Selatan) yang bernama Syekh Yusuf Shiddiq
as-Samarqond.
Nasab Syekh Quro
Hasanuddin bin Yusuf Shiddiq bin
Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini bin Ahmadsyah Jalaluddin bin Amir ‘Abdullah
Khonnuddin bin ‘Abdul Malikal Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad
Shohib Mirbath bin Ali Kholi' Qosam bin Alwi Ats-Tsani bin Muhammad Shohibus
Saumiah bin Alawi (Alwi) Awwal bin Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin
Isa Ar-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uroidhi bin Ja’far Ash-Shoddiq bin
Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain As-Sabith bin
Sayyidina Ali bin Abi Tholib + Sayyidah Fathimah Az-Zahro binti Nabi Muhammad
saw.
Syekh Hasanuddin adalah: Saudara
sepupu dari Syekh Ali Rohmatullah (Sunan Ampel) dan Syekh Ali Murtadho. Karena
ayahnya, Syekh Yusuf Shiddiq adalah adik kandung dari Syekh Maulana Ibrohim
as-Samarqond (Asmoroqondi), ayah dari Syekh Ali Rohmatullah dan Syekh Ali
Murtadho. Juga saudara sepupu dari Syekh Maulana Malik Ibrohim (Sunan Gresik)
dan Syekh Maulana Ishaq (Ayah Sunan Giri). Karena ayahnya, Syekh Yusuf Shiddiq
adalah adik kandung Syekh Barokat Zainal Alam as-Samarqond, ayah dari Syekh
Maulana Malik Ibrohim dan Syekh Maulana Ishaq.
Pada Tahun 1409 M, Kaisar Cheng Tu
dari Dinasti Ming di Cina memerintahkan Laksamana Haji Muhammad Ma Cheng Ho
atau Sam Po Kong alias Sampo Po Bo untuk menjalin hubungan perdagangan dan
persahabatan dengan kesultanan Islam di Nusantara. Dalam Armada Angkatan Laut
Tiongkok itu turut serta Syekh Hasanuddin dengan tujuan untuk mengajar agama
Islam di Kesultanan Malaka (Malaysia sekarang). Dari sana, Syekh Hasanuddin
melanjutkan perjalanan ke pulau Jawa, tepatnya di Cirebon. Setibanya disana, ia
langsung mengadakan hubungan persahabatan dengan Ki Gedeng Tapa, sebagai
Syahbandar Muara Jati, Cirebon. Melalui pelabuhan Muara Jati, ia terus
melanjutkan da’wah ke daerah lainnya seperti Martasinga, Pasambangan, dan
Jayapura. Pada tahun 1428 M,
Syekh Hasanuddin lalu mendirikan
Pesantren Quro di Tanjung Pura, Karawang. Sejak itulah ia lebih dikenal dengan
panggilan Syekh Quro.
Syekh Quro juga turut memegang
peranan penting dalam masuknya pengaruh ajaran Islam kedalam keluarga Raden
Pamanah Rasa (Sri Baduga Maharaja Ratu Haji Prabu Jaya Dewata – Prabu
Siliwangi III, raja dari Kerajaan Pajajaran). Apalagi istri ke-3 Prabu Siliwangi
III yang bernama Nha/Nyai Subang Larang, putri Ki Gedeng Tapa, adalah
santriwati pesantren Syekh Quro.
Di Majalengka, terdapat petilasan
Prabu Siliwangi III, yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan Makam Prabu
Haji Munding Wangi (nama lain Prabu Siliwangi III), yang letaknya didalam
Hutan Siliwangi. Jadi, di hutan tersebut adalah tempat Prabu Siliwangi III
ber-halwat. Nyai Subang merupakan santriwati yang tekun dan teladan di
Pesantren Quro.
Dalam menyampaikan ajaran Islam,
Syekh Quro melakukannya melalui pendekatan yang disebut Dakwah Bil Hikmah,
sebagaimana firman ALLAH dalam Al-Qur’an Surat XVI An Nahl ayat 125, yang
artinya : “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan
pelajaran yang baik, dan bertukar pikiranlah dengan mereka dengan cara yang
terbaik”.
Makam Cungkup Petilasan Syekh
Quro Makam Syekh Quro terdapat di Dusun Pulobata, Desa Pulokalapa, Kecamatan
Lemahabang, Lokasi makam penyebar agama Islam tertua, yang konon lebih dulu
dibandingkan Walisongo tersebut, berada sekitar 30 kilometer ke wilayah timur
laut dari pusat kota Lumbung Padi di Jawa Barat.
Komplek makam yang senantiasa ramai
peziarah dari berbagai pelosok tanah air. Masjid nya memang tidak terlalu
besar, namun menjadi istimewa karena lokasinya yang berada di dalam komplek
salah satu makam ulama besar tanah Jawa. Ditinjau dari sudut arsitektural
maupun sejarah-pun masjid ini biasa biasa saja. Dalam sejarahnya peran Sheikh
Quro tak bisa lepas dari keberadaan Masjid Agung Karawang yang pada awalnya
merupakan mushola kecil yang dibangun oleh beliau sebagai tempat mengajarkan
Al-Qur’an di tengah pesantren yang dibangunnya.
5. Syekh
Khaliqul Idrus.
Syekh
Khaliqul Idrus adalah seorang muballigh Parsi yang berdakwah di Jepara. Menurut
suatu penelitian, ia diperkirakan adalah Syekh Abdul Khaliq, dengan ''laqob''
Al-Idrus, anak dari Syekh Muhammad Al-Alsiy yang wafat di Isfahan, Parsi.
Nasab Syekh Kholiqul ‘Idrus
Silsilah Syekh Khaliqul Idrus yang bernama asli Abdul Khaliq Al-Idrus,
adalah putra Muhammad Al Alsiy, putra Abdul Muhyi Al Khoyri, putra Muhammad
Akbar Al Ansari, putra Abdul Wahhab, putra Yusuf Al Mukhrowi, putra Muhammad Al
Faqih Al Muqaddam, seorang ulama sangat terkenal pada abad ke-13 di Hadramaut,
Yaman, yang merupakan putra dari Sayyid Ali, putra Muhammad Shahib Mirbath.
Syekh Kholiqul ‘Idrus kemudian
menikahi Siti ‘Aisyah (Ratna Kusuma), putri dari Syekh Jamaluddin Al-Akbar
Al-Husaini. Dari pernikahan tersebut melahirkan Raden Muhammad Yunus
(Wong Agung Jepara) yang merupakan ayah dari Raden Abdul Qodir (Adipati
Bin Yunus atau Pati Unus). Pati Unus gugur, saat perang melawan penjajah
Portugis di Malaka 1521 M. Ia kemudian dikenal dengan sebutan Pangeran Sabrang
Lor. Jadi Syekh Kholiqul ‘Idrus adalah kakek buyut dari Pangeran Sabrang Lor.
Syekh Khaliqul Idrus ketika menetap
di Jepara, beliau menikah dengan putri seorang Muballigh asal Gujarat yang
lebih dulu datang ke tanah Jawa yaitu dari keturunan Syekh Mawlana Akbar,
seorang Ulama, Muballigh dan Musafir besar asal Gujarat, India yang mempelopori
dakwah diAsia Tenggara. Seorang putra beliau adalah Syekh Ibrahim Akbar yang
menjadi Pelopor dakwah di tanah Campa (di delta Sungai Mekong, Kamboja) yang
sekarang masih ada perkampungan Muslim. Seorang putra beliau dikirim ke
tanah Jawa untuk berdakwah yang dipanggil dengan Raden Rahmat atau terkenal
sebagai Sunan Ampel. Seorang adik perempuan beliau dari lain Ibu (asal Campa)
ikut dibawa ke Pulau Jawa untuk ditawarkan kepada Raja Brawijaya sebagai istri
untuk langkah awal meng-Islam-kan tanah Jawa. Raja Brawijaya berkenan menikah
tapi enggan terang-terangan masuk Islam. Putra yang lahir dari pernikahan ini
dipanggil dengan nama Raden Patah. Setelah menjadi Raja Islam yang pertama di
beri gelar Sultan Alam Akbar Al-Fattah. Disini terbukalah rahasia kenapa beliau
Raden Patah diberi gelar Alam Akbar karena ibu beliau adalah cucu Ulama Besar
Gujarat Syekh Mawlana Akbar yang hampir semua keturunannya menggunakan nama
Akbar seperti Ibrahim Akbar, Nurul Alam Akbar, Zainal Akbar dan banyak lagi
lainnya. setelah menikah dengan putri Ulama Gujarat keturunan Syekh Mawlana
Akbar lahirlah seorang putra beliau yang bernama Raden Muhammad Yunus yang
setelah menikah dengan seorang putri pembesar Majapahit di Jepara dipanggil
dengan gelar Wong Agung Jepara. Dari pernikahan ini lahirlah seorang putra yang
kemudian terkenal sangat cerdas dan pemberani bernama Abdul Qadir yang
setelah menjadi menantu Sultan Demak I Raden Patah diberi gelar Adipati bin
Yunus atau terkenal lagi sebagai Pati Unus yang kelak setelah gugur di Malaka
di kenal masyarakat dengan gelar Pangeran Sabrang Lor.
BIOGRAFI SINGKAT WALI
SONGO
Menurut Al-Habib
Salim bin Abdullah Asy-Syathiri, ulama' asli Tarim Hadramaut Yaman. Para
Walisongo yang menyebarkan dakwah Islam di indonesia mereka adalah para
'alawiyin yang datang dari Hadramaut.
Mereka merupakan para
Habaib/dzurriyyat Rasulullah (keturunan Rasulullah) yang silsilahnya bersambung
kepada Al-Imam Ahmad Al-Muhajir.
Silsilah Walisongo sampai kepada Al-Imam As-Sayyid Alwi 'Ammi al-Faqih al-Muqoddam
(paman dari Muhammad al-Faqih al-Muqoddam).
Sayyid 'Alwi ini
memiliki 3 putra. dan dari 3 putra inilah yang meregenerasikan para ulama yang
bertebaran ke berbagai penjuru dunia.
Di antara putranya itu
adalah Sayyid Abdul Malik Azmatkhan yang kemudian hijrah ke India dan menjadi
Raja di sana. Sayyid Abdul Malik Azmatkhan memiliki putera yang bernama Sayyid
Abdullah, dari Sayyid Abdullah inilah terlahir Sayyid Ahmad Jalaludin. Sayyid
Ahmad Jalaluddin memiliki putera yang bernama Sayyid Jamaluddin Husain, yang
selanjutnya memiliki keturunan penyebar dakwah Islam di Asia Tenggara terkenal
dengan sebutan Walisongo. Majelis Dakwahnya disebut Majelis Dakwah Walisongo.
Penggagas Walisongo
adalah Khalifah Muhammad I [Kekhalifahan Turki Utsmani] tahun 1404
M/808 H yang awalnya menugaskan para Ulama mumpuni yang nasabnya sebagian besar
dari asal Hadhramaut Yaman (Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini), namun masing-masing
telah berdakwah ke berbagai penjuru dunia sehingga disebut berasal dari beragam daerah di berbagai penjuru kawasan Islam. Beliau lantas
menugaskan para Dai' tersebut untuk berdakwah di Asia Tenggara dalam
suatu Majelis Dakwah Walisongo.
Walisongo banyak dari
keturunana Hadramaut Yaman, Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo
adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun
tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh
yang merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh ustad Muhammad Al Baqir, dalam
bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo
adalah keturunan Hadramaut (Yaman).
”Adapun hasil nyata
dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid/Syarif/Habaib.
Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa
dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut
(yang bukan golongan Sayyid/Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan
pengaruh besar seperti halnya para Sayyid/Syarif. Hal ini disebabkan
mereka (kaum Sayyid/Syarif) merupakan keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi
Muhammad SAW).”
Walisongo Angkatan
Ke-1, tahun 1404 – 1435 M.
Peride Pertama
Pada tahun 808 Hijrah
atau 1404 Masehi para ulama itu berangkat ke Pulau Jawa. Mereka adalah:
1. Syekh Jumadil Qubro/(Sunan Kubrawi) berasal dari Mesir. Beliau berdakwah keliling. Makamnya di Troloyo Trowulan, Mojokerto
Jawa Timur.
2. Maulana Malik Ibrahim atau Sunan
Gresik atau Kake Bantal, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo berasal
dari Turki ahli mengatur
negara. Berdakwah di Jawa bagian timur. Wafat di Gresik pada tahun 1419 M/Hari
senin 12 Robiul Awwal tahun H. Makamnya terletak satu kilometer dari sebelah
utara pabrik Semen Gresik.
3. Maulana
Ishaq /(Sunan Wali Lanang) berasal dari Samarkan
dekat Bukhara-uzbekistan/Rusia. Beliau ahli
pengobatan. Setelah tugasnya di Jawa selesai Maulana Ishak pindah
keSingapura/ Samudra
Pasai dan wafat di sana.
4. Maulana
Muhammad Al Maghrobi/(Sunan Maghribi)
berasal dari Maroko, beliau berdakwah keliling. Wafat tahun 1465 M. Makamnya di Jatinom
Klaten, Jawa Tengah.
5. Maulana
Malik Isroil berasal
dari Turki, ahli mengatur negara.
Wafat tahun 1435 M. Makamnya di Gunung Santri, Cilegon antara Serang-Merak,
Jawa Barat.
6. Maulana
Muhammad Ali Akbar, berasal dari
Persia Iran. Ahli pengobatan.
Wafat 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
7. Maulana Hasanuddin berasal dari Palestina Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping
masjid Banten Lama.
8. Maulana
Aliyuddin berasal
dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping masjid
Banten Lama.
9. Syekh
Subakir, berasal dari Persia, ahli menumbali (metode rukyah) tanah angker yang
dihuni jin-jin jahat tukang menyesatkan manusia. Setelah para Jin tadi
menyingkir dan lalu tanah yang telah netral dijadikan pesantren. Setelah
banyak tempat yang ditumbali (dengan Rajah Asma Suci) maka Syekh Subakir
kembali ke Persia pada tahun 1462 M dan wafat di sana. Salah seorang pengikut
atau sahabat Syekh Subakir tersebut ada di sebelah utara Pemandian Blitar, Jawa
Timur. Disana ada peninggalan Syekh Subakir berupa sajadah yang terbuat dari
batu kuno.
1.
Syekh Jumadil Qubro
Syekh Sayyid Maulana Ahmad Jumadil Qubro atau Sayyid Jamaluddin Husain / Sunan Kubrawi /Jamaluddin Akbar Al-Khan putra-putra beliau, yaitu 1.
Barakat Zainal Alam yang menurunkan Maulana Malik
Ibrahim (Sunan Gresik) dan 2. Ibrohim Asmoro/Ibrohim Zaenal Akbar yang menurunkan
Maulana Ishaq, dan Syeh Rahmatullah {Sunan Ampel}. dan ke-3. Ali
Nurul Alam yang menurunkan Syarif Hidayatullah bin Abdullah bin Ali Nurul
Alam.
Syekh Jumadil
Qubro bukan keturunan Jawa, melainkan berasal dari
Asia Tengah. lahir diSamarkand, Uzbekistan. Beliau masih kerabat dekat Laksamana Cheng Ho/Sayyid Muhammad Mahmud/Muhammad Sanbao/Laksamana Elang Perkasa.
Beliau mendirikan padepokan
untuk mengajarkan Agama Islam yang terkenal di trowulan atau pusat kota
kerajaan Brawijaya pada waktu itu.
2.
Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Maulana Malik Ibrahim atau Sunan
Gresik atau Kake
Bantal, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo
berasal dari Turki ahli mengatur negara. Berdakwah di Jawa bagian timur. Wafat di Gresik
pada tahun 1419 M/Hari senin 12 Robiul Awwal tahun H. Makamnya terletak satu
kilometer dari sebelah utara pabrik Semen Gresik.
Silsilah Maulana Malik
Ibrohim
Nasab As-Sayyid Maulana
Malik Ibrahim menurut catatan Dari As-Sayyid Bahruddin Ba'alawi Al-Husaini yang
kumpulan catatannya kemudian dibukukan dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang
terdiri dari beberapa volume (jilid). Dalam Catatan itu tertulis: As-Sayyid
Maulana Malik Ibrahim bin As-Sayyid Barakat Zainal Alam bin As-Sayyid
Jamaluddin Husain bin As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin As-Sayyid Abdullah bin
As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin As-Sayyid
Muhammad Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin As-Sayyid Alwi bin
As-Sayyid Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam
Ahmad Al-Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-Imam Muhammad bin Al-Imam Ali
Al-Uraidhi bin Al-Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam
Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin
Abi Thalib, binti Nabi Muhammad
Rasulullah saw.
Ia di lahirkan di Samarkan di
Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad
Tanah Jawi versi Meinsma
menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap
As-Samarqandy.
Isteri Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim
memiliki, 3 isteri bernama: 1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam/Maulana
Israil (Raja Champa Dinasti Azmat khan 1), memiliki 2 anak, bernama: Maulana
Moqfaroh dan Syarifah Sarah dan istri ke-2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir,
memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad istri ke-3.
Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak
yaitu: Abbas dan Yusuf.
Selanjutnya Sharifah
Sarah binti Maulana Malik Ibrahim yang beristrikan siti Fatimah istri I
kemudian Syarifah Sarah dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali Murtadha [Sunan
Santri/ Raden Santri] dan melahirkan dua putera yaitu Haji Utsman (Sunan
Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya Sayyid Utsman Haji
(Sunan Ngudung) berputera Sayyid Ja’far Shadiq [Sunan Kudus].
Kedatangan
Maulana Malik Ibrahim Ke Tanah Jawa
Menurut Beberapa
versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang
ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan
Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu
mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan
mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.
Pertama-tama
yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa
yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia
tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli,
melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama
Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke
dalam agama Islam.
Sebagaimana
yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana
Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar. Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi
dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan para bangsawan dapat pula turut
serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli, pemilik
kapal atau pemodal.
Setelah
cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan
ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam
tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di
pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa
Gapura.
Dalam
rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan
ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang
merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat
ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan
agama Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat
setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau haul juga
diadakan setiap tanggal 12 Rabi'ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasti
makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran,
mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan
makanan khas bubur harisah.
Maulana Malik Ibrahim
juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat
kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan
Majapahit. Maulana
Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis
ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di
Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat
di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa
Timur
Maulana Ishaq/Sunan
Wali Lanang/Syeh Awwalul Islam/Syeh Ahlul Imam/Syeh Ahlul Islam beliau adalah cucu dari Syeh Jumadil Qubro. Dan ayah dari sunan
Giri, Beliau juga ahli pengobatan
Silsilah Maulana
Ishaq
Maulana Ishaq bin
Ibihim Asmoro bin Jamaluddin Husain bin
Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih
bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi
bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin
Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin
Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah saw.
Maulana
Ishaq mempunyai istri bernama Putri Dewi Sekardadu binti
Prabu Menak Sembuyu raja bLambangan dan dikaruniai putra bernama Raden
Paku/Joko Samudro/ Sunan
Giri
Maulana Ishak berasal dari Samarqand
(dekat Bukhara-Rusia Selatan). Beliau ahli pengobatan. Beliau Datang ke tanah
Jawa pada tahun 1404 Masehi bersama dengan ayahnya (Syekh Maulana Ahmad Jumadil
Qubro) dan saudaranya (Syekh Maulana Malik Ibrahim). Syekh Maulana Ishaq pada
awalnya datang di tanah Jawa menetap di Gresik. Kemudian ke Blambangan dan
selanjutnya ke Pasai (Singapura) dan beliau wafat di sana.
Beliau ahli dalam bidang pengobatan
dan beliau sering menolong orang yang sakit hingga sembuh. Pada saat kerajaan
Blambangan diserang oleh wabah, sudah berbulan-bulan rakyat Blambangan dilanda
suatu penyakit. Banyak rakyat yang terserang penyakit, bahkan sebagian dari
mereka menemui ajalnya. Hampi setiap hari selalu ada saja rakyat Blambangan
yang meninggal dunia karena wabah ini.
Dewi Sekardadu adalah putri dari raja
Blambangan Prabu Menak Sembuyu ketika itu juga tidak luput dari wabah ini. Sudah
berbulan bulan Dewi Sekardadu terserang wabah. Sudah banyak dukun, tabib yang
datang untuk menyembuhkannya, namun Dewi Sekardadu belum sembuh juga. Kerajaan
dirudung kesedian. Karena melihat putrinya belum sembuh-sembuh dalam waktu yang
cukup lama, kemudian Prabu Menak Sembuyu menyuruh patih Bajul Sengara untuk
mengumumkan sebuah sayembara, yang isinya barang siapa yang bisa menyembuhkan
penyakit sang Putri serta dapat mengusir wabah penyakit dari Kerajaan
Blambangan, maka apabila dia laki-laki akan dijodohkan dengan Dewi Sekardadu,
bila ia perempuan maka akan dijadikan saudara Dewi Sekardadu. Setelah
sayembara disebarkan sampai ke pelosok negeri, tidak satupun yang berani
mengikuti sayembara itu. Sampailah berita sayembara itu pada seorang Brahmana
Resi Kandabaya. Pada suatu hari Resi Kandabaya datang ke Kerajaan Blambangan
untuk menghadap Prabu Menak Sembuyu. Resi Kandabaya mengatakan kepada Prabu
Menak Sembuyu bahwa yang dapat menyembuhkan sang Putri Dewi Sekardadu dan
mengusir wabah penyakit dari Kerajaan Blambangan adalah seorang pertapa yang
bernama Maulana Ishaq yang berada di gunung Gresik.
Prabu Menak Sembuyu kemudian
mengutus patih Bajul Sengara untuk menemui Syeh Maulana Ishaq guna meminta
pertolongan untuk menyembuhkan sang Putri dan rakyat Blambangan. Maka
berangkatlah patih Bajul Sengara yang diikuti oleh beberapa prajurit. Mereka
melakukan perjalanan dengan berkuda untuk menuju Gunung Gresik. Setelah
melakukan perjalanan berkuda selama enam hari, sampailah kesepuluh prajurit
berkuda yang dipimpin oleh patih Bajul Sengara di Gunung Gresik, dan menemui
Syeh Maulana Ishaq. “Apa maksud kisanak sekalian datang ke Gunung Gresik ini”
tanya Syeh Maulana Ishaq “Kami diutus oleh Prabu Menak Sembuyu raja Blambangan
untuk menemui Syeh, beliau Prabu menak Sembuyu berkata bahwa Syeh yang dapat
menyembuhkan penyakit junjungan kami Dewi Sekardadu putri Prabu Menak Sembuyu,
dan Syeh pula yang sanggup mengusir wabah penyakit yang sekarang ini menyerang
Blambangan “, jawab patih Bajul Sengara. “Apabila hal itu terlaksana atau
berhasil, maka Syeh akan dijodohkan dengan Dewi Sekardadu oleh Prabu Menak
Sembuyu, tetapi apabila Syeh gagal maka akan dihukum mati oleh Prabu Menak
Sembuyu”, lanjut Bajul Sengara. Mendengar hal tersebut, Syeh Maulana Ishaq
terdiam sejenak, kemudian beliau berkata kepada tamunya “Agama Islam adalah
agama yang selalu membantu orang yang memerlukan pertolongan, juga agama yang
suka menghormati tamunya, apalagi yang datang dari jauh. Baiklah aku akan
memenuhi permintaan Raja kamu sekalian, karena aku tidak sampai hati untuk
mengecewakannya, tapi hal ini kulakukan bukan karena iming-iming yang akan
dijodohkan dengan Dewi Sekardadu juga bukan karena aku takut untuk dihukum mati
oleh raja kalian. Yang kulakukan adalah iklas semata tanpa mengharap imbalan
jasa apapun. Nah Sekarang berangkatlah kisanak sekalian terlebih dahulu”
Patih Bajul Sengara kemudian
mengajak prajuritnya untuk bergegas kembali ke Blambangan. Untuk sampai di
Blambangan kembali merekapun menempuh perjalanan enam hari berkuda. Ketika
rombongan patih Bajul Sengara dan prajuritnya sampai di halaman kerajaan Blambangan,
terkejutlah mereka, karena suasana kerajaan tampak meriah sekali. Setelah
diselidiki ternyata Prabu Menak Sembuyu sedang merayakan hari ketujuh
pernikahan putri Dewi Sekardadu dengan Syeh Maulana Ishaq. Patih Bajul Sengara
semakin terheran, mengenai keterangan yang telah disampaikan oleh para punggawa
kerajaan yang ada di sana. Di dalam hatinya mana mungkin Syeh Maulana Ishaq
telah sampai lebih dahulu, padahal rombongannya berangkat terlebih dahulu.
Diapun segera masuk ke Istana untuk menghadap Prabu Menak Sembuyu. Setelah
patih dihadapan sang raja, raja bertanya, “Kemana saja kalian ini Bajul
Sengara” “Hamba baru datang dari Gunung Gresik Prabu” jelas Bajul Sengara
“Berapa lama waktu yang diperlukan untuk sampai ke Gunung Gresik” tanya Prabu
Menak Sembuyu “Enam hari Gusti Prabu, jadi kami dua belas hari berada di
perjalanan, Gusti Prabu” jawab patih Bajul Sengara. “ Lalu apa sebenarnya yang
telah terjadi disini Gusti Prabu” “Sunguh sangat aneh” gumam Gusti Prabu “Pada
hari keenam sejak kepergian kalian ke Gunung Gresik, Maulana Ishaq sudah datang
ke istana ini. Dia telah berhasil menyembuhkan Dewi Sekardadu dan sekaligus
telah mengusir wabah yang menyerang istana ini. Dan sesuai janjiku, maka
kujodohkan dia dengan putriku Dewi Sekardadu, sekarang ini adalah perayaan hari
ketujuh atas pernikahan Maulana Ishaq dengan putriku” Patih Baju Sengara
terperanjat mendengar apa yang dikatakan oleh sang raja, karena sewaktu di
Gunung Gresik rombongannya disuruh berangkat terlebih dahulu oleh Syeh Maulana
Ishaq, tetapi Syeh Maulana Ishaq yang sepertinya tidak membawa kuda atau hanya
berjalan kaki, datang lebih dahulu dari rombongan mereka.
Ini menunjukkan bahwa Syeh Maulana Ishaq bukan
orang sembarangan, orang yang sangat tinggi ilmunya. Segera patih menemui Syeh
Maulana Ishaq karena dia masih belum percaya, jangan-jangan ada orang lain yang
mengaku-ngaku sebagai Syeh Maulana Ishaq. Setelah melihat sendiri bahwa pria
yang bersanding di pelaminan disamping Dewi Sekardadu adalah benar-benar Syeh
Maulana Ishaq baru sang patih merasa yakin. Sesungguhnya Syeh Maulana Ishaq
mempunyai ilmu atau kharomah yang tinggi, bahwa dalam sekejap mata beliau dapat
berpindah dari Gunung Gresik ke Blambangan. Hal ini adalah karena kuasa Allah,
bila Allah SWT berkehendak untuk menjalankan seseorang ke tempat yang sangat
jauh dalam waktu sekejap mata, maka tidak ada satu kekuatanpun di jagad raya
ini yang akan mencegahnya. Maha Suci Allah atas segala kekuasaanNya.
Setelah pesta perkawinan selesai,
banyak penduduk sekitar istana berdatangan untuk meminta pengobatan kepada Syeh
Maulana Ishaq, Syeh Maulana Ishaq menolong mereka dengan sabar dan telaten,
banyak dari mereka yang sakit telah disembuhkan. Lama-lama penduduk simpati
pada ajaran yang telah dibawah oleh Syeh. Seiring berjalannya waktu, semakin
hari semakin banyak pengikut Syeh Maulana Ishaq, mereka dengan sukarela menjadi
pengikut Syah Maulana Ishaq dan masuk agama Islam.
Melihat kenyataan ini Prabu menak
Sembuyu menjadi kawatir, apalagi Syeh Maulana Ishaq melarang memakan binatang
yang tidak disembelih atas nama Allah, melarang makan binatang buas, babi dan
beliau melarang menyembah berhala. Padahal hal tersebut adalah kesenangan dan sudah
menjadi kebiasaan di Blambangan pada waktu itu. Prabu Menak Sembuyu menyuruh
patih Bajul Sengara untuk menyerang Syeh Maulana Ishaq dan pengikutnya.
Berangkatlah patih Bajul Sengara beserta prajurit menuju kediaman Syeh Maulana
Ishaq. Setelah rombongan prajurit patih Bajul Sengara sampai di depan kediaman
Syeh Maulana Ishaq, beliau (Syeh Maulana Ishaq) berjalan dengan tenang
menghampiri patih Bajul Sengara. Tidak ada satupun prajurit yang berusaha
menghalangi atau menyerang Syeh Maulana Ishaq. Seperti kita ketahui bahwa
tujuan dakwah agama Islam adalah menyadarkan orang yang berbuat kesalahan
dengan sikap dan budi pekerti yang halus yang diwujudkan dalam tindakan
seharai-hari, bukan membasmi mereka yang salah. Maka untuk mencegah hal itu
Syeh Maulana Ishaq berjanji akan meninggalkan Blambangan. Mendengar hal ini
para pengikut bertanya kepada Syeh Maulana Ishaq, “Jangan pergi Tuan, kalau
Tuan pergi meninggalkan kami siapa yang akan membimbing kami mempelajari ajaran
agama Islam, siapa yang akan membimbing kami menuju jalan yang benar, dan siapa
yang akan memberi contoh kami budi pekerti yang halus” “Jangan kawatir wahai
saudaraku, kelak akan ada penggantiku setelah kepergianku, anakku yang ada di
dalam kandungan istriku Dewi Sekardadu yang akan membimbing kalian” Pembicaraan
Syeh Maulana dengan pengikutnya ini memang terdengar oleh patih Bajul Sengara.
Sebelum meninggalkan Blambangan
Syeh Maulana Ishaq pamit pada istrinya, “Istriku aku akan pergi meninggalkan
Blambangan, bukan aku tidak sayang kepada engkau, akan tetapi demi kedamaian
kita semua, dan demi mencegah pertumpahan darah diantara kita, maka relakan aku
pergi meninggalkan Blambangan”. Dewi Sekardadu melepas kepergian suaminya dengan hati
lulu menangis, dan cucuran air mata yang membasahi pipinya. Beberapa bulan
setelah kepergian suaminya, Dewi Sekardadu melahirkan seorang anak laki-laki
yang sehat dan ganteng. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu suka kepada bayi
tersebut dan telah melupakan Syeh Maulana Ishaq, akan tetapi karena hasutan
patih yang telah mendengar apa yang dikatakan Syeh Maulana Ishaq pada
pengikutnya di saat akan meninggalkan Blambangan, juga pada waktu itu,
Blambangan mulai diserang wabah kembali, patih tersebut mengatakan bahwa kelak
anak ini akan membawa petaka di Blambangan. Patih Bajul Sengara mengatakan pada
Prabu Menak Sembuyu bahwa wabah yang datang kembali ini ada hubungannya dengan
lahirnya anak Dewi Sekardadu. Prabu Menak Sembuyu terhasut oleh perkataan Patih
Bajul
Sengara, bayi yang baru lahir tersebut dimasukkan dalam peti mati dan
dihanyutkan ke tengah samudra. Dewi Sekardadu yang baru ditinggalkan suaminya,
sekarang mendapatkan kenyataan harus berpisah dari anaknya yang baru
dilahirkan, apalagi anak tersebut dihanyutkan ke tengah samudra. Ibu mana yang
tidak sedih akan kenyataan ini. Semakin lama kesedihan yang dirasa menggerogoti
jiwa dan kesehatannya, akhirnya Dewi Sekardadu meninggal dunia.
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi
Maulana
Muhammad Al Maghrobi/(Sunan Maghribi)
berasal dari Maroko, beliau. Wafat tahun 1465 M. Makamnya di Jatinom Klaten, Jawa
Tengah.
Beliau merupakan dewan
wali songo periode awal yang menyebarkan agama Islam dengan berdakwah keliling
terutama daerah Jawa Tengan
Makam Cungkup/Petilasan Syekh
Maulana Al Maghrobi ditemukan di beberapa tempat, seperti di daerah
Gresik, Cirebon, dan di daerah Bantul. Di daerah Jatinom, Klaten, ada juga
makam Ki Ageng Gribig, yang juga dikaitkan dengan Syekh Maulana
Maghribi. Di daerah wisata Baturaden (Banyumas) juga terdapat sebuah petilasan Mbah
Atas Angin yang konon merupakan nama lain untuk Syekh Maulana Maghribi. Di
Wonobodro, Batang, Jawa Tengah, ada pula Makam Syekh Maulana Maghribi. Lalu ada
makam Syekh Maulana Maghribi di Kawedanan Comal, Pemalang. Dan Syekh
Maulana Al Maghrobi juga berada di
Desa Gedong-Ombo, Kecamatan Semanding, Tuban. Masuk Gang Syeh Maulana,
perempatan pabrik kapur sebelum Pasar Baru Tuban. Sebutan SyekhMaulana
al-Maghribi ini kemungkinan merupakan asal muasal nenek moyangnya, yaitu daerah
Maghribi atau Maroko di Afrika Utara. Di area makam Syekh Maulana juga terdapat
makam Habib Abdul Qodir bin Alwy Assegaf dan Habib Idrus bin Salim. makam Syekh
Maulana Mahribi di Jogjakarta Terletak diatas bukit dekat dengan pantai
Parangtritis yakni tepatnya di deretan perbukitan Parangtritis berada di dusun
Pemancingan, Prangtritis, Kretek, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Maulana
Malik Isroil beliau adalah
mertua dari Syeh Maulana Malik Ibrohim yang menikah dengan putrinya sebagai Istri I yang bernama Siti
Fatimah binti Maulana Malik Isroil.
Maulana Malik Isroil berasal dari Turki, ahli mengatur negara. Wafat tahun 1435 M. Makamnya di Gunung Santri,
Cilegon antara Serang-Merak, Jawa Barat.
Silsilah Maulana Malik
Isroil
Maulana Malik Isroil
/Ali Nurul Alam bin As-Sayyid Jamaluddin
Husain bin As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin
As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid
Alwi Ammil Faqih bin As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali’
Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin
As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-Imam
Muhammad bin Al-Imam Al-Uraidhi bin Al-Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam Muhammad
Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah
Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi Muhammad Rasulullah saw.
Maulana Malik Isroill bersama anggota dewan Wali Songo menyebarkan Islam
hingga akhirnya hayatnya. beliau dimakamkan di sebuah bukit kecil di tepi Teluk
Banten, Bojonegara, Kab. Serang, utara Kota Cilegon. Tampaknya, bukit itu
dipilih pertama kali oleh Maulana Malik Isroil. sebagai ulama yang lebih tua
dari Syeikh Sholeh bin Abdurrahman seorang penyebar Islam yang hidup pada masa
Maulana Hassanuddin. Bukit itu
berada pada lokasi yang memiliki titik pandang yang cukup indah ke arah barat
sehingga dapat menjadi proyeksi tafakur pada saat menyepi. Masyarakat menyebut
bukit itu dengan Gunung Santri. daerah itu adalah tempat santri belajar kepada
guru/ulama.
Pada
masa selanjutnya, daerah itu disebut dengan nama Kampung Beji. Sebuah kampung
yang kemudian menjadi basis pergerakan perlawanan masyarakat Banten terhadap
Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 hingga masa kemerdekaan. Salah satu
inspirator perlawanan itu adalah Maulana Malik Israel, selain tentunya Sultan
Ageng Tirtayasa, musuh utama VOC. Inspirasi itu masuk
dalam beberapa bentuk, antara lain melalui keturunannya yang tersebar di hampir
seluruh tanah banten. Salah satu keturunannya adalah Syeikh Jamaluddin yang
dimakamkan di dekat Pelabuhan Merak.
Komentar
Posting Komentar